Ritual selanjutnya adalah memanaskan mesin motor.
Menyiapkan helm, kacamata, penutup hidung, sarung tangan, dan jaket. Dan tidak
berapa lama, aku pun telah berada di jalan raya.
Aku melepaskan pandangan ke pengendara motor yang
perlahan menyesak di lampu merah. Dan kemudian aku berhenti mengutuk diri.
Dengan setengah berteriak, "Hey, aku tidak sendiri".
Cukup banyak pula warga Jakarta yang telah memulai
hari terlalu dini. Padahal dingin masih menggigit. Apalagi saat motor melaju
dengan cepat, maka kecepatan angin yang diterimanya berbanding lurus dengan
dinginnya angin yang diterima.
Lalu lintas pagi itu menyenangkan, terutama padat lalu
lintas yang jarang ditemui. Lengang, bahkan bisa dikatakan teramat sepi.
Setidaknya begitulah pengamatanku selama ini.
Motor ku pun bisa ku pacu hingga 60 KM/ Jam.
Mmmmm, entah sudah cukup cepatkah itu. Tapi, paling
tidak, dengan tetap menjaga kecepatan, aku bisa tiba di kantor dalam waktu 45
menit, dengan syarat dan ketentuan berlaku; ban motor tidak bocor. Karena, jika
aku telat saja berangkat ke kantor.....mmmm kesabaranku diuji (baca: mengutuk
macet).
Untunglah 4 bulan terakhir ini, aku tidak pernah
terjebak kemacetan. Tidak lagi mengenal istilah padat merayap, bahkan hampir
lupa kosa kata 'macet'.
Tapi, sebenarnya, kalau diamati lebih lanjut, dengan
berkendara, saat matahari belum terbit, pengendara dituntut kewaspadaan penuh,
karena nyawa taruhannya. Mau tau?
Terus melajukan kendaraan, terutama pada jalur yang
lurus, dengan kecepatan konstan adalah sebuah kewajaran. Karena wajar jika
warga menikmati suasana lancarnya lalu lintas. Asal, pandangan fokus ke jalan
dan tidak ugal-ugalan. Bukankah itu yang selalu dianjurkan? Selain hari libur,
jalan lengang hanya didapat pada saat pagi hari.
Tapi, apa jadinya jika kenikmatan berkendara terganggu
karena lubang? Lubang membuat fokus terganggu, membuat motor dan tubuh
terguncang. Maka, umpatan dan makian bisa muncul terlalu dini. Yap, terlalu
dini.
Mengumpat seketika, dan kemudian meringis kesakitan,
merasakan persendian yang beradu dengan cepat. Belum lagi, tubuh yang sekejap
melayang, dan sekejap pula memaksa pantat menerima berat tubuh dengan cepat.
Bergumam, mmmm, dan bertanya, 'Pernah ada yang mengalami hal ini?'
Dan selalu saja, jika aku menceritakan kejadian ini,
maka aku yang selalu dianggap tidak hati-hati. Maka, untuk kesekian kalinya aku
mengumpat, karena aku telah dikorbankan sebanyak dua kali. Pertama karena
nyaris celaka, dan yang kedua karena harga diri yang dianggap bodoh.
Aku protes!!!!!
Ini tidak adil, jika kemudian pengendara selalu
dianggap lalai atas kecelakaan yang dialaminya.
Apalagi aku, kurang fokus apa aku? Kurang siap apa aku
dalam berkendara? Semua tersedia dan semua disiapkan.
Itu sebab, aku teramat tidak terima jika dianggap
lalai dalam berkendara. Kalau mereka yang sengaja membahayakan diri dengan cara
ugal-ugalan di jalan raya, itu terserah mereka, karena itu resiko logis yang
terjadi.
Tapi, bagaimana kami yang taat aturan, tapi tetap
dikatakan lalai. Padahal, kalau dipikir-pikir, kecelakaan itu akibat jalan
berlubang. Jadi, siapa yang lalai?
Masih untung jika pengendara masih hidup saat motor
terguncang di sebuah lubang. Apa jadinya, jika sesaat setelah mengetahui ada
lubang di depannya, dan refleks, kemudian menghindari lubang. Sial, jika
kemudian tersenggol pengendara lain, atau bahkan pengemudi mobil dan bus, jatuh
dan cidera.
Tapi, jika kemudian, justru jatuh dan terlindas?
