
Bukan lantaran kondisi Mbaru Niang Tirta, tapi lebih ke akunya saja. Antara kelelahan, dan terlalu banyak yang diinginkan. Mencoba menyisir prioritas dan mencari yang seharusnya bisa dihilangkan. Dan semua itu memaksa otak terus bekerja, sementara tubuh sebenarnya perlu untuk tidur. Empat jam untuk tidur rasanya cukuplah.
Lepas tengah malam memang kemudian, aku rasa aku bisa bisa larut dalam kelelahan fisik. Cara berpikirku pun telah terkalahkan dengan rasa kantuk yang teramat sangat.
Ditambah suasana kampung tengah malam yang begitu hening. Sepi. Di dalam Mbaru Niang ini pun hanya sesekali terdengar tamu yang berganti posisi tidur, sehingga tubuhnya sedikit bergesekan dengan tikar pandan. Tidak ada suara mendengkur. Untungnya.
Yang ku ingat selanjutnya adalah aku terbangun sekira jam lima pagi untuk selanjutnya salat Shubuh. Aku ingat, aku dan Ipah bangun hampir bersamaan. Aku yang kemudian berjalan perlahan di tengah gelap menuju pintu belakang rumah ke kamar mandi untuk berwudhuh. Sudah bisa ditebak sebenarnya, bagaimana air sepagi itu. Dingin. Sangat dingin. Tapi, wudhuh tetap berjalan. Dan Shubuh tetap terlaksana. Rasanya? Nikmat banget.
Senikmat seruputan kopi pertamaku di Wae Rebo.
Wangi!!!