05:45 Pak Made memanggilku yang sedang menjemur handuk, usai mandi dan sholat. Tepat seperti janjinya yang akan menjemputku jelang fajar. Yup, hari ini aku akan mengikuti Dolphine Tour, prosesi wajib jika berada di Lovina, Singaraja.
Pak Made bilang, dalam satu Jukung akan ada Pak Made, aku dan dua turis asal Perancis. "Kita ke hotel mereka dulu!", ajak Pak Made. Aku pun beringsut ke jok belakang motornya. O iya, Jukung adalah perahu tradisional khas Bali.
Tidak berapa lama, kami tiba. Cantik, tapi tidak seperti cewek Perancis kebanyakan, mungkin mereka keturunan, meski keduanya berasal dari Paris. No, aku tidak pamer kebisaanku dalam berbahasa, aku memilih diam, karena aku nggak paham karakter mereka. Bisa saja mereka yang tidak ingin diganggu, meski hanya sekedar menyapa. Perlu beberapa menit untuk klik. Ya, aku, sih, memang ga ahli sekali dalam berbahasa. Tapi, cukuplah untuk bisa sekedar klik dan mencairkan suasana.
Di bibir pantai sudah banyak Jukung yang siap berlayar. Tidak hanya satu atau belasan Jukung, tapi terlihat puluhan Jukung yang siap 'berburu' lumba-lumba. Tiap Jukung disesaki 4 - 5 penumpang. Pemandangan ini sudah akrab sejak dulu. Wisatawan beramai-ramai bangun pagi demi melihat lumba-lumba. Sementara ingat ucapan seorang teman, tidak tiap hari lumba-lumba memunculkan diri. Selain cuaca, juga keberuntungan. Aku pasrahkan keberuntunganku dengan alam.
Sebagai salah satu atraksi wisata alam, yang diperlukan adalah kesabaran. Apalagi menyangkut tingkah laku hewan. Aku nggak tahu seberapa sering lumba-lumba akan muncul. Tiap detik kah, atau tiap menitkah, atau bahkan tidak sama sekali. "Pasti akan muncul, yang penting sabar!", ucap Pak Made.
Iya, aku akan bersabar. Tapi aku juga pasrah jika pada tour selama dua jam ke depan aku tidak bertemu lumba-lumba. Saat hening, dan saat mesin motor dimatikan, terdengar teriakan. "Di sana!" - maksudnya ada lumba-lumba. Tetiba mesin motor dinyalakan, Jukung diarahkan ke lokasi lumba-lumba. Puluhan wisatawan pasang aksi dengan berusaha mengabadikan lumba-lumba. Namun, tidak berapa lama lumba-lumba tenggelam. Mesin motor dimatikan, atau setidaknya dalam posisi vacant.

Apa iya harus seperti itu?
Dari obrolan dengan sopir, ya, memang seperti itu adanya sejak dulu. Para pemilik Jukung berusaha memuaskan wisatawan agar bisa melihat lumba-lumba. Setengah berdebat aku berucap,
"Tapi tidak dengan cara yang harus mengejar lumba-lumba seperti penjahat".
"Nah, kalau lumba-lumba nggak muncul nanti wisatawan kecewa, karena sudah jauh-jauh ke Lovina".
"Ya, wisatawan yang mana dulu. Wisatawan juga harus tidak menuntut macam-macam ke sesuatu yang sifatnya alam. Biarkan apa adanya",
"Memang semestinya",
"Dan semestinya pemilik perahu dan pemilik tour juga tidak memberi harapan terlalu besar kepada wisatawan. Maksudnya, lumba-lumba bisa dilihat di Lovina, tapi.....kalau cuaca oke, kalau ini, kalau itu".
Nah, Lovina sendiri diberikan nama dari Presiden Soekarno yang memiliki arti "Love Indonesia" - baru tahu.
Terombang ambing di atas lautan, ditambah dengan kondisi di php-in lumba-lumba, rasanya kian lengkap ketika aku sudah merasa mabuk laut.
Kedua wisatawan asal Prancis itu, menoleh ke arahku, "Do you mind if we comeback? or you wanna stay here? My friend is sick and i don't like the way they treat the dolphins".
"Agree!"
Segera aku minta Pak Made untuk kembali ke daratan. Tour yang semula berdurasi dua jam, tersudahi di menit ke 60.

No comments:
Post a Comment