Saturday, April 30, 2011

Status: Jumper Next --> Penang


Jam 7 pagi aku sudah siap dengan tas ransel. Menarik nafas panjang, dan 'oke, this is it, my next destination #Penang". Penang sebenarnya bukanlah tujuan akhirku. Karena menjawab tantangan seorang teman, kemudian memperhitungkan jarak yang ngga terlalu jauh dari #Melaka, aku kemudian mengiyakan. Mengiyakan dalam waktu kurang dari 2 minggu. Alhasil kasak-kusuk. Ubah rute, riset lagi, dan hunting tiket. *tepokjidat.
Namun, baiklah, sepertinya ke #Penang, akan melengkapi wisata kota tua ku di pesisir Melaka ini.
Karena sudah tak ada lagi yang aku lakukan di kamar, aku putuskan untuk ceck out.
Dan tidak perlu bangunin si penjaga hostel. Katanya, kalo mau ceck-out, kunci kamarnya cukup di lempar ke dalam saja. Baiklah. *pring
Gerimis, maaaaaak!

Friday, April 29, 2011

Jejak Kaki Kota Tua Melaka

Aiiiiiiiiiih masih gelap bener. Waktunya salah nih. Celingak celinguk, sepi. Bengong di depan pintu. Beneran masih sepi. Swear, aku nggak bohong. Dingin? Nggak sih, tapi laparnya pasti.
Widiiiiih McD 24 jam itu membuat pandangan nggak kemana-mana. Sumpah, aku suka banget dengan posisi hostel ini, strategis bener. Hidup seolah berada di tengah-tengah peradaban, yaitu peradaban kuno dan modern. Tapi, kaki lebih memilih melangkah ke Seven Eleven, 5 meter dari hostel. Roti dan air kemasan ukuran 1,5 liter. Hey, aku sudah mandi shubuh tadi.
Aku pun balik ke kamar, dan menyendiri. Menyusun rencana perjalanan berikutnya di kota ini.
Kalau kemarin, sisi kanan sungai Melaka, maka hari ini adalah sisi kirinya. Dimana banyak bangunan tua Islam. Yup, berdasar pengamatanku sih seperti itu. Dan sisi kiri sungai juga banyak tinggal penduduk lokal. Dan aku tahu, perjalanan hari ini beneran yang super lama, seharian penuh. Jonker Walk salah satu tujuan.
Kelar sarapan nasi goreng putih teri medan, plus ceplok telor, aku melengkapi sudut kota sisi kanan Melaka yg kemarin belum rampung. Berbekal peta dan info warga lokal, aku susuri tiap jalan, dan gedung tua. Pagi itu, depan Christ Church sudah banyak turis asing. Dan yang menjadi favorit mereka, tentu saja naik becak khas Melaka, dengan iringan lagu Wali. *kalem

Tak Pernah Pegal Hati

Oke, aku sudah berada tepat di depan menara Tamin Sari. Sisi kiri ku adalah ruko. Dan aku kembali bertanya-tanya, di manakah PM 2, GuestHouse Crazy Backpacker? Jawaban mereka membuatku seperti melakukan tawaf. Putar-putar dan kembali ke titik awal. Tersesat di lokasi ruko. Oke!!! Sampai aku kemudian marah pada diri sendiri, ngapain sih gw lakuin ini semua????
Cukup lama aku terduduk diam, tepat di anak tangga, sebelum akhirnya, seseorang memberi tahu lokasi guesthouse ku.
Guesthouse itu memang berada tepat di depan Taming Sari, menghadap bahkan. Dan Guesthouse itu di luar bayanganku. Ruko yang dimodifikasi menjadi tempat penginapan. Stres!!! Dan untuk ke dalamnya, harus menekan bel, karena pintu pagar itu selalu dalam kondisi terkunci.

Di Kota Bata Merah, Melaka

Jam 13 aku tiba di Melaka setelah menempuh perjalanan kurang lebih 2 jam setengah. Dari Larkin ke Melaka langsung bablas tol, keluar tol kemudian 30 menit menuju terminal sentral, dan 30 menit ekstra mencapai pusat kota Melaka.

Christ Church, bangunan yang dulu hanya bisa aku lihat dari tayangan tivi, namun sekarang bangunan berwarna merah itu, tepat berada di depanku. Akhirnya. Alhamdulillah.
Pekerjaan selanjutnya adalah mencari alamat guesthouse Crazy Backpacker di jalan PM 2. Bingung. Meski aku sudah tanya belasan kali ke supir untuk minta diturunkan di lokasi terdekat, tetap saja...lost!

