Saturday, August 17, 2013

Biarkan Bebas (Part 2)

Sesaat kemudian keduanya terdiam. Ruangan menjadi begitu hening.
    "Ari, apa yang terjadi terhadap lu sebenarnya, gue mengkhawatirkannya. Gue temen lu. Gue akan bantu lu. Tolong beri gue kesempatan untuk menebus kesalahan gue!" ucap Sam pelan.
    "Peduli apa lu terhadap keadaan gue, Sam?"
    Serentak Sam beranjak dan menghampiri Ari.
    "Dengar, Ri, lu nggak berhak memperlakukan gue seperti ini!"
, ucap Sam dengan keras, meluapkan amarah yang ia pendam sejak tadi.
    "Ooooo...tentu saja gue berhak!"
, ucap Ari sambil berpaling dari Sam.
    "Ari, lu sakit. Apapaun yang lu lakukan terhadap gue, gue nggak peduli. Gue tahu gimana rasanya ditinggal sendiri. Banyak kejadian yang menimpah lu belakangan ini. Silahkan kalau lu mau sundut bara rokok itu ke tangan gue, asal lu puas, asal itu bisa menyenangkan lu!" tak dikira, air mata Sam jatuh.
    "Ya, gue sakit. Gue gila. Gue nggak waras. Apalagi yang lu hinakan ke gue?"
runtuknya.
    "Gue nggak menghina lu, Ri. Justru gue ingin menolong lu".
    "Buang semua basa basi lu yang nggak berguna itu!"
     Suasana berubah. Tampaknya Ari menyadari posisinya telah direbut Sam.
    "Jangan membuat gue marah, Sam. Jangan membuat kuping gue panas. Gue nggak peduli dengan asap rokok yang mungkin akan membunuh gue. Kalau perlu gue akan bakar semua ini. Gue akan bakar tempat ini. Biar gue mati tergarang!".
    "Lalu bagaimana dengan gue?", tanya Sam.
    "Kita akan mati sama-sama!" jawab Ari ringan.
    "Elu mau kita mati bareng? Maksud lu?" tanya Sam lagi. Ia tampak kian gusar. Sesekali ia mondar-mandir di ruangan itu.
    Sudah hampi satu jam mereka terkurung di ruangan itu. Sengaja terkurung, tepatnya. Sam tidak menyadari kalau Ari telah membawanya ke dalam suatu permainan. Sesaat setelah mereka masuk ke dalam ruangan itu, segera Ari menyembunyikan anak kunci.
    "Tidak, tidak, kita nggak akan mati sama-sama. Gue yang akan mati duluan, baru elu!"

    "Tapi, Ri!"
    "Diaaaaaaam!"
teriak Ari. Ia lantas duduk.
    "Elu kemana waktu gue membutuhkan lu. Kenapa lu ninggalin gue. Kan kita temenan!"
.
    Sam membelalakan matanya. Sisa-sisa air matanya mulai mengering.
    "Kita memang temenan, Ri".
    "Gue sendiri, Sam. Gue nggak punya siapa-siapa lagi. Gue yang menyebabkan keluarga gue ninggalin gue. Gue yang membuat mereka terus-terusan tertekan dengan perbuatan gue. Gue salah dan kini gue sendirian",
ucap Ari datar.
    Sam menghampiri Ari.
    "Gue bersama lu. Gue teman lu, Ri!"
,
    "Bohong!", runtuk Ari.
    "Sadar, Ri. Elu sedang kalut. Apapun akan lu lakukan, tapi itu percuma, dan tidak akan menolong. Elu nggak berpikir jernih. Gue akui, memang gue nggak memperhatikan lu. Gue memang nggak ada saat lu membutuhkan gue!".
    "Tahu apa elu tentang sayatan tangan yang gue buat beberapa kali? Tahu apa tentang kebiasaan gue mengeluarkan darah dengan jarum dari ujung jari gue? Apakah itu cukup menarik perhatian elu? Tidak. Yang gue lakukan semuanya tidak cukup untuk menarik perhatian lu. Terus apa lagi yang harus gue lakukan? Apa gue harus memotong urat nadi gue di hadapan lu?"
.
    "Tapi untuk menarik perhatian gue, nggak perlu elu melakukan semua hal itu. Itu nggak wajar!"
.
    "Tahu apa lu tentang kewajaran? Cepat atau lambat gue akan mati. Tak peduli cara mati seperti apa yang akan gue hadapi. Wajar atau mungkin cukup mengenaskan!", ucap Ari tenang dan sedikit menyembunyikan rahasia dalam dirinya.
    "Ari, lu sakit, tolong agar kita bisa keluar bersama dari tempat ini. Berikan kuncinya, setelah itu gue akan mengantar lu ke rumah sakit. Gue akan nemenin lu sampai sembuh!", bujuk Sam.

No comments:

Post a Comment