Sunday, September 8, 2013

Sensasi Jarum untuk Apheresis

Hal yang terakhir aku lakukan setelah semua ku lesakkan di dalam loker adalah ngecek pesan di blackberry untuk terakhir kalinya.
“Ping”
“Oke, dari Maya”, bisikku pelan.
“Lo stand by ya, Di. Segera ke Kramat. Ada yang butuh Aphe”.

“Jam berapa? Di screening dulu, kan? Screening gw dah ga valid, itu setahun lalu.”
“Jam 7 malam. Gue kasih nomer telpon lo ke keluarga pasien. Dan ini nomer keluarga pasiennya juga. Dan, yah, lo akan discreening dulu”.
Aku tahu ini sejenis komunikasi seperti apa. Call alert untuk aku, dengan sandi “Stand By”.
Ku hela nafas dalam, sambil pikiran menjelajah ingatan tujuh hari ke belakang. Aku tidak mengonsumsi obat-obatan, tidak minum antibiotik, dll. Aman.
Tapi, aku pastikan aku kurang tidur, dan beberapa hari ini aku kurang asupan minum. Aku nggak mau nantinya justru gagal dan tidak lolos screening, karena hemoglobinku kekentalan.
Ah, sudahlah, pasrah. Kalau memang rejeki, pasti keluarga pasien itu mendapatkan apa yang mereka inginkan.
Tidak berapa lama....
“Malam, mas Adhie”
“Iya, Pak”.

“Saya Rasyid, saya dapat nomer telpon Mas Adhie dari Mbak Maya”.
“Iya, Pak. Ada yang bisa saya bantu”.
“Mas Adhie bisa ke Kramat, kan?”

