Malam perlahan menggelapi Kampung Wae Rebo.
Dan jam 6 lampu pun menyala.
Perlahan kampung ini pun
gelap.
Aku masih menyisahkan rasa ingin berada di luar rumah. Sesapi dingin yang juga mulai berani datang saat matahari pergi.
Rasanya malam terlalu cepat datang. Jujur, banyak yang belum bisa ku lihat, sejak kaki menapaki kampung ini. Belum pula saat warga menjemur kopi, memilah kopi, dan bercerita tentang kopi kebanggaan mereka.
Tapi, memang tidak banyak kegiatan yang bisa dilihat di kampung ini - di siang hari. Apalagi di malam hari. Pagi hingga sore hari, warga memilih berkebun kopi di sekitar kampung. Mereka yang telah tua, lebih banyak berbagi peran dengan menjemur kopi atau memilah biji biji kopi untuk selanjutnya membuang kulit kopi dengan lumpang kayu.
Aku yang datang seorang diri ke Kampung ini pun kemudian lebih banyak berbincang dengan Angga dan Ipah - Solotraveller dari Jakarta. Keduanya memulai perjalanan dari barat ke timur, sementara aku memulai perjalanan dari timur dan berakhir di ujung barat Pulau Flores - Labuan Bajo.
Lucu juga, sih, kami berangkat dari Jakarta dengan tujuan berbeda, namun Wae Rebo mempertemukan kami. Berujung dengan obrolan seru pengalaman perjalanan sebelumnya dan menata perjalanan berikutnya. Obrolan itu terhenti setelah makan malam siap dihidangkan.
Berada di atas bukit, menemukan makan dengan olahan sederhana adalah sebuah hadiah luar biasa. Ayam goreng, tumis jantung pisang, dan kerupuk, luar biasa nikmatnya. Terkejutlah sebenarnya saat aku menemukan menu tumis jantung pisang. Jadi ingat rumah.