
Kalau aku tidak segera menyegarkan pikiranku, mungkin aku sudah melanjutkan tidur.
Mengantuk.
Libur - mestinya memang bisa bangun siang dan melupakan janjiku dengan supir tuktuk yang akan mengantarku ke Angkor Wat. Dan berganti jadwal esok harinya saja ke Angkor Wat. Inginnya hari ini, kamis 29 April bisa bangun siang dan berjalan kaki di seputaran kota.
"Ayo ah, disiplin waktu dan jadwal!", desakku berbisik.
Aku menyegerahkan mandi dan sholat shubuh, kemudian menuju lobi.
Sepi.
Pasti.
Untungnya ada penjaga hostel yang berjaga di lobi.
Ia mengetahui rencanaku pagi ini, dan segera menghubungi supir tuktuk, karena memang sudah lewat dari jadwal yang ditentukan.
Mungkin memang aku tak pahami bahasa mereka. Tapi, ku menangkap sebuah perdebatan di antara keduanya. Dan berakhir dengan....
"Anda pergi dengan Saya",
"Maksudnya?"
"Supir tuk-tuknya kesiangan. Kalau Anda masih menunggunya, tidak akan dapat sunset. Mari saya hantar!".
"Menghantar dan menemani sehari penuh, kan, tapinya?", tanyaku.
"Iya!".
Tidak ada pilihan selain mengikuti ajakannya. Toh, waktu terus berjalan, aku juga tidak mau kehilangan banyak waktu menunggu supir tuktuk yang kesiangan.
Kalau di Jakarta aku terbiasa berangkat kantor sekira jam 04:30, maka tak beda saat aku berada di Siem Reap untuk berlibur. Bedanya, aku kini duduk manis di jok tuktuk di belakang supir yang bekerja. Sepi di jalan Siem Reap.
Tukang ojek masih ada di persimpangan jalan tidak jauh dari hostel. Bunyi gonggongan anjing juga terdengar beberapa kali.
Sepintas, suasana ini mirip juga saat aku membelah pagi Chiang Mai. Beranjak pergi jalan kaki menuju terminal untuk pindah kota ke Chiang Rai November silam. Dan kemudian berpindah dengan tuktuk. Dua sampai tiga kali tuktuk menghampiriku. Nego tarif. Sampai akhirnya dapat kata sepakat.
Tuktuk di Chiang Mai, pun juga ada tuktuk di Siem Reap. Tapi, beda rupa. Tuktuk versi Chiang Mai, mirip dengan Bemo. Sementara, Tuktuk versi Siem Reap, semacara kendaraan becak yang dikawinkan dengan ojek motor.
Dan pagi buta ini saat mesin tuktuk memecah hening pagi, maka yang tertinggal di hening adalah ternyata tak hening-hening banget.
Ada beberapa tuktuk yang juga melaju dengan bebas, pun sepeda-sepeda yang ditunggangi - entah warga lokal atau wisatawan. Tapi, bisa jadi itu adalah wisatawan yang memiliki tujuan sama denganku ke Angkor Wat. Kenapa juga bersepeda? Itu kan, jauh. Dan konsekuensi bersepeda adalah kuat fisik karena Angkor Archeological Park amat sangat luas. Memang murah, sih, jika sewa sepeda dibandingkan dengan tuktuk.
Untuk seharian penuh, tarif sewa sepeda sebesar $ 6 saja. Beda dengan tuktuk yang mencapai $ 15 dolar, itu sudah termasuk bensin. Makan supir? Entah aku belum sampai berpikir hingga itu.
Yang jelas perjalanan pagi buta ini ke Angkor Wat sudah membuat hatiku begitu besar. Senang. Meski kantuk dan udara dingin sepanjang perjalanan ini sungguh teramat dingin.
Senang pada akhirnya aku bisa ke Angkor Wat.

Tapi, bersyukur aku jika detik demi detik aku bisa memberikan energi berlebih bagi aku seorang diri. Bahkan aku tidak merasakan kesendirian yang sangat.
Menyusuri tiap jengkal situs sudah menjadi pekerjaan hati sebenarnya. Tapi, mau bagaimana lagi? Toh, aku pun tidak bisa meminta sopir tuktuk menemaniku tiap saat. Dia memilih parkir dan melanjutkan tidurnya yang berkurang. Dia hanya minta jika aku sudah selesai dengan situs yang satu bisa menghubunginya dan kemudian melanjutkan perjanan ke situs lainnya. Mengasikan? Aku tak pernah mencoba memikirkan.
Yang jelas setelah puas berkeliling Angkor Wat dan mencuri dengar penjelasan dari pemandu aku bersiap untuk beralih ke situs lainnya.

Dan aku pun enggan kemudian mengulang kata dan kalimat yang sama. Jika saja, aku bisa menggambarkan rasa bangga dan senangnya aku berada di sini di antara kesendirian dengan balutan ketakutan yang tidak cukup beralasan.
Aku bahagia dengan caraku, sebahagia aku menamati petualangan di Angkor Wat. Misi terselesaikan kini.
No comments:
Post a Comment