“Bisa, Pak. Nggak ada masalah, tapi paling tidak saya tiba di sana jam 7 seperempat”.
Aku menjawab keinginannya tanpa menjelaskan alasanku terlambat dari waktu yang diinginkannya. Well, ini dadakan. Untungnya aku masih bisa nyaman dengan perubahan mendadak, karena aku masih santai, dan berada di Jakarta. Meski konsekuensinya, aku gagal olahraga.
18:25. Tersisa 35 menit sesuai waktu yang ditentukan, dengan toleransi 15 menit, berarti aku masih punya waktu hampir satu jam perjalanan Pejaten ke Kramat.
Ku lirik bensin tersisa. Ku hela nafas, tiris.
Sudahlah, aku tak mau beringsut dalam pemikiran dalam, dan terus berhitung waktu. Syukur kalau bensin tersisah di tangki masih cukup untuk perjalanan jauh. Dan gerimis juga. Wassalam
Sejurus kemudian, aku tiba. Hebatnya aku, di luar kebiasaanku membawa motor dalam kondisi kalem, kemarin itu, weeeew. Makanya aku juga berdecak kagum dengan keberanianku membawa motor sebegitu cepatnya.
Wew, lapar. Makan terakhirku jam 12, itu pun porsi kecil.
Wew lagi, asupan minumku sedikit. Mmmmm masalah, nih.
Aku bertemu dengan keluarga pasien yang notabenenya adalah ayah si bayi yang terakhir aku tahu berusia satu bulan dan lahir prematur.
Setelah proses registrasi selesai, aku menjalani screening.
Mmmmm dipikirnya aku “anak baru” si petugas masih pula ngecek besaran vena antara tangan kanan dan tangan kiri. Padahal aku dengan sukarela dan teramat senang hati, merekomendasikan vena tangan kiriku untuk diambil darah screening. Sementara, vena tangan kananku untuk proses donor. Tapi, ya sudahlah, daripada berdebat dan dianggap sok tahu, aku kalem saja. Tapi, tersenyum puas, saat doski mengiyakan dan suka pada besaran vena di tangan kananku.
Ya, selanjutnya, proses screening. 
Terkapar aku antara lapar, haus, dan ngantuk.
Sudah jam 8...tak tik tak tik tak tik. Sementara keluarga pasien sudah kembali ke rumah sakit. Aku ditinggal seorang diri. Buaiklah, senyum kecut.
Jam 9 aku putuskan makan sekedarnya, bubur ayam mana suka dijual di depan PMI. Dan sambil nyicil minum sedikit demi sedikit.
Jam 10 aku putuskan untuk rebahan di kursi  depan. Aku buat diriku senyaman mungkin, sekedar untuk lempengin pinggang dan pejamkan mata. Hari itu, aku sudah 12 jam membuka mata, dan tampaknya akan terus sampai malam.
Akhirnya, eksekusi.
Well, ini pekerjaan rumah.
Apheresis pertamaku itu, hampir setahun lalu dimana aku begitu memanjakan diri. Di kelilingi oleh teman komunitas yang memberi dukungan. Plus, bisa bawa film favorit di ruang apheresis. Film itu adalah “Real Steel”. Pokoknya, untuk menghindari rasa jenuh, aku buat nyaman diriku.
Tapi, apheresis kali ini, minimalis. Ga ada keriaan, teman ngobrol, apalagi film favorit.Cuma ngobrol via dunia maya. N thnx, God, di menit-menit terakhir 2 temanku datang, via undangan twitter dan watzup.
Aku gugup, bukan lantaran aku takut proses apheresis, tapi lebih karena aku gugup ketakutan bosan berada di tempat selama satu jam tanpa banyak bergerak. Jangan harap bisa lompat di trampolin.
Mmmmm, dimana proses donor darah kebanyakan, maka donor darah apheresis memang punya perlakuan berbeda.
Jadi, penjelasan mudahnya adalah ada dua jenis donor darah; whole blood dan apheresis. Whole Blood, dilakukan setidaknya tiga bulan sekali dengan proses pengambilan darah memakan waktu sekitar 30 menit. Sementara, apheresis membutuhkan waktu paling cepat  satu jam. Itu pun melalui proses yang bwahahaha menyenangkan.
Jadi, sejumlah darah di dalam tubuh di keluarkan melalui vena, kemudian disalurkan ke sebuah tabung dengan untaian selang dan kantong. Sejumlah darah yang dikeluarkan itu, dengan proses...(mmmm gampangnya disebut disuling)pemutaran tabung akan memisahkan unsur dalam darah, seperti sel darah putih. Nah, karena yang dibutuhkan adalah trombosit, maka unsur dalam darah yang tidak diperlukan dimasukan lagi ke dalam tubuh. Bwahahahahah
Terus berlanjut, hingga kantung trombosit dikira cukup sesuai yang dibutuhkan. Untuk 350 cc trombosit, paling tidak ada 5 kali proses keluar masuk darah, istilahnya cycle.
Well, gimana? Gimana? Menyenangkan bukan mendengarnya?
Buatku ini merupakan sensasi yang luar biasa. Boleh, kok, sebut aku freak. Tapi, beneran deh, ada energi lain yang aku rasakan saat jarum transfusi melesak masuk ke dalam tubuh melalui vena. Rasa ketakutan atau sakit dengan jarum, bahkan dengan diameter jarum yang tidak biasa pun, rasanya hilang, bahkan mampu melihat dengan tenang saat jarum masuk.
Ini kali keduanya aku jadi donor apheresis yang otomatis menghentikanku menjadi donor darah #WholeBlood. Ini komitmen. Kenapa? Dengan donor darah #WholeBlood, interval melakukan donor darah setidaknya 3 bulan sekali. Sementara apheresis bisa dimungkinkan 2-3 minggu sekali.
Aku bergolongan darah AB, dan hanya sedikit orang yang memiliki golongan darah ini. Persentasenya sila cek di google lah. Termasuk detail apa itu Apheresis yah.
Dengan demikian, aku berada dalam status siaga. Kapanpun dibutuhkan, ya, harus siap.
Aku bersyukur kenal dan kemudian akhirnya bergabung dengan teman-teman di komunitas DondarSiaga. Aku mengenal mereka karena salah satu dari mereka pernah menjadi narasumber di programku. Dari cari informasi aku kemudian gabung.
Titik tolaknya adalah saat donor di bulan puasa. Saat masuk ruang, pegawai PMI langsung menandai darahku untuk anak yang menderita kanker. Aku lemes, dan lumer air mata. Dan, kemudian klik dengan misi teman-temanku.
Sebenarnya, jadwal donor darah #WholeBlood regulerku itu November, Februari, Mei, Agustus. Jangan tanya kenapa? November, bulan ulang tahun. Februari, bulan #BloodyValentine. Mei, entah. Dan Agustus HUT RI. *halah
Tapi, yah, sudah, balik lagi ke komitmen. Menjadi donor siaga, yang kerap kangen dilanda kerinduan saat jarum melesak di vena. Dilema itu adalah saat sedikit anak kanker yang butuh AB, sementara ego ku berkata lain, aku ingin sensasi itu.
Dan hari itu, aku pulang ke rumah jam 00:30, setelah usai Apheresis jam 23:15.


No comments:

Post a Comment