Saturday, June 30, 2012

Calo Hajar Aswad

Hari keempat di Mekah, berarti ini hari ke enam aku berada di Arab Saudi, perjalanan besar aku di tengah tahun 2012.
Sejak aku di beri dukungan spiritual seorang mahasiswa Indonesia yang kuliah di Yordania, aku perlahan mulai membiasakan diri kalau aku saat ini memang berada di Masjidil Haram. Padahal, sejak hari pertama injakan kaki di Masjidil Haram, aku merasa 'aneh' berada di sini. Tiba jelang tengah malam pun, aku bergeming di depan Ka'bah. Setengah alam sadarku tidak meyakini kalau aku akhirnya bisa menatap langsung Ka'bah, meski masih malu-malu.
Aku mengenal Andi, usai shalat Ashar. Pertemuan tidak sengaja itu, kemudian membawaku kepada satu fase satu tingkat tahap komunikasi dengan-Nya. Membaca aura wajahnya yang baik, aku pun mengakui di hadapan Andi, kalau aku belum pernah menyentuh Ka'bah sejak menginjakan kaki pertama kali. Ku jawab dengan alasan, kalau aku merasa tak pantas. Hati kecilku, merasa cukup berhak. Andi hanya menepuk bahu ku, dan mengajakku berdiri. Tak hanya menawarkan diri memberi dukungan spiritual, Andi juga berkenan mengajak ku keliling Ka'bah. Berjalan beriringan, Andi menuntunku mendekat Ka'bah. Memegang tanganku, dan membantu meletakkan di Ka'bah. Kemudian memerintahku untuk mencium Ka'bah. Ia pula yang menuntunku membaca doa.
Sehari setelah pertemuan dengan Andi, aku menjadi lebih percaya diri. Bercelana training, kaos panjang putih dan berpeci, aku melakukan tawaf sebelum menunaikan sholaht Zuhur. Aku begitu merasa bebas, dan telah memiliki rasa nyaman berada di tengah Masjidil Haram. Pernah merasakan betah di sebuah tempat? Lupa akan hal lain? Yang ada dipikiran dan hati hanya bersenang-senang. Dan, yah, aku merasa saat itu sedang bersenang-senang. Aku memang bukan orang yang relijius. Kedekatan aku dengan-Nya, biar aku yang meletakkan posisi kenyamanan aku berdasar cara aku, dalam batasan yang aku pun juga teramat pahami.
Putaran demi putaran ku lalui. Sesekali ku teguk bekal minum yang ku bawa dari hotel. Tangan kananku tetap mengapit buku doa. Sesekali, aku mengedarkan pandanganku ke sekeliling, ke titik kerumunan orang yang berdesak-desak, Hajar Aswad.
Betapa takjubnya aku, melihat banyak kekuatan saling desak, tekan, dorong, untuk menyentuh, bahkan ingin mencium batu itu. Aku? Ya, ingin sekali. Tapi, tidakah ada cara yang lebih elegan? Mengantri misalnya. Kenapa harus terkesan rusuh? Bukankah, kita juga diajarkan damai? Lalu, kenapa di rumah Tuhan, harus saling menyakiti? Pertanyaan yang terus menggelitik benak. Pecah konsentrasiku saat tawaf? Tidak. Sejurs kemudian, aku mengamati. Lagi dan lagi mengamati, bahkan tak habis pikirku.
'Mau ke Hajar Aswad, Mas?' Tanya seorang pria yang tiba-tiba berada di sampingku.
'Iya, ingin, tapi, ga perlu harus saling sikut gitu. Gpp, ga ke Hajar Aswad, daripada cari masalah dengan yang berdesakan." Jawabku.
'Bisa dibantu, kok'.
Kalimat terakhirnya itu membuatku menahan langkah. Posisi tubuhku menghadapnya. Tinggi tubuhnya, setara dengan bahuku. Perawakannya kecil. Mana bisa membantuku, melawan orang-orang di sudut Hajar Aswad itu.
'Ga, Mas. Gpp'. Jawabku pelan.
'Sudah sampai Ka'bah, sayang, Mas, kalau tidak mencium Hajar Aswad'.
Gigih ia tawarkan bantuan itu.
Aku mencoba berpikir jernih. Menilai positif kehadirannya. Kemudian menerima kebaikan yang ditawarkannya. Jalan ku dipermudah, hanya itu yang terucap pelan. Dan itu pun tak hentikan pikirku, cara yang ia akan lakukan. Bersaing dengan pria pria tinggi besar, dan kemudian melesakkan tubuh ku yang lebih besar darinya ke Hajar Aswad.
Ia memintaku berjalan di belakangnya. Ia berkata, 'harus yakin, jangan mundur, harus yakin bisa'.
Sejurus kemudian, ku perhatikan ia memberi kode. Entah pada siapa. Tapi, ekor mataku melihat 5 pria, berpostur tidak lebih besar dari dia yang mendekat ke kami. Posisinya perlahan mengapit aku. Membantu mendorong, membuka jalan, melesakkan aku. Dan Tidak sampai 10 detik, aku sudah berada di depan Hajar Aswad. Kesempatan ini, tak ku lepaskan. Berdoa sepuasnya. Tapi, kemudian ego ku tumbuh besar seketika. Lebih dari 30 detik, seakan ingin merajai, mengusai. Namun, ku pikir ini tidak benar. Sudah cukup do'a ku. Di belakang masih banyak yang ingin memiliki keinginan sama.
Pria itu kemudian menariku. Mengajakku menjauh dari sudut itu. Masih dengan susah payah. Kami merayap ke samping, guna menghindari desakkan dari belakang.
Ke tempat yang sepi. Masih di depan Ka'bah. Ia pun mengajak dan menuntunku berdoa. Sejurus kemudian, perlahan muncul lima pria berperawakan Indonesia. Ia memperkenalkan teman-temannya ke aku. Tak ada kesan apapun yang ku tangkap, dan aku membalas perkenalannya dengan ucapan terima kasih. Karena merekalah aku sukses mencium Hajar Aswad.
Kesan tanpa ada masalah itu, ternyata hanya sesaat.
'Mas, kami sudah bantu, Mas. Kami minta seikhlasnya untuk kami,'
ucap pria pertama itu.
'Maksudnya?', tetap tak ku pahami maksud kalimatnya.
'Iya, sebagai balas jasa, Mas bisa beri kami seikhlasnya'.