Thursday, April 28, 2011

Bye, Mate :)

05:30 ku bangun lebih awal. Sholat Subuh, kemudian persiapan terakhir untuk menempuh perjalanan ke kota berikutnya, Melaka. Saat matahari sudah menampakkan wujud dan hawa panasnya, aku turun dari lantai 4, menuju lobi, untuk kemudian keliling sekitar hotel.
Tapi, tujuan utamaku adalah mencari sarapan.
Well, ga ada yang banyak bisa dicari di sekililing hotel ini. Tidak bisa direkomendasikan, hanya ingin segera pergi. Meski kemudian aku tertahan di depan Seven Eleven, sekedar basa basi beli juz yang sebenarnya aku tidak perlu banget.
Menghangatkan badan? Nop, sungguh gila. Danga Bay, cukup untuk wisata malam berjalan kaki bersama Asril, dan itu tidak akan aku lakukan untuk hari berikutnya. Eksplor kota ini lain waktu, dan itu pasti. Tapi, kini, semua di sekelilingku, hanya pekerjaan proyek yang digarap pemerintah lokal. Sepi, teramat sepi. Aku hanya berani berjalan di dalam area tembok.  Bergeser sedikit. No way. Mungkin perlu waktu lebih lama untuk membiasakan diri dengan kota ini.
Dan, jam 8 Asril pun muncul. Oke, this is it. Time to say goodbye to him.

Keluarga Baru di Johor Bahru

Jam 7 malam, aku turun dari kamar menuju lobi. Tak lama berdiri, sebuah sedan berhenti di depan hotel. Aku mencoba mengenali sedan itu sambil mendekat. Tidak berapa lama, jendela diturunkan. Si pemilik mobil senyum, kemudian menyapa. Tepat waktu bener, ucapku dalam hati. Aku pun beringsut masuk ke dalam mobil. Malam itu sesuai janji, Asril mengajakku makan malam bersama keluarganya.
Danga Bay tampak sepi malam itu. Lengang. Tak banyak kendaraan yang lalu lalang. Mobil-mobil warga pun jarang terlihat. Dan jalan besar nan lebar ini rasanya lebih pas dijadikan arena rally, karena mobil pun bisa melaju dengan kencang. Nggak sabar rasanya ingin segera eksplor Danga Bay di malam hari. Untuk cari tahu kehidupan malam kota ini.
Danga Bay itu jadi, distrik, atau lebih tepatnya, dengan menggunakan istilah di Jakarta adalah kotamadya dari Johor Bahru (JB). Letaknya di tepian laut. Makanya disebut Danga Bay. Ehehehe
"Saya tak bisa ke Melaka esok hari karena temani anak tanding futsal", ucap Asril tiba-tiba.
Drop.
Tarik nafas dalam.

