Thursday, November 10, 2011

Merapi - Setahun Lalu

Lembar cuti telah di ACC manager sebulan lalu. Sementara, tiket pesawat telah dibooking 3 bulan sebulannya. Ini beneran liburanyang amat terencana. Kecuali hotel, persiapan lainnya telah disusun. Bahkan itineraire, dan buku panduan liburan pun sudah siap. Yup, jelang ulang tahunku, aku mau liburan ke Jogja.
Namun, rencana itu berangsut kian suram. Status merapi tiap harinya kian ditingkatkan. Yang menjadi kekhawatiran utamaku adalah jika keadaan tidak kunjung membaik, maka, mau tidak mau penerbanganku dibatalkan. Memang ini kasus force major. Semua biaya yang dikeluarkan akan diganti (baca: refund) oleh maskapai. Tapi, itu tak begitu saja mudah untukku membatalkan perjalananku ke Jogja.
Alih-alih maksa berangkat, seminggu sebelum berangkat, aku antri tiket promo. Niatku, merubah jadwal cuti. Berangkat mundur, maka pulang pun mundur. Aku dapat tiket one-way 120K idr. Tapi, semua kemudian gugur. Penerbangan ke dan dari Jogja semua dibatalkan. Merapi tidak dapat dikendalikan. Debu dan pasir mengancam penerbangan.
Aku bersiasat, aku harus ke Jogja. Tapi untuk apa? Begitu teman-teman bertanya. Aku tahu, ini keputusan bodoh, jika aku tetap ke Jogja.
Rencana cuti, memang pada akhirnya, mau tidak mau diketahui kantor. Dan kantor pun kemudian fokus untuk mengirimkan team ke Merapi. Cuti!
Yap, aku cuti! Dan aku menampik untuk mengalihkan cuti menjadi kerja. Kesal, lantaran, aku sudah menawarkan diri untuk bantu liputan Merapi, jika memang kantor membutuhkan aku. Tapi, niat aku hanya dibalas, 'boleh saja bantu, tapi nggak dapat SPJ yah'.
Mmmmm dalam hati aku hanya berujar, aku tidak perlu menerima uang SPJ, aku bisa lakukan semua for free. Kenapa harus dipikir dengan uang? Segalanya kemudian memang tiba-tiba bisa menjadi mungkin. Aku bawa seragam. Jika, tiba-tiba kantor memerlukanku. Aku sudah tidak mikirkan uang.
Dan aku tetap berangkat ke Jogja, dengan naik kereta api. Ini kali pertama perjalananku naik kereta ke Jogja. Uang saku yang seharusnya lebih dari cukup, harus berkurang, karena harus beli tiket KA PP. Menyiasati kekurangan uang saku, aku pun menumpang tidur beberapa malam di kos seorang teman.
Pagi tiba di Jogja, aku sempatkan diri makan nasi angkringan di Stasiun, terus naik Trans Jogja menuju kos. Cukup jauh dari pusat kota. Dan turun dari bus pun, aku harus berjalan cukup lama. Ini melelahkan, bisikku. Tapi, ini salah satu cara menekan bajet perjalanan. Tapi, untuk apa aku saat ini di Jogja.
Bekal following #jalinmerapi, aku pantau posko-posko pengungsian. Ini terlalu pede. Aku terlalu bodoh untuk mengenal Jogja. Sementara sebaran pengungsi cukup luas. Aku telpon satu-satu penanggung jawab posko pengungsi. Kemudian ku dapati Muntilan. Ku tanya, bagaimana meraih tempat posko? berapa lama perjalanan? naik bus apa? Saat informasi ku dapatkan, ku urung berangkat.
Baik, liburan cuti ku tahun ini, ku putuskan untuk menjadi relawan di daerah bencana. Tapi, aku pun berpikir logis, dengan suasana Merapi yang tidak bersahabat, aku harus juga berpikir untuk keselamatan aku. Dan posko pengungsian yang paling dekat dengan lokasi kos adalah stadion maguwo.
Bersendal jepit dan kaos, plus tas pinggang aku menjajahi bus Trans Jogja. Di ujung gang, aku lanjutkan perjalananku dengan ojek. Tanpa ku beri tahu tujuanku, tukang ojek itu menebak tujuanku. Dan saat ku tanya tarif, ia berkata, 'serelanya bapak aja. Bapak pun ke sini bantu warga juga dgn sukarela, kan?' Tapi, aku pun tak mau semaunya bayar. Aku masih bisa bayar, berapapun yang ia minta, tapi dengan batasan wajar. Baik banget nih tukang ojek. Dan daripada aku pusing mencari ojek untuk kembali ke halte, aku pun meminta nomer hp-nya.