Aku menangkap apa ucapannya. Aku pun jelas tahu, keberadaan mereka.
'Oke,' aku menyanggupi permintaan mereka, tanpa perlu merasa ku usik 'profesi' mereka. Aku tahu.
'Biasanya berapa?', tanyaku.
'150 real, Mas,' jawabnya.
Sejurus kemudian, di depan mataku ada sempoa. Ku kalikan dengan kurs real. Hasilnya, cukup membuatku mengingat-ingat sejumlah real yang aku punya di dompet.
'Kalian sudah lama menjadi seperti ini?, Gatal rasanya untuk menahan rasa keinginantahuan.
'Asal kalian dari mana?'
'Selalu dengan anggota kelompok yang sama?'

'Kalian bekerja di Mekah, kan?'
Aku menyisir pandanganku satu demi satu. Saat beradu pandang, yang kutangkap mereka sudah tidak nyaman berada dekat denganku. Mungkin utamanta, karena pertanyaan beruntun yang aku ajukan.
'Saya hanya punya 30 Real',
'Gak cukup segitu', tolak si pria. Alasan ia menolak, karena mereka berenam. Dan jelas, nilai pembagiannya akan sangat kecil.
'Saya memang tidak bawa banyak uang kalau hanya ke Masjid. Saya bawa secukupnya. Ini pun untuk beli makan. Kalian ambil ini, atau tidak sama sekali. Saya hanya punya 30 Real,'
ucap ku dengan nada yang aku atur sedemikian wibawanya. Ini cara aku membentengi diri, dimanapun.
Terus terang aku iba melihat mereka. Kalau uang ini diterima, berarti satu orang hanya dapat 5 real. Nilai yang kecil, dengan 'jasa' mereka yang begitu besar (sebenarnya).
anya melihat.
Satu kalimat yang aku tangkap, menjadi Calo adalah cara mereka menambah pemasukan. Iya, ini ilegal, tapi juga ada kesan abu-abu. Aku bahkan nggak tahu dan tidak menyangka telah diberi kemudahan mencium Hajar Aswad. Jika kemudian, akhir ku ketahui itu berkat 'jasa', apakah kemudian menjadi cacat ibadahku? Karena sukses dibantu calo. Memberi mereka uang apakah mengiyakan 'profesi ekstra' mereka? Lagipula bisa saja aku menolak memberi mereka uang, jika akhirnya ku tahu jasa mereka pamrih. Di sisi lain, aku juga tidak ingin berdebat panjang, jika kemudian justru memancing keributan dan membuat malu. Aku tidak mencari-cari mereka. Ku terima tawaran kebaikan karena tak terpikir jauh akan hal itu.
Pria itu kemudian menerima uang yang aku beri. Mereka pun kemudian menghilang di tengah kerumunan jema'at.
Ke esokan harinya, aku mengajak Mak ku untuk tawaf sebelum sholat Ashar.
Seeorang perempuan, mendekatiku. Dengan bahasa Indonesua yang kupahami seutuhnya, ia mengatakan, 'Ibunya mau dibantu cium Hajar Aswad, Mas?'.
*Jleb

No comments:

Post a Comment