Friday, April 29, 2011

Jejak Kaki Kota Tua Melaka

Aiiiiiiiiiih masih gelap bener. Waktunya salah nih. Celingak celinguk, sepi. Bengong di depan pintu. Beneran masih sepi. Swear, aku nggak bohong. Dingin? Nggak sih, tapi laparnya pasti.
Widiiiiih McD 24 jam itu membuat pandangan nggak kemana-mana. Sumpah, aku suka banget dengan posisi hostel ini, strategis bener. Hidup seolah berada di tengah-tengah peradaban, yaitu peradaban kuno dan modern. Tapi, kaki lebih memilih melangkah ke Seven Eleven, 5 meter dari hostel. Roti dan air kemasan ukuran 1,5 liter. Hey, aku sudah mandi shubuh tadi.
Aku pun balik ke kamar, dan menyendiri. Menyusun rencana perjalanan berikutnya di kota ini.
Kalau kemarin, sisi kanan sungai Melaka, maka hari ini adalah sisi kirinya. Dimana banyak bangunan tua Islam. Yup, berdasar pengamatanku sih seperti itu. Dan sisi kiri sungai juga banyak tinggal penduduk lokal. Dan aku tahu, perjalanan hari ini beneran yang super lama, seharian penuh. Jonker Walk salah satu tujuan.
Kelar sarapan nasi goreng putih teri medan, plus ceplok telor, aku melengkapi sudut kota sisi kanan Melaka yg kemarin belum rampung. Berbekal peta dan info warga lokal, aku susuri tiap jalan, dan gedung tua. Pagi itu, depan Christ Church sudah banyak turis asing. Dan yang menjadi favorit mereka, tentu saja naik becak khas Melaka, dengan iringan lagu Wali. *kalem
Kalau sejak awal perjalanan aku berusaha untuk berbaur di tengah keterasingan, maka yang ku lakukan selanjutnya adalah membantu, turis remaja dari filipina yang kesulitan mengabadikan kebersamaan mereka di reruntuhan gereja di St. Paul Hill. Aku sebenarnya yang menawarkan bantuan. Hey, aku ngerti betapa berharganya moment itu, dan rasanya kalau satu orang bertugas mengabadikan itu, berarti orang itu mengorbankan diri untuk temannya. #hug
Oh yah, di salah satu bagian dalam gereja itu, entah kapan mulainya ada lubang, sepertinya sih sumur. Nah, orang-orang suka buang uang ke dalamnya. Beberapa langsung masuk ke dalam sumur, beberapa di antaranya tertahan di jeruji penghalang. Tebak, aku berada di bagian yang mana? Aku sendiri nggak tahu apa akibat dari tradisi itu. Ngga ada yang bisa ditanyain sih. Aku kemudian menyebrang ke sisi lain sungai, menelusuri dan mencari masjid-masjid tua. Memasuki kampung pecinan, melihat aktivitas warga lainnya. Dan ini yang unik, simple memang, bagaimanakah warga lokal memenuhi kebutuhan hidupnya, memasak misalnya. Dan, aku menemukan sebuah rumah yang menjual sayur mayur. Cool, hein. Aku sempat mengabadikannya, tentunya seijin pemilik warung.
Aku juga sempat tanyakan ke pemilik warung nasi Bukittinggi, darimana mereka mendapat sayur mayur untuk keperluan berdagang. Jawabnya, ke supermarket. Mmmmm.
Nah, karena kawasan ini, banyak terdapat persimpangan jalan, maka aku pun sukses tersesat. Maksud ingin mempersingkat jalan, nyatanya justru aku semakin menjauh. Capek. Ya sudahlah, sekalian aja, acara kesasar ini, menjadi bonus di luar rute yang seharusnya.
Asyiknya adalah, aku pun menelusuri sungai Melaka. Widiiiiih, aku harus nyobain naik perahu ini di malam hari. Banyak referensi dari traveller lainnya, kalau harus masukin acara malam dengan perahu di daftar tujuan. Tapi, harus malam.
Sementara nunggu malam, dan harus sholat jum'at, aku kembali ke hostel untuk mandi. Kemudian bergegas ke warung bukittinggi. Bukan untuk makan, tapi minta informasi lokasi masjid terdekat.