Apapun akan terjadi, kan? Bukan bermaksud mengada-ada. Tapi, lantaran
menghindari lubang, korban tewas berjatuhan selalu saja terjadi.
Ini salah satu beritanya, "Hindari Lubang, Siswi
di Tangerang Tewas Terlindas Truk" Via detik dot com, 16 Februari 2012.
Selanjutnya, silakan cari data di google terkait kecelakaan yang disebabkan
karena jalan berlubang.
Apa yang dialami siswi tersebut, bisa jadi akan
terjadi pada siapapun.
Cerita berikut adalah yang pernah aku alami. Misalnya,
hampir terjerembab di lubang di jalan Pondok Indah. Kemudian terpaksa
mengendarai motor secara zig zag di jalan Panjang. Terlalu pagi untuk berlaga
seperti stuntman.
Ya, aku mengendarai motor secara zig zag, lantaran
banyak titik-titik lubang di jalan Panjang. Aku sebisa mungkin menghindarinya.
Yup, sebisa mungkin, karena sekali waktu, aku pun lupa, dimana titik-titik
lubang itu berada. Meski rute tersebut aku lintasi saban pagi.
Kalaupun tidak perlu berlagak stuntman dengan
mengendarai secara zig-zag, maka aku perlu merasa untuk mengurangi kecepatan
motorku.
Anehnya, jelang jalan berlubang tersebut, tidak satu
pun papan atau spanduk peringatan yang menyarakan agar pengendara lebih
berhati-hati. Padahal sesuai peraturan yang berlaku, pemerintah dipersyaratkan
untuk memasang informasi tersebut.
Sekali dua kali melintas di jalan panjang tersebut,
boleh saja aku kemudian hafal titik-titik di mana saja lubang itu berada. Lalu
bagaimana jika ada orang yang baru kali pertama melintas? Siang hari mungkin
bisa mengurangi resiko ketidaktahuan. Bagaimana kalau malam hari? atau jelang
matahari terbit, seperti keseharianku?
Dan masih ingat dengan anjuran agar pengendara motor
melaju dijalur kiri? Aku hanya menarik nafas dalam. Tidakkah yang membuat
anjuran itu melihat kondisi badan jalan di jalur kiri seperti apa rupanya?
Banyaknya perusahaan yang memiliki kepentingan untuk
membangun dan memperbaiki jaringan di bawah tanah, berimbas pada badan jalan
sisi kiri yang kerap digali, ditimbun, digali, dan kemudian ditimbun.
Kalaupun kemudian lubang itu ditutup, maka, bekas
lubang itu tidak lagi rata dengan level jalan. lebih tinggi, atau amblas.
Sehingga jalan bergelombang.
Ini juga yang kerap membuat aku mengumpat terlalu dini
di pagi hari.
Belum lagi, saat hujan, maka semua lubang-lubang itu
menjadi seperti jebakan dan ranjau darat yang siap membuat pengendara motor
cidera, kapan pun. Karena menjadi layaknya kubangan.
Dan saat jalan berlubang, maka akan ditambal, bukannya
diperbaiki. Saat aspal tambal itu kemudian tergerus air, makan kembali
berlubang. Begitu terus berulang. Jalan bukan kian rata, justru kian
bergelombang.
Siapa yang lalai? Maka yang lalai layaknya dihukum,
apalagi jika sukses merenggut nyawa orang.
Jakarta punya cukup banyak cara membuat warganya
stres. Bahkan bisa jadi jika stres itu diawali sedini mungkin, pagi hari,
bahkan sebelum matahari terbit. Mengumpat terlalu dini.
Kalau melihat motor-motor yang perlahan menyesak di
lampu merah, maka pikir ku adalah pengendara ini adalah warga yang tahan mental
dan tahan banting. Belum juga mereka tiba di tempat mereka mencari nafkah,
banyak halangan yang mereka harus hadapi. Bangun terlalu dini, dan
jebakan-jebakan jalan berlubang dimanapun itu.
Dan pengendara seperti dibiarkan jatuh dan terjerembab
di lubang-lubang. Pengendara bukanlah keledai yang tidak akan jatuh pada lubang
yang sama. Pengendara hanya manusia, sehingga sering jatuh pada lubang yang
sama, tapi maaf, bukan karena lalai apalagi lupa. Tanya mengapa? (AD)
No comments:
Post a Comment