Baru menyadari kalau
memiliki #FakeName itu cukup menguntungkan. Kenapa? Temukan saja jawaban di
akhir artikel ini, berikut pesan moralnya apa.
Nama yang aku gunakan
sekarang #AdhiePamungkas, sesungguhnya bukanlah nama asli. Jauh bahkan, antara
nama pemberian orang tua dengan yang aku gunakan sekarang. Tidak ada kaitannya,
meski maksud tersirat ada, antara Adhie sebagai nama panggilan yang populer aku
gunakan sejak satu SMP, dan Pamungkas yang populer aku gunakan semenjak masuk
dunia kerja. 2010, yup sejak saat itulah aku lebih dikenal dengan nama
panggilan Adhie Pamungkas. Di saat menulis artikel untuk majalan dwi mingguan
aku menggunakan inisial AD, bukan AP- semestinya.
Nama itu pula yang aku
gunakan sebagai nama pergaulan. Mengenalkan diri sebagai Adhie Pamungkas, bukan
nama sesungguhnya. Nama asliku, tenggelam bersamaan dengan sering digunakannya
#FakeName.
Tidak hanya pada
lingkungan pergaulan, #FakeName aku gunakan juga untuk mendaftar jejaring
sosial. Mulai dari Friendster, Hi5, Facebook, Blogger, Twitter, Couchsurfing,
LinkedIn. Semua data dan perjalanan
hidup aku selama mengenal dunia maya, ada disitu, dengan menggunakan #FakeName.
Dan kemudian, ketika aku
memutuskan untuk kembali menggunakan nama asliku, rasanya rekam jejak digital
ku, sulit terlacak. Tak ada data di dunia maya yang menggunakan nama pemberian,
dan yang kurasa adalah nama pemberian ini menguntungkan, ketika ada saat dimana,
ingin menggunakan kembali nama pemberian.
Lalu bagaimana dengan
rekam jejak digital aku selama hampir belasan tahun ini?
Well, Aku bisa saja
dengan mudah melakukan #BunuhDiri digital. Pernah dengar, sih, tanpa website pada hari ini dan usia adalah
bunuh diri digital. Tapi, ketika kita ingin remove data dari pergaulan sosial
dunia maya, maka istilah Bunuh Diri Digital adalah perlu.
Intinya, dalam hidup,
kehidupan sosial itu lebih tercerna ketika ada hubungan yang jelas, dengan
tatap muka - ini kalau menganut kehidupan sosial konvensional. Kemudian
bergerak kepada kehidupan sosial yang tidak perlu tatap muka, tapi cukup dengan
suara. Belakangan ketika internet menyambangi kehidupan, maka, lambat laun,
kita pun mengenal dengan kehidupan sosial dunia maya.
Prinsipnya, keduanya bisa
menyatu, jika saat dunia maya tidak lagi terpuaskan, maka bisa melakukan kopi
darat. Pun, sebaliknya. Pilih mana disuka. Ini kemudian menjadi pilihan.
Tapi, ketika kemudian,
dirasa cukup, memutus hubungan dengan dunia maya, bunuh dirilah. Meski
meninggalkan konsekuensi logis, hilang 'pertemanan' dan pertemanan di dunia
maya.
Apapun alasan orang
melakukan #BunuhDiriDigital, inti utamanya adalah tidak ingin semudah itu,
orang lain melacak keberadaan kita. Rekam pekerjaan, rekam teman, rekam hobi,
bahkan rekam foto. Coba, deh, cek nama anda di situs pencarian, kemudian klik
foto. Betapa mudahnya orang mengopi dan kemudian menggunakan data kita,
penggandaan data.
Ingat, saat kita klik
perjanjian untuk bergabung dengan situs jejaring sosial, maka konsekuensinya
adalah dengan mudahnya data terlacak.
Pertanyaannya, sanggup
melakukan #BunuhDiriDigital? Aku sudah, pada situs jejaring #friendster,
beberapa tahun lalu. Tapi, belum sanggup melakukan #BunuhDiriDigital untuk
lainnya. Usaha pertama yang aku lakukan adalah membenamkan nama populer yang
sekarang, dengan nama pemberian. Dengan demikian, #BunuhDiriDigital yang aku
gunakan tidak serta merta menghapus rekam dan jejak digital aku di dunia maya,
tapi menyulitkan orang lain, melacak keberadaan jejak dan rekam digitalku.
Bersembunyi. Untung rugi dan konsekuensinya sudah aku perhitungkan.
Jadi, #BunuhDiriDigital tidak cukup dengan alasan menutup rasa malu dengan sesegera mungkin. Apalagi jika tidak mampu meretas perdebatan di dunia maya.
No comments:
Post a Comment