Thursday, January 17, 2013
Mimpi Sederhana itu Melihat Jam Gadang
05:00 Waktu Maninjau. Tubuhku terbangun otomatis oleh jam biologisku. Mata masih sepet. Badan masih terasa remuk. Tapi, secara keseluruhan, tidurku teramat nyenyak.
Ini adalah tidur ke 3, di 3 daerah berbeda. Dan ini adalah hari ke empatku di Sumatra Barat, serta pagi pertama dalam hidupku di Maninjau.
Aku menunggu giliran sajadah yang dipakai ayahnya Vano untuk sholat shubuh. Dan setelahnya, aku buka pintu rumah. Kontan angin shubuh menyeruak masuk ke dalam rumah. Dinginnya nggak bisa ditawar lagi. Angin ini lebih dingin dari air wudhu tadi.
Ku menarik nafas panjang. Segar. Benar-benar segar.
Aku kemudian mengambil tempat di tepian teras, menghadap barat. Melakukan peregangan pada sejumlah bagian tubuh. Sesekali menguap. Kantuk masih tersisah. Tak mungkin ku lanjutkan tidur. Yang ada dipikiranku, hanyalah menikmati suasana pagi di Maninjau.
Sepi.
Tak tampak aktivitas warga pada saat ini. Mungkin masih teramat pagi, pikirku. Aku kemudian duduk bersilah. Berada di posisiku saat ini, berarti berada di sisi kanan Danau Maninjau. Dan bukit-bukit mengelilingi aku dan perkampungan ini. Berbeda dengan sisi barat dan timur, maka sisi bukit di sebelah timur, lebih landai dibandingkan dengan sisi barat. Dari literatur yang aku baca, sisi barat itu memang curam, sejak atas sampai dasar danau. Dan jika melihat fisik danau yang dikelilingi bukit, danau ini dibentuk dari letusan gunung. Jika letusan gunung membentuk danau seluas ini, maka sebesar apakah gunung itu? Maka, pesisir danau ini sebenarnya, dulu, berada di dalam perut gunung. Lalu siapa yang kemudian pertama kali menghuni pesisiran danau ini? Banyak pertanyaan.
Berusaha tidak sentimentil adalah komitku sejak memulai perjalanan ini. Dan ini berlaku pula saat aku di Maninjau. Yap, aku nggak lama lagi harus menyudahi keberadaanku di sini dalam hitungan jam. Aku harus berada di Bukittinggi sebelum Zuhur. Aku sudah kalkulasikan waktu. Dan karena, masih ada sejumlah urusan keluarga yang harus diselesaikan Vano dan ayahnya, aku berangkat ke Bukittinggi sendiri dengan mobil travel. 1,5 jam perjalanan, bersama warga lokal.
Aku sudah terbiasa dengan perjalanan ini. Bertemu dengan warga lokal sudah seperti keseharianku, dan tidak bisa dihindarkan. Salah, jika kemudian seperti eksklusif di kampung orang. Memulai pembicaraan dengan say hello, atau sekedar senyum.
Satu kekuranganku selama berada di Maninjau adalah belum foto di Petunjuk area Danau Maninjau dan kelok 44 yang terkenal itu. Tanpa segan, ku minta ijin kepada supir travel untuk nanti berhenti di 2 lokasi tersebut. Mulai deh, penumpang lainnya mulai bertanya-tanya ke aku. Mulai dari, mau kemana, dengan siapa, ada saudarakah, hingga pertanyaan selanjutnya, 'kerja dimana?', dengan santai aku jawab, kalau aku kerja di perusahaan asuransi. *mesem
Tanpa banyak protes dan teramat memahamiku, supir kemudian berhenti di tempat yang ku inginkan. Satu penumpang bertugas memotretku. Sisa penumpang lainnya tersenyum, seolah-olah memaklumi keberadaanku di antara mereka sebagai pelancong. Mereka sabar menunggu. Hal yang sama juga dilakukan pada titik kelok 44. Yah, inilah minusnya jalan-jalan sendiri. Ga bawa tripod pula. Bermodal sandaran rata dan timer, momen indah pun terabadikan.
Dua titik cukuplah untuk kenang-kenangan kalau aku pernah singgah di sini.
Oh yah, yang aku tahu ada peraturan tidak tertulis sepanjang kelok. Pengendara yang menanjak, mereka lah yang memiliki hak untuk diberi jalan saat berada di kelokan. Peraturan yang tidak tertulis lainnya adalah membunyikan klakson.
Sempat berdiskusi dengan ayahnya Vano, tentang pembuatan jalan di kelok maninjau ini. Jaman dulu, orang, sepintar apapun akan selalu membangun jalan sesuai dengan kontur alam. Kalau memang menanjak yah dibuat menanjak. Turun yah turun. Itu lah sebabnya jalan-jalan yang di bangun pada masa penjajahan Belanda sangat awet. Bedakan dengan kondisi sekarang. Bukit dilibas, dibelah tanpa memikirkan keseimbangan alam. Alhasil, seberapa pintar orang membangun jalan, alam masih punya kekuatan yang lebih untuk menghancurkan. Manusia sekarang maunya cepat. Bangun jalan maunya cepat selesai. Kualitas ditepikan, nyawa akhirnya dipertaruhkan.
Kembali lagi ke masalah peraturan tidak tertulis. Nah, peraturan itu pada akhirnya tidak akan berlaku jika sudah melewati kelok 44 atau menuju kota. Tapi, klakson wajib dibunyikan sebagai penanda ada kendaraan lain yang datang. Dan wajib dibalas klakson oleh pengendara lainnya. Jika tidak, maka, seperti yang terjadi pada mobil yang aku tumpangi. Gores di sisi kanan, mulai dari pintu depan hingga sisi belakang, dengan kedalaman yang lumayan. Yup, mobil ditabrak. Posisi dudukku di sisi kanan mobil cukup aman untukku. Dan untung, dorongan mobil yang menabrak tidak terlalu besar, sehingga tidak membuat mobil terseret ke kiri dan jatuh di jurang. *tarik nafas
Cukup lama antara dua supir berdebat, mencoba menyalahkan satu sama lain. Namun, dengan keadaan mobil yang aku tumpangi, maka mobil inilah yang menjadi korban. Dan aku pula yang menjadi korban, saat waktu terus berjalan. 30 menit dalam perdebatan alot, sampai kemudian mobil pengganti datang.
Perjalanan dilanjutkan tetap dalam kondisi Blind Traveler. G, aku beruntung, berada di tengah ibu-ibu di dalam mobil ini. Meski tetap ditanya ini itu tentang keberadaanku di Sumatra Barat, aku tetap bersykur mereka menghantarku hingga depan Jam Gadang. Tuhan, aku akhirnya tiba!!! *teriak
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment