Aku
memang benar-benar Blind Traveler. Nggak tahu bus atau angkutan mana
yang akan membawaku menuju Maninjau. Untungnya, sejauh ini, perjalananku
baik-baik saja. Warga lokal teramat sangat membantu. Pokoknya yang aku
tahu, ada mobil travel bernama Tranex Mandiri. Nama PO ini rasanya cukup
terkenal. Aku tahu dari beberapa tulisan backpacker yang sempat singgah
di Padang. Tapi, aku sendiri nggak tahu posisinya berada di jalan apa.
Gubrak.
Jujur saja, Maninjau, sebenarnya tidak masuk dalam daftar tujuan travelling ku. Pun Painan. Justru karena lokasinya dekat dengan Bukittinggi lah yang membuatku mengiyakan rekomendasi Vano. Jadi, ngga ada salahnya mampir. Yup, selama 1 hari ke depan, guide-ku adalah teman kantorku.
Vano sendiri hari itu, jum'at 28/01 memang ada keperluan ke Maninjau. Dia bilang akan antar barang bersama ayahnya. Namun, saat meluncur dari Pekanbaru, ia dapat kabar, ada salah satu kerabatnya yang meninggal.
Jujur saja, Maninjau, sebenarnya tidak masuk dalam daftar tujuan travelling ku. Pun Painan. Justru karena lokasinya dekat dengan Bukittinggi lah yang membuatku mengiyakan rekomendasi Vano. Jadi, ngga ada salahnya mampir. Yup, selama 1 hari ke depan, guide-ku adalah teman kantorku.
Vano sendiri hari itu, jum'at 28/01 memang ada keperluan ke Maninjau. Dia bilang akan antar barang bersama ayahnya. Namun, saat meluncur dari Pekanbaru, ia dapat kabar, ada salah satu kerabatnya yang meninggal.
Vano
berangkat pukul 5 pagi dari Pekanbaru. Dengan 6 jam perjalanan, maka
kemungkinan tiba di Maninjau jam 11 siang. Aku sendiri berangkat dari
Padang jam 9 pagi, akan tiba di Maninjau 2 jam setelahnya. Tapi, karena,
aku sendiri nggak tahu bus menuju Maninjau, maka Vano menawarkan diri
untuk bertemu di Simpang Padang Luar, [baca: ngajak bareng]. Yang
menjadi permasalahan buatku selanjutnya adalah dimana pula lokasi
Simpang Padang Luar itu???
Oke, si Blind Traveler berlanjut.
Dapat duduk paling belakang lagi, dengan kondisi kaca tertutup stiker gelap. Tidak! Aku pindah posisi di bangku tengah. Tranex Mandiri itu jenis colt yah, dengan 10 penumpang. Ongkosnya 18K idr. Nah, aku sebenarnya juga ngga merasa nyaman dengan posisi diapit 2 penumpang lainnya. Tapi, ini jauh lebih baik, daripada duduk tersiksa di pojok.
Sekali dua kali, pertanyaan yang aku kerap dapati adalah,
'Ada keluarga di Padang?'
'Ngga ada', jawabku singkat.
'Terus ke Padang ngapain?'
'Jalan-jalan aja',
Situasi berikutnya adalah kesunyian. Pertanyaan itu adalah kesekian kalinya, kalau bertemu dengan warga lokal. Baik di bus, mobil travel, atau warga lokal yang aku tanya. Mereka hanya bisa diam. Sementara aku tersenyum polos. Mungkin aneh kali yah, buat warga lokal, ada orang Jakarta yang sendirian keliling Padang. Dan kalau kemudian ditanya, 'kenapa harus Padang?', maka jujur aku nggak punya jawaban. Ada sih jawaban, tapi, aku paparkan di bagian lain aja yah.
Dalam perjalanan menuju Maninjau, ada situs alam yang sayang untuk terlewatkan, yaitu air terjun Lembah Anai. Tapi, aku harus cukup puas, dengan hanya melihat dari dalam mobil, lantaran tidak bisa keluar, meski hanya sekedar untuk berfoto-foto. Sedih pastinya. Membayangkan dengan dapat berhenti sejenak di tempat itu, dan melakukan ritual.......berteriak!!!!. Kemudian melihat rute rel kereta api dari bukit satu ke bukit lainnya. Widih, pasti menjadi pengalaman perjalanan yang menyenangkan. But, sokelah, satu hari, aku akan kembali ke Sumatra Barat, jalan-jalan dengan berkereta api. Yah, menjadi kelemahan dengan angkutan umum adalah seperti ini, ngga bisa bebas untuk memanjakan batin untuk menikmati alam, meski sesaat. Namun, pemandangan khas Sumatra Barat yang berbukit dan berlembah, sedikit banyak mengurangi kekecewaanku.
45 menit menjelang Simpang Padang Luar, itu informasi yang aku dapat dari penumpang di sebelahku. Aku perlu kepastian waktu, itu penting. Dan hal itu yang aku lakukan berulang kali. Dan berulang kali pula hujan turun, sepanjang perjalananku. Tarik nafas panjang. Jadi inget baju yang masih dingin. Perlu matahari untuk jemur baju. Sedih.