Wednesday, April 27, 2011

Crossing Abroad Singapore - Malaysia

Sisa waktuku di Singapura, kini ditemani Asril, seorang graphic designer dan juga photographer profesional. Dan aku yang biasanya menyembunyikan kehidupan profesionalku saat ditanya orang asing, justru saat itu aku begitu terbuka kepada Asril, kalau aku seorang TV journalist. Padahal, biasanya aku selalu menjawab bekerja di perusahaan asuransi. Upz
Sesuai kesepakatan bersama, aku pun mengiyakan ajakan Asril ke Changi untuk mengambil mobilnya dan bersama kemudian menyebrangi perbatasan.
Alhamdulillah, itu yang aku ucap dalam hati saat bertemu dan berkenalan dengannya. Tanpa keraguan sedikitpun aku menerima kebaikannya. Aku pun yang sejak beberapa jam tiba, selalu memasang muka kecut dan senyum seadanya, kini ada ketenangan. Yup, aku ada teman bicara, setidaknya untuk beberapa jam ke depan.
Tapi, kesenangan itu tidak berlangsung lama. Aku dihentikan oleh petugas jaga yang memintaku untuk membongkar isi tas ku. Aku yang awalnya merasa keberatan, terpaksa membuka tas ransel. Padahal semua itu sudah tersusun rapih, dan aku malas untuk merapihkannya. Dan permintaan petugas jaga itu sungguh berlebihan, bagian dalam tas ku juga dimintanya untuk dibuka. Aku pasang muka kesal. Namun, saat itu Asril menenangkan ku. Ia sendiri, bertanya, kenapa tas miliknya tidak dibuka. Petugas jaga itu bilang, cukup aku saja. Kupret!
Aku yang kemudian merasa seperti penjahat. Merasa dianggap bersalah. Perlakuan ini sungguh diskriminatif. Ini beneran nggak bikin aku nyaman seketika. Bagaimana jika kemudian dia iseng meletakkan sesuatu di tasku, dan menganggap ini adalah kasus? Dan bagaimana jika kemudian aku digiring ke kantor polisi atas tuduhan rekayasa? Oke, semua itu terlintas di benakku. Teroris? WTF!!!
Jika saat itu aku sendiri, mungkin aku sudah keluar keringat dingin. Iya, aku tahu, aku tidak perlu khawatir jika tidak melakukan kesalahan apa-apa. Tapi, yah, tetap saja. Belakangan aku menyadari dan teringat, sepanjang perjalanan ku dengan MRT, selalu ada peringatan dari pengeras suara yang mengatakan, 'jika menemukan benda mencurigakan, segera lah melapor'. So aku dan tasku adalah benda mencurigakan? Kupret!!!
"Semua sudah selesai, Anda bisa bisa menutup tas Anda," ucapnya datar
"Oke, terima kasih, telah merepotkan saya, karena harus merapihkan tas kembali", jawab ku ketus.
Asril di samping ku, menepuk bahuku, isyarat agar tidak emosional.
Usai insiden itu, kami lanjutkan perjalanan kami.
Menuju Changi, kami, layaknya teman lama, perbincangan begitu cair. Ngobrolin hobi, pekerjaan, dan cerita perjalanan. Ini sungguh menyenangkan. Tidak henti-hentinya kami ngobrol sepanjang perjalanan.
"Usia saya 35 tahun, telah menikah dan punya 2 orang anak", ucapnya saat kami berada di stasiun tanah merah, karena harus ganti kereta ke Changi. "What? Kamu nggak bohong, kan? Kamu tampak lebih muda dari usia mu."
"Yes, I'm 35 years old, Adhie", ucapnya meyakinkanku.
Aku coba memandanginya lekat, dari ujung rambut sampai kaki.
Aku tak bisa konfirmasi apa lagi. Ngga sopan pula jika kemudian aku tanya ini itu.
"Kenapa? Masih kaget?", tanya Asril lagi, ketika suasana menjadi senyap.
"Nop", jawabku tanpa berpikir panjang.
Kereta kemudian tiba, perjalanan pun kami lanjutkan. 10 menit kemudian kami tiba di Changi. Setelah itu menuju parkiran. Di parkiran, kami membakar kalori selama 30 menit, karena ia lupa meletakan mobilnya. Pun, setelah mobilnya ditemukan, ia harus parkir mobil lagi, karena card parkingnya tak cukup. Ia harus top up, atau dikenal dengan isi ulang.
Dan kemudian, perjalanan kami lanjutkan kembali.
Kami banyak bicara tentang keluarga, musik di Malaysia, dan juga cerita-cerita lainnya. Termasuk rencana perjalanan esok hari ke Melaka.
"Kenapa kamu tidak ikut saya saja ke Melaka?" Tanyaku spontan.
"Mmmm...kenapa tidak, besok saya tidak punya rencana apa pun",
"Bagus, jadi ada orang yang akan foto saya". Kami pun tertawa bersama.
"Saya hantar kamu ke hotel. Kamu bersih-bersih. Nanti jam 7 malam, saya jemput kamu. Saya ajak kamu makan malam bersama keluarga saya", ucapnya.
Aku yang sedari tadi menikmati lengangnya lalu lintas Singapura, kaget dengan tawarannya itu.
"What? Kamu yakin ajak saya makan malam? Are you seriuse?", tanyaku memastikan.
"Ya, pastilah yakin. Ini saya coba sms keluarga saya, agar disiapkan makan malam. Kami biasa makan malam jam 8".
Aku masih belum percaya dengan apa yang aku dengar. "Oke, jawab sejujurnya pertanyaan saya. Kenapa kamu ajak saya ikut mobil kamu?", tanyaku sambil menggeser posisi dudukku menghadapnya.
"Kenapa nggak. Bukan karena saya searah pulang, dan bukan karena hotel tempat kamu menginap dekat dengan rumah saya. Tapi, karena saya ingin saja".
Aku diam. "Sepi, boleh dengar radio?", tanya ku memecah kesunyian. Asril kemudian menyalakan radio. Sementara perlahan hujan mulai turun. Sempurna. Hujan. "Motor-motor itu adalah milik warga Malaysia. Mereka pulang pergi bekerja di Singapura. Kamu bisa lihat platnya. Kebanyakan dari mereka bekerja sebagai buruh di pabrik."
"Dan mereka harus tiap hari lewati perbatasan?"
"Yes,"
"Berapa lama lagi kita tiba di perbatasan?" Tanyaku kemudian.
"Beberapa menit lagi," jawabnya
Hujan kian deras di luar. Pengendara motor banyak yang menepi untuk memakai jas hujan. Sementara langit beranjak gelap.
18:15 kami tiba di perbatasan. Tampak antrian motor mengular di tengah lebatnya hujan. Sementara antrian mobil tampak sepi. "Kalau akhir pekan, bisa 1 jam mengurus imigrasi. Dan kalau kamu naik bus, coba lihat di sisi kanan kamu. Mereka yang naik bus, harus turun dengan membawa tas mereka. Bus akan menunggu di luar perbatasan. Jika mereka lama proses imigrasinya, maka bus akan meninggalkan mereka. Dan mereka akan melanjutkan perjalanan dengan bus selanjutnya." Jelasnya. "Tapi, saya justru ingin lakukan itu. Itu pengalaman untuk saya,"
"Baiklah, jika kamu ke Singapura suatu hari nanti, kamu telpon saya. Saya akan jemput kamu. Tapi, saya tidak akan bawa mobil. Saya naik bus. Dan kita bersama-sama lakukan seperti yang mereka lakukan saat ini", ucapnya.
"Setuju!"
Yah, terus terang, bertemu dengan Asril, semuanya jadi mudah untukku. Terutama saat proses imigrasi.
Perjalanan di hari pertama ini punya cerita tersendiri. Bertemu orang asing yang menawarkan begitu banyak kebaikan untuk aku yang baru dikenalnya. Dia keajaiban dalam perjalanan ini.