Dan tanpa aku duga, pemilik warung itu, justru mengajakku untuk bersama dengannya pergi ke masjid terapung. Aku yang memang ingin jalan-jalan agak jauh dari pusat kota, akhirnya kesampaian juga. Gilaaaaaaa, aku suka.
Teramat sukanya, aku sampai hampir netesin air mata. Hampir yah. Haru bisa sholat Jum'at di negara orang.
Selain memang lokasinya di tepi pantai dan dikondisikan seperti masjid terapung. ada yang unik yang bisa aku bawa ke Jakarta. mereka memperhatikan jamaah yang tuli. Yup, pada saat khotib khutbah, ada proyektor yang dipantulkan ke dinding, sehingga, meski jamaah yang tuli tidak mendengar, mereka masih bisa memahami dan tahu isi khotbah si khotib. Sejauh ini, aku tidak melihat layanan yang diberikan masjid di Indonesia. Mohon koreksi, kalau nyatanya ada.
Dan berdasarkan ide gila, dan secara semua titik turistik kota tua di Melaka sudah disinggahi, kini waktunya untukku, memanjakan diri dengan cara lainnya, yaitu, nonton di bioskop. Yihaaaaaa
Thorn I’m coming.
Jauh-jauh ke Melaka Cuma untuk nonton ke bioskop? Well hello,
Aku ke Melaka Parade. Dan nonton di sini ternyata aku juga menemukan ilmu baru terkait dengan pajak perfilman. Nah, kan.
Jadi, kalau di Indonesia, besaran harga tiket masuk yang dibayar oleh penonton adalah hanya jumlah totalnya saja. Nah, kalau di Melaka, entah itu berlaku di Malaysia atau tidak, mereka, merinci bayaran yang harus dibayar oleh penonton. Komponen itu terdiri dari Harga awal, surcharge, tax. Nggak tahu deh kenapa di Indonesia tidak bisa diterapkan hal seperti ini.Ada ilmu dan ada yang bisa dipelajari ternyata saat travelling ini, dan tidak hanya melulu tentang wisata budaya, tapi juga buaaaaanyak. Like it.
Sebenarnya ada satu momen yang kemudian membuat aku drop usai nonton film Thorn. Bukan karena filmnya, tapi #nomention lah. Hiks.
Arrrrrrrrgh
Aku nggak mau sedih, kalau sedih maka rugilah aku pergi jauh-jauh cuma untuk nangis. Pokoknya aku harus senang-senang. Bagaimanapun caranya, yang penting halal. Mmmmm ada satu kalimat sih yang kerap menjadi mantra penyembuh mood kalah drop, "Kalau sedih di luar kota, berjalanlah, karena yakinlah, kota itu punya cara sendiri untuk menghiburmu".
Dan cara ku selanjutnya untuk menghibur diri adalah duduk di tepian sungai Melaka, dan menunggu malam, untuk selanjutnya menyusuri sungai dengan Melaka River Cruise.
Huh, ini akan menjadi pelengkap aktivitas berlibur ku seharian di Melaka. Tidak mengapa seorang diri sekalipun. So far, cukup, bahkan, teramat menyenangkan. Waktu tempuh 45 menit pulang pergi dengan waktu tempuh 9 kilometer, cukup membunuh waktu, hingga aku beneran lelah.
Tapi, mana bisa segera tiduuuuuur? di depan hostel ada bazar. Masih ada sejumlah ringgit sih, tapi yah, masa harus belanja ini itu. Oleh-oleh? Mmmm aku cukup beli baju untuk nyokap saja dengan pilihan motif yang membuat aku mati gaya. Gak jauh beda dengan di Indonesia. Aku beli baju pun tidak dengan oleh-oleh lainnya. Mengingat, perjalananku masih 3 hari lagi. Jujur, akan terbebani dengan membawa oleh-oleh berukuran besar, sementara tas ku saja sudah sesak.
Jadinya, aku cuma beli air minum kemasan, dan sedikit makanan. Aku ngantuk, dan harus segera tidur, karena besok pagi-pagi sekali bus menuju Kualalumpur akan berangkat jam 7 pagi.

No comments:

Post a Comment