Sunday, July 28, 2013

Bunuh Diri Digital

Baru menyadari kalau memiliki #FakeName itu cukup menguntungkan. Kenapa? Temukan saja jawaban di akhir artikel ini, berikut pesan moralnya apa.
Nama yang aku gunakan sekarang #AdhiePamungkas, sesungguhnya bukanlah nama asli. Jauh bahkan, antara nama pemberian orang tua dengan yang aku gunakan sekarang. Tidak ada kaitannya, meski maksud tersirat ada, antara Adhie sebagai nama panggilan yang populer aku gunakan sejak satu SMP, dan Pamungkas yang populer aku gunakan semenjak masuk dunia kerja. 2010, yup sejak saat itulah aku lebih dikenal dengan nama panggilan Adhie Pamungkas. Di saat menulis artikel untuk majalan dwi mingguan aku menggunakan inisial AD, bukan AP- semestinya.
Nama itu pula yang aku gunakan sebagai nama pergaulan. Mengenalkan diri sebagai Adhie Pamungkas, bukan nama sesungguhnya. Nama asliku, tenggelam bersamaan dengan sering digunakannya #FakeName.
Tidak hanya pada lingkungan pergaulan, #FakeName aku gunakan juga untuk mendaftar jejaring sosial. Mulai dari Friendster, Hi5, Facebook, Blogger, Twitter, Couchsurfing, LinkedIn.  Semua data dan perjalanan hidup aku selama mengenal dunia maya, ada disitu, dengan menggunakan #FakeName.
Dan kemudian, ketika aku memutuskan untuk kembali menggunakan nama asliku, rasanya rekam jejak digital ku, sulit terlacak. Tak ada data di dunia maya yang menggunakan nama pemberian, dan yang kurasa adalah nama pemberian ini menguntungkan, ketika ada saat dimana, ingin menggunakan kembali nama pemberian.
Lalu bagaimana dengan rekam jejak digital aku selama hampir belasan tahun ini?
Well, Aku bisa saja dengan mudah melakukan #BunuhDiri digital. Pernah dengar, sih,  tanpa website pada hari ini dan usia adalah bunuh diri digital. Tapi, ketika kita ingin remove data dari pergaulan sosial dunia maya, maka istilah Bunuh Diri Digital adalah perlu.
Intinya, dalam hidup, kehidupan sosial itu lebih tercerna ketika ada hubungan yang jelas, dengan tatap muka - ini kalau menganut kehidupan sosial konvensional. Kemudian bergerak kepada kehidupan sosial yang tidak perlu tatap muka, tapi cukup dengan suara. Belakangan ketika internet menyambangi kehidupan, maka, lambat laun, kita pun mengenal dengan kehidupan sosial dunia maya.
Prinsipnya, keduanya bisa menyatu, jika saat dunia maya tidak lagi terpuaskan, maka bisa melakukan kopi darat. Pun, sebaliknya. Pilih mana disuka. Ini kemudian menjadi pilihan.
Tapi, ketika kemudian, dirasa cukup, memutus hubungan dengan dunia maya, bunuh dirilah. Meski meninggalkan konsekuensi logis, hilang 'pertemanan' dan pertemanan di dunia maya.
Apapun alasan orang melakukan #BunuhDiriDigital, inti utamanya adalah tidak ingin semudah itu, orang lain melacak keberadaan kita. Rekam pekerjaan, rekam teman, rekam hobi, bahkan rekam foto. Coba, deh, cek nama anda di situs pencarian, kemudian klik foto. Betapa mudahnya orang mengopi dan kemudian menggunakan data kita, penggandaan data.
Ingat, saat kita klik perjanjian untuk bergabung dengan situs jejaring sosial, maka konsekuensinya adalah dengan mudahnya data terlacak.
Pertanyaannya, sanggup melakukan #BunuhDiriDigital? Aku sudah, pada situs jejaring #friendster, beberapa tahun lalu. Tapi, belum sanggup melakukan #BunuhDiriDigital untuk lainnya. Usaha pertama yang aku lakukan adalah membenamkan nama populer yang sekarang, dengan nama pemberian. Dengan demikian, #BunuhDiriDigital yang aku gunakan tidak serta merta menghapus rekam dan jejak digital aku di dunia maya, tapi menyulitkan orang lain, melacak keberadaan jejak dan rekam digitalku. Bersembunyi. Untung rugi dan konsekuensinya sudah aku perhitungkan. 
Jadi, #BunuhDiriDigital tidak cukup dengan alasan menutup rasa malu dengan sesegera mungkin. Apalagi jika tidak mampu meretas perdebatan di dunia maya.

No comments:

Post a Comment