Met A Guardian Angel

Kurang lebih sepuluh menit, kasak kusuk mencari jalan keluar, akhirnya ku temukan, tangga ke atas yang benar-benar jelas mengantarku menghirup udara bebas. Lebay? Terserah lah, menganggapnya seperti apa, yang jelas, amat sangat tidak nyaman, berada di ruangan yang baru kita tahu, dan kemudian sukses tersesat.
Turun di Stasiun MRT Bugis, berarti berada di Bugis Junction dan terdapat jalur langsung ke pusat belanja. Yup yup yup, aku telah menyadarinya. Peta memang memberikan penjelasan yang sungguh teramat jelas. Namun tetap saja saat berada di medan sesungguhnya, gagap. Telat berpikir untuk membekali diri dengan kompas. Yes, kompas. Next trip, kompas adalah hal yang paling penting, dibandingkan ganti celana dalam tiap hari.
Sudahlah, tujuan ku selanjutnya adalah Merlion. Jangan tanya lokasi dan bagaimana aku mencapai lokasi favorit para turis ini. Pelayan restoran mengatakan, "tiga kali perempatan arah selatan. Kemudian, ada gedung besar belok kiri, telusuri jalan itu". Baik sekali pelayan itu mengarahkanku, sampai harus keluar restoran. Tangannya pun merasa perlu memberi aba-aba dan pengarahan. Berkali-kali pula meyakinkanku, apakah aku paham dengan penjelesannya.

Lost In Singapore

Dan pukul 13:40 Tiger Airways yang aku tumpangi mendarat di bajet terminal Changi Airport. Saat itu pula, aku mulai peranku sebagai #solotraveller untuk pertama kalinya ke luar negeri.
Dua bulan waktu yang aku perlukan untuk persiapan perjalanan ini. Mulai dari pembelian tiket pesawat, rute perjalanan, pesan kamar, hingga membaca sejumlah catatan perjalanan teman-teman yang pernah melintas di sepanjang rute yang aku buat, yaitu Singapura - Johor Bahru - Melaka - Kuala Lumpur - Penang - Jakarta.
Dengan rute pesisir selat Melaka itu, rasanya tidak maksimal jika hanya ditempuh dalam 4 hari saja. Dengan alasan itu, plus tantangan dari teman, aku pun memutuskan untuk lanjut ke Penang (Melaka tujuan akhir semula). Total 6 hari.