Stadion begitu sesak. Dan rasanya aku tidak perlu menjelaskan secara rinci bagaimana kondisi di stadion. Super berantakan. Spanduk berjejer tak beraturan. Begitu pun baju seakan tidak mau kalah, berjejer. Sejurus mata melihat segerombolan anak-anak bernyanyi dengan posisi melingkar. Sementara di tengahnya, mungkin, mahasiswi yang memandu tiap gerak anak-anak tersebut.
Desa Kemiren, Yogyakarta
Aku yang sejak awal mencari posko kemanusiaan, kembali ke misi awal. Sekedar mendaftar. Sekedar memberi tenaga. Aku menghampiri sebuah posko penerangan, berharap akan menunjukan jalan. Nyatanya, sekali aku dilempar ke posko lain, dua kali dilempar ke posko lainnya, dan kali ketiga??? Well, heloooooooow. Coba untuk tidak berprasangka. Tapi yang aku rasakan justru berbeda. Give up? Nop, aku lebih memilih berpikir kalau mereka terlalu sibuk, dan menganggap aneh kedatanganku. Apalagi aku seorang diri.
Aku pun akhirnya menghampiri teman-teman kantor. Asal tahu saja, aku sebenarnya ingin menghindari kontak langsung dengan teman-teman kantor. Tapi, argh, kenapa kemudian aku datang menyapa?
Aku ini sedang liburan. Aku nggak mau kerja. Aku nggak mau liputan. Tapi, esok paginya aku sudah bergabung. Status ku nggak jelas. Jakarta tidak mengetahui keberadanku. Sampai wajahku muncul di layar tv. Diprotes? Nop. Jakarta hanya tahu aku sedang cuti. Dan saat aku kemudian diketahui liputan, Jakarta tidak melarangku untuk melanjuti liputan. Aku bebas. Yup, aku reporter relawan untuk stasiun tiviku sendiri.
Apa aku merubah misi awalku? Nop, ini salah satu jalan bagiku, masuk ke area bencana, berinteraksi langsung dengan warga, menyampaikan keluhan mereka dengan mick dan kamera yang aku gunakan. Ini caraku. Ini caraku menjadi relawan dengan caraku ini. Dan aku begitu bersemangat. Pikirku, kalau aku tidak menggunakan atribut reporter, mana mungkin aku bebas masuk ke sejumlah wilayah terisolir? Ini berkah untuk aku. Sadar aku tidak dibayar untuk pekerjaan ini, tapi aku tidak mengapa. Kepuasanku melebihi dari sekedar uang spj. Sadar meski aku relawan reporter, aku pun selalu mengiyakan perintah field producer untuk kesana kemari ambil liputan. Bahkan, beberapa liputanku dipakai untuk materi live. Ini sungguh menyenangkan batinku. Membuka mata, aku bisa terapkan yang aku bisa untuk sesama.
Dan aku pun tidak sungguh merugi, 'upah' beberapa liputan, aku pun bisa tidur numpang bersama teman, pun untuk sekedar makan. Impas. Dan aku tidak mau minta lebih dari apa yang aku sudah lakukan. Sadar, aku sedang cuti. Ini semua lebih dari cukup.
Berada 5 kilometer saat siaga satu, jika bukan karena tugas, adalah perbuatan bodoh. Tapi, demi pekerjaan, ini berubah menjadi perjuangan mendapatkan nilai berita. Aku menggarap profil desa penghasil salak pondoh di lereng gunung berapi. Usai, aku bersama teman camper dan driver, ingin naik 3 kilometer ke atas, menuju desa peternak ayam. Namun, mendung, membuat kami urung. Lantaran bunyi geluduk tiada hentinya. Sampai di posko dengan 30 menit perjalanan, baru ku tahu, bunyi geluduk itu ternyata adalah bunyi letusan gunung berapi. Alhamdulillah.
Jika di hari tiba di Jogja, urung ke Muntilan, maka, aku pun berkesempatan ke Muntilan bersama rombongan teman kantor. Bersandar SNG di sebuah asrama, tempat ratusan warga mengungsi. Menyelami rasa keprihatinan warga. Berbaur bermain bersama anak-anak. Ngobrol dengan penuh kesederhaan, dengan hanya duduk di koridor sekolah. Mendengar keluh kesah, dan semangat bertahan warga. Kesan ini luar biasa. Ini lebih dari sekedar menjadi repoter relawan, tapi lebih pengalaman batin jelang pertambahan usiaku.

No comments:

Post a Comment