Thursday, April 28, 2011

Keluarga Baru di Johor Bahru

Jam 7 malam, aku turun dari kamar menuju lobi. Tak lama berdiri, sebuah sedan berhenti di depan hotel. Aku mencoba mengenali sedan itu sambil mendekat. Tidak berapa lama, jendela diturunkan. Si pemilik mobil senyum, kemudian menyapa. Tepat waktu bener, ucapku dalam hati. Aku pun beringsut masuk ke dalam mobil. Malam itu sesuai janji, Asril mengajakku makan malam bersama keluarganya.
Danga Bay tampak sepi malam itu. Lengang. Tak banyak kendaraan yang lalu lalang. Mobil-mobil warga pun jarang terlihat. Dan jalan besar nan lebar ini rasanya lebih pas dijadikan arena rally, karena mobil pun bisa melaju dengan kencang. Nggak sabar rasanya ingin segera eksplor Danga Bay di malam hari. Untuk cari tahu kehidupan malam kota ini.
Danga Bay itu jadi, distrik, atau lebih tepatnya, dengan menggunakan istilah di Jakarta adalah kotamadya dari Johor Bahru (JB). Letaknya di tepian laut. Makanya disebut Danga Bay. Ehehehe
"Saya tak bisa ke Melaka esok hari karena temani anak tanding futsal", ucap Asril tiba-tiba.
Drop.
Tarik nafas dalam.
"So key, saya tetap dengan rencana saya untuk ke Melaka. Karena sudah booking penginapan. Dan berada di sana untuk 3 hari, 2 malam. Tapi, nggak ada kamu, berarti nggak ada yang fotoin saya",
Kami pun tertawa seketika.
Aku kemudian mencoba menghibur diri setelah tahu kabar ini.
Aku tahu cepat atau lambat, aku dan Asril akan berpisah.
Walau bagaimana pun, Tuhan telah kasih pertemuan ini lebih panjang dari yang kukira.
Awalnya, paling tidak, pertemuan ini tersudahi saat Asril menghantarkanku hingga ke hotel. Namun, Tuhan memberikan lebih waktu untuk kami bersama, saat Asril undang aku makan malam. Dan kupikir, waktu kami akan jauh lebih panjang, saat Asril mengiyakan ajakanku ke Melaka. Tapi, rencana berkehendak lain.
Maka yang ada dalam pikiranku adalah mensyukuri takdir Tuhan yang telah mempertemukan aku dengannya. Dan, memanfaatkan waktu sebaik mungkin untuk persahabatan dan persaudaraan ini.
Tuhan telah kasih aku kebaikan melalui tangan-tangannya, dan aku merasa terberkati karena ini. Di saat aku hilang arah, Dia kasih aku tangan dan menuntunku untuk bangkit. Yap, #solotraveller, harus berjalan sendiri. Jika pun bertemu dan kemudian berpisah, maka ada pelajaran yang bisa dipelajari, dan diceritakan.
Asril terus menelusuri jalan. Dia katakan, rumahnya tidak jauh dari Tune Hotels.
Sejurus kemudian, mobil ia belokkan, masuk ke sebuah perumahan. Penjaga keamanan mengangkat portal. Asril menyapanya.
Setelah 3 kali belokan dengan jalan menanjak, kami pun tiba.
Apa yang ku lihat saat itu di depan mata, membuatku menarik nafas teramat dalam. Apa yang aku liat, biar ku tutup rapat. Cukup aku bilang, pria ini begitu bersahaja.
Hanya ada aku, Asril, dan dua anaknya, serta kucing ras peliharaan si bungsu.
Jelang jam 8, ibu dan istri Asril turun dari lantai 2. Kemudian disusul ayahnya.
Kami pun duduk melingkar di meja makan.
Tersedia banyak lauk di atas meja. Banyak yang menarik minat untuk disantap. Tapi, kenikmatanku yang luar biasa malam ini adalah acara makan malam itu sendiri. Aku nggak pernah bermimpi dapat kesempatan mengenal keluarga asli Malaysia dengan cara yang sederhana ini. Seperti mengamati kebiasaan makan malam mereka. Dan makan malam jam 8 ini adalah bagian dari rutinitas. Keluarga yang harmonis. Like it much!!!
Tapi, kesalahanku adalah, tidak mengikuti cara makan mereka dengan tangan. Entah, kenapa aku nya yang merasa perlu, membutuhkan sendok untuk makan. Janji, aku akan makan tanpa menggunakan sendok, jika diundang makan malam lagi.
Perbincangan di tengah berlangsungnya makan malam ini, lebih banyak mengupas siapa aku, dan tujuan keberadaanku di Malaysia. Namun, selain itu, juga terungkap silsilah keluarga Asril. Ini yang mengejutkan. Ternyata Ayahnya Asril punya darah Padang, dan meski tidak bisa dibilang sering, mereka juga pernah ke Jakarta. Dan mereka punya saudara yang tinggal di Pondok Indah. Bahkan, perbincangan seru terjadi saat muncul kata Cipulir dan Cendol. LoL.