Di belakangku, ada satu keluarga yang tidak henti-hentinya menjelaskan ke salah satu anggota keluarganya (mungkin juga dari Jakarta) tentang lokasi-lokasi wisata, sampai informasi tentang terminal bus yang biasa mengantarkan penumpang dari Bukittinggi - Jakarta. Buatku, informasi yang disampaikannya, menjadi bonus perjalananku.
Aku pun kemudian turun di Simpang Padang Luar. Oke, jadi ini sebenarnya adalah perempatan jalan. Masuk dalam kabupaten Bukittinggi. Kalau mengambil jalan lurus, sudah masuk ke kawasan Jam Gadang, belok kiri menuju Danau Maninjau. Dan Vano, masih berada di Payakumbuh, satu jam di belakangku. Rrrrrrrrh.
Jam 11:15. Mati gaya di kampung orang. Menunggu pula. Plus gerimis. Lengkap. Terima kasih, Tuhan, perjalanan ini sungguh nano-nano.
Aku putuskan untuk berteduh di warung makan Padang. Bapak tua, yang ku pikir adalah pemilik warung bertanya kepadaku, dan yes, pertanyaaan yang sama. "Mau kemana?" "Ada saudara?" "Dari Mana?", kemudian terdiam. Namun, setelah itu suasana pecah. Aku ngobrol seperti biasa dengan bapak itu. Tanya sana sini. Ketawa. Yup, ini salah satu menyelami bagaimana kehidupan warga di suatu daerah. Mereka sungguh terbuka bagi pendatang, apalagi yang sengaja datang hanya untuk jalan-jalan melihat Sumatra Barat. Dan suasana akrab itu, semakin lengkap dengan sajian Teh Taluah. Lol
Sambil menunggu jemputan, aku sengaja tidak banyak keluar dari rumah makan itu. Takut menarik perhatian. Bukan karena apa, aku kan juga nggak tahu situasi kondisi di sana. Satu-satunya saat keluar adalah memotret plang rumah makan untuk kemudian di share ke Vano, agar ia tahu keberadaanku. Karena kalau dia tanya lokasi keberadaanku, aku nggak bisa jamin menjelaskannya dengan benar.
Akhirnya, kijang pick up warna hitam pun datang. G, andai saja aku diperbolehkan duduk di bagian belakang, semakin lengkaplah status ku sebagai pengembara. Tapi, ngga diijinkan. Padahal, pasti seru tuh. Seperti di film-film. Yang aku tahu, Vano dan ayahnya, harus segera menuju rumah mereka, dan hadir pada saat pemakaman. Dan aku pun semakin nggak sabar untuk segera melihat Danau Maninjau. Aku ingin menyegerahkan perjalanan ini. Ah, memang kontur jalan, dan pemandangan Sumatra Barat itu khas banget. Ngangenin indahnya. Kelok sana kelok sini. Bonus kabut. Widih. Seru banget.
Kalau aku dibilang paling norak saat berada di Sumatra Barat, maka silahkan mengatakan hal itu kepadaku. Karena aku nggak akan peduli. Aku benar-benar memanjakan mata, hati, dan pikiranku dengan ketenangan yang Sumatra Barat berikan. Tuhan, aku sampai di Danau Maninjau.
Oke, si Blind Traveler berlanjut.
Dapat duduk paling belakang lagi, dengan kondisi kaca tertutup stiker gelap. Tidak! Aku pindah posisi di bangku tengah. Tranex Mandiri itu jenis colt yah, dengan 10 penumpang. Ongkosnya 18K idr. Nah, aku sebenarnya juga ngga merasa nyaman dengan posisi diapit 2 penumpang lainnya. Tapi, ini jauh lebih baik, daripada duduk tersiksa di pojok.
Sekali dua kali, pertanyaan yang aku kerap dapati adalah,
'Ada keluarga di Padang?'
'Ngga ada', jawabku singkat.
'Terus ke Padang ngapain?'
'Jalan-jalan aja',
Situasi berikutnya adalah kesunyian. Pertanyaan itu adalah kesekian kalinya, kalau bertemu dengan warga lokal. Baik di bus, mobil travel, atau warga lokal yang aku tanya. Mereka hanya bisa diam. Sementara aku tersenyum polos. Mungkin aneh kali yah, buat warga lokal, ada orang Jakarta yang sendirian keliling Padang. Dan kalau kemudian ditanya, 'kenapa harus Padang?', maka jujur aku nggak punya jawaban. Ada sih jawaban, tapi, aku paparkan di bagian lain aja yah.
