Depan rumah Mbaru Niang Gendang |
Upacara Pa'u Wae Lu'u adalah untuk meminta ijin dan perlindungan leluhur untuk tamu saat berkunjung hingga tamu meninggalkan kampung. Selain itu, para tamu yang datang pun dianggap sebagai saudara yang sedang pulang kampung.
Sebagai catatan, sebelum selesai prosesi ini, tamu tidak diperbolehkan melakukan kegiatan apapun termasuk mengambil foto. Hal yang terakhir ini sudah aku ketahui dari berbagai bacaan. Jadi, tidak ada salahnya dituruti larangan ini.
Waktu aku tiba di depan rumah, sudah ada sepasang tamu dari luar negeri yang bersiap untuk keluar. Jadi, aku tak perlu menunggu lama untuk mendapat giliran selanjutnya. Dan aku kemudian masuk bergantian dengan Rio - pemanduku. Dalam bahasa lokal ia menyampaikan maksud kedatanganku di kampung ini.Tidak begitu lama untuk sebuah prosesi penyambutan, namun kesan mendalam aku rasakan begitu aku masuk ke dalam Mbaru Niang. Cukup senang dalam hati saja, karena aku akan bermalam - meski hanya semalam saja.
Bersama pewaris budaya WaeRebo |
Jadi, tidak usah dibandingkan dengan tarif hotel berbajet rendah sekalipun. Karena yang aku rasakan kini adalah luar biasa mahalnya sebuah pengalaman.
Masih ada beberapa jam sebelum matahari terbenam di balik bukit. Aku bisa menyesapi suasana alam perbukitan ini yang dingin dan tenang- kalau tidak mau dikatakan sepi. Aku yang introvert sangat menyukai suasana ini. Utamanya melihat bangunan rumah di Wae Rebo.
Suarsana akrab tamu dan warga |
"Makan sedang disiapkan. Nanti setelah siap, Saya akan panggil Abang", ucap Rio.
Aku mengangguk kemudian membuka sepatu untuk masuk ke rumah.
"Jadi seperti ini tampak dalam kamar yang akan aku tempati untuk bermalam," bisikku dalam hati.
Ruangannya cukup bersih dan tertata.
"Cukup menampung untuk 40 tamu", jawab Rio, saat menyadari aku menyapu pandangan ke dalam ruangan ini.
"Abang bisa letakkan tas abang di mana abang mau", lanjutnya.
Aku kemudian menyasar lokasi untuk tidur yang di atasnya ada jendela.
Dan sembari menunggu makan siap, aku membenamkan diri dengan suasana lokal.
Mengamati tiap jengkal wilayah Wae Rebo. Terutama mengamati tujuh buah rumah di sini.
Uniknya, rumah di Wae Rebo ini harus berjumlah tujuah buah. Jika, ada yang ingin membangun lagi, maka harus membangunnya di luar kampung.
Kerajian tenun kain Cura |
Lalu apa sebenarnya Niang itu? Niang adalah atap kerucut terdiri dari daun lontar dan ditutup ijuk dibuat hampir menyentuh tanah.
Mbaru Niang Gendang Maro adalah bangunan yang paling tinggi yaitu 14 meter. Tepat di depannya ada semacam altar. Tingginya satu meteran dan bernama Compang. Di Compang inilah menjadi pusat upacara adat. Tamu dilarang menginjak lantai dari Compang ini. Sebagai pusat dari upacara adat, maka tidak heran jika diperhatikan, semua pintu dari tujuh rumah di Wae Rebo ini menghadap ke Compang.
Meski berada di kawasan yang terisolir - jauh dari keramaian dan perjuangan - namun Wae Rebo tidak pernah sepi pengunjung. Ada saja yang datang. Baik perorangan, maupun berkelompok.
3 Solotraveller bertemu di Wae Rebo |
Jadi, agak riskan juga kalau menyoal soal uang. Toh, yang didapat di kampung ini adalah hal yang luar biasa. Dan bagiku, berada di sini adalah sebuah pencapaian tersendiri, hadiah diri, dan ego. Meski aku pada akhirnya merasa harus asik sendiri berada di kampung ini.
Berkeliling kampung yang tidak seberapa luas. Menyapa warga yang tidak semuanya bisa berbahasa Indonesia. Saling senyum adalah yang menyatukan keakraban kami. Dan warga disini pun sudah terbiasa dengan tamu dari banyak kalangan. Mereka terbuka dengan tamu dengan syarat dan ketentuan tertentu. Misalnya, tamu harus berpakaian sopan, berlaku sopan dan tidak berkata kasar. Plus, dilarang memberi uang atau kue kepada anak anak. Mereka - warga lokal - tidak mau mendidik anak - anak mereka menjadi seperti peminta - minta.
Niang Gena Maro; rumah untuk tamu |
Justru aku mendapati pertemanan baru. Iya, pertemanan baru.
Memang rejeki di perjalanan itu selalu dalam bentuk yang tidak terduga. Di saat aku menyisir halaman rumah warga, menginjakkan kaki di rerumputan. Aku berkenalan dengan dua pejalan asal Jakarta. Keduanya berangkat dari Jakarta seorang diri. Dan kami bertemu di Wae Rebo. Selanjutnya
No comments:
Post a Comment