Waduh. Tuhan, ini benar-benar suatu kebetulan yang luar biasa. Wow. Sayang saja aku tidak tunjukan ekspresi keterkejutan yang menyenangkan ini di depan mereka. Kalau tidak, waduh. Aku yang biasanya ekspresif, kali ini lebih kalem. Aku melihat keterbukaan mereka ke aku, yang membuat perbincangan kian cair. Bahkan aku pun kemudian tertawa lepas tanpa sungkan.
Mereka bertanya banyak tentang Jakarta. Isu-isu lokal yang terjadi, pekerjaan yang menjanjikan. Sampai tempat makan paling enak di Jakarta. Yeaaaah rite, gado-gado Bonbin masuk dalam daftar wisata kuliner saat berkunjung ke Jakarta kelak.
Tuhan, ini malam yang sangat menyenangkan.
"Jadi, Adhie setelah ini mau kemana? Ajak sana jalan - jalan!" tanya ayahnya Asril ke aku.
"Saya hanya ingin lihat Danga Bay di Malam hari, dan coba teh tarik di negara asalnya", jawabku.
"Coba ajak Adhie sana ke pasar malam", saran ibunya. "Di sini pasar malam hampir tiap hari. Banyak yang bisa dibeli. Makanan juga ada", lanjutnya.
Secarik kartu nama aku berikan sebelum pamitan. Berharap aku dapat menjamu mereka saat datang ke Jakarta.
Aku nggak tahu, kemana Asril membawaku. Sudah jam setengah sepuluh malam. Mobil melaju ke arah berlawanan dan menjauh dari tempatku menginap.
15 menit kemudian, kami tiba di sisi lain Danga Bay.
"Ini bagian kota tua JB", jelas Asril sambil melihat-lihat jika ada parkir kosong.
Aku yang baru singgah, celingak celinguk. Bergumam sendiri. "Kalau mau sedikit ramai, agak jauh dari sini. Saya ajak kamu ke sana", lanjutnya.
Aku tak sempat mengakrabi jalan ini, karena mobil terus, meski melaju pelan, hingga akhirnya menepi, tak jauh dari KFC.
Dari tempat kami berdiri di parkiran, aroma dupa sudah menusuk hidung, dan dari kejauhan pun, lagu India sudah terdengar.
"Kita sekarang ada di komunitas India. Di JB, ada juga komunitas China. Menetap secara berkelompok. Dan itu terjadi sejak lama", jelas Asril.
Berdua kami kemudian menelusuri selasar toko-toko yang dipenuhi dengan ragam pernak-pernik khas India. Bonus aroma dupa. Berbelok ke kanan, alunan musik berubah. Wali, Kawin. *tepok jidat sendiri.
"Ini namanya pasar karat. Tiap malam selalu ada pasar kaget seperti ini. Di Jakarta ada?", tanyanya.
"Ada juga pasar kaget seperti ini. Bedanya, di kami, barang yang dijual hampir seragam. Beda di sini, banyak variasinya. Makanan juga di jual", jawabku.
Deretan tenda-tenda di pasar karat ini dengan tawaran barang yang super murah, tak cukup menarik kami untuk membeli, bahkan untuk singgah sekalipun. Tidak selera. Lagipula aku ingin jajan teh tarik.
Kalo di Jakarta, mungkin deretan penjaja makanan di Pasar Karat ini bisa disebut dengan pujasera. Beberapa makanan yang ku tahu khas Malaysia ku lihat, meski beberapa di antaranya aku juga melihat, pecel lele dan ayam. Gubrak.
Kami kemudian pesan teh tarik dan otak-otak.
Selesai makan, kami melanjutkan berjalan kaki menyusuri jalan.
Asril yang malam itu membawa kamera, sekaligus mengabadikan keberadaan aku di JB. Tiap sudut jalan, entah di perempatan, atau di halte bus, semua dijadikan latar belakang foto. Thnx to timer, kami pun juga mengabadikan persahabatan kami. Aku pun sempat mengusilinya, hahahaha, aku katakan akan memotonya. Tapi, tanpa sepengetahuan Asril, aku switch ke video. Tahu sendiri dong, ragam ekspresi lepas terjadi. lol.
"Kamu sudah terlihat capek", ucapku.
Aku tahu Asril berat mengatakan kalau iya capek. Tapi, dari matanya, sudah terlihat jelas.
"Sudah, mari kita pulang!", seru ku sambil menepuk bahunya.
"Jam berapa kamu berangkat ke Melaka?"
"Jam sembilan", jawabku singkat.
"Saya antar anak ke sekolah dulu, lalu jemput kamu di hotel. Kemudian antar kamu ke terminal yah".
Tuhan, ini malam yang sangat menyenangkan. I was so horeeeeeey