Saturday, August 24, 2013

Biarkan Bebas (Part 3)

    "Sakit, sakit, sakit. Terus saja katakan. Tahu apa lu tentang sakit gue, ha?" Ari kemudian beranjak dari duduknya dan melangkah. Namun baru dua tiga langkah ia berjalan, ia tampak kehilangan keseimbangan. Kalau saja tidak ada meja yang menjadi topangan tangannya, mungkin ia sudah terjatuh.
    Melihat itu, dengan segera Adam menghampiri Ari untuk menawarkan bantuan. Tapi, lagi-lagi Ari menolak.
    "Biarkan, Sam. Gue cukup mampu untuk berdiri sendiri"
.
    Sudah tak tampak lagi keangkuhan Ari terhadap Sam. Walaupun masih ada, Sam tak ambil pusing. Ia menganggap itu merupakan luapan emosi Ari sejak kepergian keluarganya. Kehilangan keseimbangan itu mungkin akibat dari banyaknya asap rokok di ruangan ini, pikirnya.
    Ari tampak melemah. Kemudian ia mencoba untuk melangkah lagi.
    "Lihat, lihat gue sudah bisa berjalan lagi dengan tegak, kan?" Ari tertawa terbahak-bahak. Sedang Sam meringis menyaksikannya. Sam tidak menyangka kalau Ari bukanlah teman seperti yang dulu dikenalnya. Ari jadi tidak waras.
    "Ari maafkan gue. Tolong maafkan gue. Biarkan gue menolong lu!"
.
    "Tak perlu, Sam!", ucap Ari datar.
    Serentak tangan Sam merenggut kerah baju Ari.
    "Dengar, lu nggak berhak memperlakukan gue seperti ini!"
, ucap Sam lantang. Sebaliknya Ari berekasi tenang.
    "Lepaskan, Sam!"
, pinta Ari pelan.
    "Baik. Tapi berikan kuncinya. Sudah cukup gue mneyaksikan ini semua, dan elu...sudah puaskan melihat gue seperti ini?",
    Ari merogoh kantong celananya. Sebuah anak kunci sudah ada dalam genggamannya.
    "Ini kuncinya. Maafkan gue sudah membuat elu seperti ini!".
    Sam segera meraih anak kunci itu. "Lalu bagaimana dengan lu, Ri?"
    "Jangan khawatirkan gue, Sam. Gue akan baik-baik saja. Sekali lagi, maafkan gue!"
.
    "Jangan khawatir, Ri. Gue ngerti".
    "Terima kasih sudah nemenin gue yang terakhir kali"
, ucap Ari sambil membelakangai Sam. Tapi, secepat itu pula Sam berubah pikiran. Ia menghentikan niatnya untuk keluar dari ruangan itu.
    "Ada yang lu sembunyikan, Ri?"
    Ari membalikkan tubuhnya, kemudian tersenyum. "Tak ada yang gue sembunyikan dari lu, Sam. Jangan pedulikan kata-kata gue".
    Sam tampak lega mendengar pengakuan Ari. Tapi, tiba-tiba ia melihat Ari memejamkan matanya rapat-rapat. Keningnya dikerutkannya tiba-tiba. Kedua tangannya merenggut rambutnya kuat-kuat serta mengerang bagaikan orang kesakitan. Sam segera melepaskan anak kunci yang dipegangnya. Ia memburu Ari.
    "Kenapa, Ri?", Sam merenggut kedua bahu Ari dan digoncang-goncangkannya dengan keras.
    "Saaa...kit, Sam!" rintih Ari.
    "Kenapa dengan kepala lu, Ri?"
, tanya Sam cemas.
    "Kenapa, Ri?"
    "Pusing, Sam".
    Sam membaringkan Ari di lantai yang sedikit berdebut. Kepala Ari disandarkan di pangkuannya. Berkali-kali Ari merintih sambil memegang kepalanya. Ia tidak tegha mendengarkan itu semua. Tapi, Ari benar-benar membutuhkan bantuannya.
    "Biarkan gue panggil ambulan, Ri!"
    "Jangan, Sam, percuma. Gue tahu ini bakal terjadi. Jangan buang tenaga lu. Gue nggak bakalan sembuh".
    "Nggak ada yang percuma, Ri. Gue ingin menolong lu. Jangan pesimis"
.
    "Sam, mau nggak lu nemenin gue?", pinta Ari dengan suara kian lemah.
    "Iya, gue akan nemenin lu, sampai lu sembuh!".
    "Ini kanker otak, Sam. Nggak ada harapan lagi", ucap Ari datar.
    "Tidak, Ri. Lu bakal sembuh, pasti sembuh!".
    Sam berkali-kali menyemangati Ari, tapi perlahan mata Ari terpejam.
    "Ari, bangun, Ri. Elu cuma tidurkan, kan, Ri? Ri,...Ari...!"

No comments:

Post a Comment