
Bukan lantaran kondisi Mbaru Niang Tirta, tapi lebih ke akunya saja. Antara kelelahan, dan terlalu banyak yang diinginkan. Mencoba menyisir prioritas dan mencari yang seharusnya bisa dihilangkan. Dan semua itu memaksa otak terus bekerja, sementara tubuh sebenarnya perlu untuk tidur. Empat jam untuk tidur rasanya cukuplah.
Lepas tengah malam memang kemudian, aku rasa aku bisa bisa larut dalam kelelahan fisik. Cara berpikirku pun telah terkalahkan dengan rasa kantuk yang teramat sangat.
Ditambah suasana kampung tengah malam yang begitu hening. Sepi. Di dalam Mbaru Niang ini pun hanya sesekali terdengar tamu yang berganti posisi tidur, sehingga tubuhnya sedikit bergesekan dengan tikar pandan. Tidak ada suara mendengkur. Untungnya.
Yang ku ingat selanjutnya adalah aku terbangun sekira jam lima pagi untuk selanjutnya salat Shubuh. Aku ingat, aku dan Ipah bangun hampir bersamaan. Aku yang kemudian berjalan perlahan di tengah gelap menuju pintu belakang rumah ke kamar mandi untuk berwudhuh. Sudah bisa ditebak sebenarnya, bagaimana air sepagi itu. Dingin. Sangat dingin. Tapi, wudhuh tetap berjalan. Dan Shubuh tetap terlaksana. Rasanya? Nikmat banget.
Senikmat seruputan kopi pertamaku di Wae Rebo.
Wangi!!!

Apalagi ini adalah kopi hitam tanpa gula. Ah, sudahlah. Aku hanya ingin ini menjadi pengalaman lidahku saja. Abaikan imbas ke lambung. Dan sejurus kemudian, lidahku telah mengecap kopi. Rongga mulutku telah dipenuhi air kopi. Sedikit berkumur, menyesapi semua kepahitannya kopi. Nikmat.
Kopi bagi masyarakat Wae Rebo adalah sesuatu yang dibanggakan. Pohon kopi mereka tanam di sekeliling kampung. Selain dikonsumsi sendiri, sebagian lainnya dijual. Bahkan sejak pagi sekalipun aktivitas menjemur biji kopi sudah dilakukan warga dengan menggelar lembaran terpal dari plastik. Menggelar terpal plastik sejak pagi adalah cara warga memanfaatkan keberadaan matahari. Karena kalau kabut menutupi kampung mereka, itu berarti masa penjemuran kopi akan bertambah.
Warga lainnya pun sudah mulai memilah biji kopi. Sementara lainnya sudah pergi ke kebun kopi dengan keranjang yang diikat pada kepala.
Selain dijual di luar lingkungan Wae Rebo, warga pun mengemas kopi ini sebagai oleh-oleh yang bisa dibeli pengunjung dengan harga terjangkau.
Melihat dengan kepala sendiri, bagaimana warga mengolah kopi mereka secara tradisional menjadi keharusan bagiku untuk membeli kopi.
No comments:
Post a Comment