Kedatanganku ke Bandung hari ini memang terbilang amat terencana. Apalagi gempita Konferensi Asia Afrika membuat Bandung kian disesaki wisatawan. Sore ini, jika sesuai agenda, akan ada Parade Negara Asia Afrika di sepanjang jalan Asia Afrika. Tapi, pagi ini, Bandung kota ku tinggalkan sementara waktu. Aku sudah merekam janji dengan seorang teman untuk meneropong angkasa di Bosscha Observatory.
Kami bermotor sekira 30-an menit dari pusat kota menuju Bosscha Observatory di Jalan Peneropong Bintang, Desa Lembang, Kecamatan Lembang, Bandung. Kendaraan baik motor dan mobil pribadi bisa diparkir di kawasan ini. Tapi, kalau menggunakan jasa kendaraan umum bisa turun di mulut jalan dan kemudian menggunakan jasa ojek. Atau memilih berjalan kaki sejauh 2 kilometer.
Saat memarkirkan motor, petugas menghampiri kami.
"Sesi pertama baru saja dimulai. Silakan bergabung atau Anda bisa bergabung sesi selanjutnya", ujarnya.
Aku mengiyakan untuk bergabung di sesi pertama. Semoga saja tak banyak informasi yang tertinggal. Petugas itu kemudian mengarahkanku ke pembelian tiket, dan melalui walkie talkie ia memberi tahu ke rekannya akan datang dua pengunjung baru.
Setelah membeli tiket Rp. 15.000,-/ pengunjung, kami bergegas ke dalam gedung dimana terdapat Teleskop Refraktor Ganda Zeiss yang melegenda itu.
Sesi pertama dimulai jam 09:30, kami terlambat 15 menit. Dan tak bisa menunggu untuk ikut di sesi ke dua jam 11:00.
Niat awal ingin menyesapi udara pagi di ketinggian 1310 meter, akhirnya tertunda. Aku telusuri jalan masuk ke dalam ruang, semacam auditorium. Puluhan orang sudah serius menyimak sejarah, fungsi dan keberadaan Gedung Observatory ini berikut teropong yang ada di dalamnya.
Adalah Joan George Gijsbertus Voute, Rudolf Albert Kerkhoven, dan Karel Albert Rudolf Bosscha yang berinisiatif membangun Observatorium Bosscha di tahun 1923. Dan menjadi satu-satunya observatorium penelitian bintang di Asia Tenggara oleh Perhimpunan Bintang Hindia Belanda.
Sebagai penghargaan atas jasa Bosscha yang menjadi penyandang dana utama pembangunan observatorium ini, maka namanya diabadikan sebagai nama observatorium ini.
Pada masanya, Observatorium Bosscha ini adalah salah satu yang terbesar di dunia, karena memiliki Teleskop Refraktor Ganda Zeiss, Teleskop Schmidt Bima Sakti, Teleskop Refraktor Bamberg, Teleskop Cassegrain GOTO, dan Teleskop Refraktor Unitron - yang punya spesifikasi dan fungsi berbeda.
Informasi itu menjadi bagian dari 'kuliah umum' di dalam gedung. Uniknya, ternyata lantai observatori itu bisa dinaik turunkan sesuai kebutuhan peneropongan. Selesai sesi pertama pun, masih diperbolehkan untuk melihat foto perjalanan Observatorium Bosscha dan sejumlah prestasi temuan selama ini. Kerenlah, jika hingga saat ini, lokasi ini masih dimintakan informasi temuan bintang kembar dari sejumlah negara.
Usai 'kuliah umum' di dalam gedung utama, kami dan peserta lainnya diarahkan ke ruang multimedia. Di ruangan ini, informasi astronomi disampaikan melalui slide foto, plus sesi tanya jawab.
Mengunjungi Observatorium Bosscha sudah menjadi agendaku kalau ke Bandung. Unik dan lokasi wisata yang tidak biasa memang. Mengapa?
Memang banyak orang mengatakan jika berkunjung ke Observatorium Bosscha harus ini dan harus itu. Ikuti saja aturan yang dibuat pengelola. Bisa jadi itu karena ada sebab. Toh, sebagai bagian dari cagar budaya bangsa Indonesia sejak tahun 2004, maka perlu syarat dan ketentuan yang harus ditaati oleh wisatawan yang akan berkunjung.
Karena, aku pun datang ke lokasi ini dengan keyakinan akan tidak direpotkan untuk urusan ini dan itu. Buktinya, sejak jejakin kaki
di lokasi ini sudah terlayani dengan baik. Lebih lengkapnya, buka saja tautan ini http://bosscha.itb.ac.id/in/kunjungan.html
Menarik jika satu kali waktu ke Observatorium Bosscha di malam hari, eksotik.
Tapi, intensitas cahaya yang berlebih di malam hari, mengurangi fungsi utama teropong di Bosscha. Lagi-lagi perkembangan jaman dan polusi cahaya sebabnya. Kontradiktif, tapi nggak ada salahnya mencoba meneropong angkasa di Bosscha Observatory.
No comments:
Post a Comment