Dalam perjalanan menuju Maninjau, ada situs alam yang sayang untuk terlewatkan, yaitu air terjun Lembah Anai. Tapi, aku harus cukup puas, dengan hanya melihat dari dalam mobil, lantaran tidak bisa keluar, meski hanya sekedar untuk berfoto-foto. Sedih pastinya. Membayangkan dengan dapat berhenti sejenak di tempat itu, dan melakukan ritual.......berteriak!!!!. Kemudian melihat rute rel kereta api dari bukit satu ke bukit lainnya. Widih, pasti menjadi pengalaman perjalanan yang menyenangkan. But, sokelah, satu hari, aku akan kembali ke Sumatra Barat, jalan-jalan dengan berkereta api. Yah, menjadi kelemahan dengan angkutan umum adalah seperti ini, ngga bisa bebas untuk memanjakan batin untuk menikmati alam, meski sesaat. Namun, pemandangan khas Sumatra Barat yang berbukit dan berlembah, sedikit banyak mengurangi kekecewaanku.
45 menit menjelang Simpang Padang Luar, itu informasi yang aku dapat dari penumpang di sebelahku. Aku perlu kepastian waktu, itu penting. Dan hal itu yang aku lakukan berulang kali. Dan berulang kali pula hujan turun, sepanjang perjalananku. Tarik nafas panjang. Jadi inget baju yang masih dingin. Perlu matahari untuk jemur baju. Sedih.
Di belakangku, ada satu keluarga yang tidak henti-hentinya menjelaskan ke salah satu anggota keluarganya (mungkin juga dari Jakarta) tentang lokasi-lokasi wisata, sampai informasi tentang terminal bus yang biasa mengantarkan penumpang dari Bukittinggi - Jakarta. Buatku, informasi yang disampaikannya, menjadi bonus perjalananku.
Aku pun kemudian turun di Simpang Padang Luar. Oke, jadi ini sebenarnya adalah perempatan jalan. Masuk dalam kabupaten Bukittinggi. Kalau mengambil jalan lurus, sudah masuk ke kawasan Jam Gadang, belok kiri menuju Danau Maninjau. Dan Vano, masih berada di Payakumbuh, satu jam di belakangku. Rrrrrrrrh.
Jam 11:15. Mati gaya di kampung orang. Menunggu pula. Plus gerimis. Lengkap. Terima kasih, Tuhan, perjalanan ini sungguh nano-nano.
Aku putuskan untuk berteduh di warung makan Padang. Bapak tua, yang ku pikir adalah pemilik warung bertanya kepadaku, dan yes, pertanyaaan yang sama. "Mau kemana?" "Ada saudara?" "Dari Mana?", kemudian terdiam. Namun, setelah itu suasana pecah. Aku ngobrol seperti biasa dengan bapak itu. Tanya sana sini. Ketawa. Yup, ini salah satu menyelami bagaimana kehidupan warga di suatu daerah. Mereka sungguh terbuka bagi pendatang, apalagi yang sengaja datang hanya untuk jalan-jalan melihat Sumatra Barat. Dan suasana akrab itu, semakin lengkap dengan sajian Teh Taluah. Lol
Sambil menunggu jemputan, aku sengaja tidak banyak keluar dari rumah makan itu. Takut menarik perhatian. Bukan karena apa, aku kan juga nggak tahu situasi kondisi di sana. Satu-satunya saat keluar adalah memotret plang rumah makan untuk kemudian di share ke Vano, agar ia tahu keberadaanku. Karena kalau dia tanya lokasi keberadaanku, aku nggak bisa jamin menjelaskannya dengan benar.
Akhirnya, kijang pick up warna hitam pun datang. G, andai saja aku diperbolehkan duduk di bagian belakang, semakin lengkaplah status ku sebagai pengembara. Tapi, ngga diijinkan. Padahal, pasti seru tuh. Seperti di film-film. Yang aku tahu, Vano dan ayahnya, harus segera menuju rumah mereka, dan hadir pada saat pemakaman. Dan aku pun semakin nggak sabar untuk segera melihat Danau Maninjau. Aku ingin menyegerahkan perjalanan ini. Ah, memang kontur jalan, dan pemandangan Sumatra Barat itu khas banget. Ngangenin indahnya. Kelok sana kelok sini. Bonus kabut. Widih. Seru banget.
Kalau aku dibilang paling norak saat berada di Sumatra Barat, maka silahkan mengatakan hal itu kepadaku. Karena aku nggak akan peduli. Aku benar-benar memanjakan mata, hati, dan pikiranku dengan ketenangan yang Sumatra Barat berikan. Tuhan, aku sampai di Danau Maninjau.
Saat
sudah mencapai titik tertinggi, untuk kemudian meluncur turun di kelok
44, aku mau teriak, tapi tertahan. Aku lupa ekspresiku saat itu. Lupa
dengan jumlah kelok yang ada. Mata terus lekat pada pemandangan alam
itu. Sumpah, bagus banget. Lebay? Terserah. Tuhan, aku mau teriak. Tapi,
jaim ah. Cukup berbisik dalam hati. Tuhan, aku teramat senang dengan
perjalanan ini. Vano, heavy thanx!!!!
No comments:
Post a Comment