29 Januari '11, sabtu jam 10:45 aku akhirnya, menjejakkan kaki di Bukittinggi. Gerimis.
Suasana
basah seperti ini mengingatkanku pada satu kota lain. Apalagi saat aku
kemudian menyusuri jalan mendaki dan basah. Aku merapat ke trotoir di
mana mobil-mobil parkir di bahu jalan. Berjajar pula ruko-ruko yang
menjajakan beragam buah tangan, makanan, kantor bank, depstore, restoran
cepat saji. Ada yang khas, dan aku suka suasana ini. Suasana berbeda justru berkaca dengan penampilanku, celana panjang kargo, topi kupluk, sendal gunung, plus ransel. Cool, hein??!!???!!!
Aku
telepon Amfrezer, teman kontributor kantor yang bermukim di kota ini.
Aku menunggunya di..... ah, sebenarnya aku paling fasih menentukan arah
mata angin, entah kenapa saat itu, aku lepas kendali dan lupa arah mata
angin. Titik pertemuan yang aku syaratkan di depan gedung pertemuan, dan
memang gedung itu satu-satunya yang berada di sekitar Jam Gadang.
G, Jam Gadang!!!!!!!
Alhamdulillah, akhirnya aku melihat landmark kota ini. Megah. Ibarat
alun-alun kota, maka di sini banyak sekali wisatawan lokal yang
menghabiskan waktunya untuk bersantai, foto-foto, dan sekedar ngobrol.
Tapi,
aku tidak bisa berlama-lama di titik pertemuan ini. Setelah bertemu
Amfrezer, aku harus segera ke tukang jahit. Ya ya ya ya, celana kargo
ku, robek se robek-robeknya pada bagian selangkangan. Robek terparah
terjadi saat aku turun dari mobil travel. Dan aku tidak bisa berbuat
banyak, kecuali harus segera menjahitnya. Am memberikanku petunjuk
dimana harus mencari tukang jahit, dan ia belum dapat menemani keliling
kota Bukittinggi karena ada tugas liputan.
So key, I'm fine.
Jadilah
aku kemudian ke pasar. Sesuai petunjuknya aku mencari tukang jahit di
sudut pasar lantai 2. Tukang jahit kutemukan. Permasalahan berikutnya
adalah bagaimanakah caranya aku bisa lepas celana? Letak wc jauh.
Sementara, tukang jahit yang kutemukan, tidak memiliki ruangan khusus.
Mereka berjejer di luar kios. "Pake sarung saja, lepas di sini", saran tukang jahit sambil memberiku sehelai sarung. Ide yang sama sekali tidak terlintas di benakku.
Tanpa
sungkan, dan nggak penting berpikir panjang, aku pun mengiyakan saran
tukang jahit. Cukup kikuk melakukannya, maklum saja, namanya juga pasar,
jadi banyak orang hilir mudik. Tapi, bukan Adhie namanya kalau tidak percaya diri dan cuek.
Beberapa
menit ke depan, aku duduk manis bersarung hijau. Tanpa banyak tingkah.
Sejurus dua jurus, jahitan pun selesai. Ku keluarkan selebaran uang lima
ribu rupiah sebagai ongkos jasa. Aku ngga tahu standar upahnya berapa.
Mau kasih sepuluh ribu, kebesaran juga. Lagian aku kan backpacker. LoL
Selanjutnya,
city tour pun dimulai. Berbekal peta wisata yang aku peroleh di kantor
wisata Bukittinggi, aku siap menyusuri lokasi-lokasi wisata. Apa yang
aku baca, memang sejurus dengan yang aku alami di sini. Yup, lokasi
wisata di sini, saling berdekatan. Cukup jalan kaki saja. Oh yah, aku
perhatikan juga, Bukittinggi ini siap banget dengan layanan wisata yang
dimiliki. Terbukti dengan tersedianya kantor informasi wisata. Jadi,
memudahkan wisatawan yang berkunjung. Mirip layanan wisata di beberapa kota di luar negeri. Layananya pun ekstra ramah. Salut deh!!!
Seperti
di kota-kota sebelumnya, banyak pula yang menanyakan keberadaanku di
Sumatra Barat. Entah, apalagi yang harus ku jawab. Dominasi ekspresi
mereka sih, kaget aja dengan cara liburan yang aku jalani. Intinya
mereka respek lah. Dan itu memudahkan aku berbaur dengan warga lokal. It
works. Yang penting senyum. Bahasa yang sejuta orang akan pahami.
Setidaknya
aku temukan tiga kelompok wisatawan asal Padang yang berkunjung ke
Bukittinggi. Nah, dengan ketiganya lah aku kemudian ikut mereka. Asik
aja. Seru. Padahal kenal pun baru. Tapi, suasana begitu cair. Lepas.
Terutama saat mengunjungi Benteng Fort de Kock. Dengan mereka, aku naik
hingga ke tingkat tertinggi, dan foto bareng. Hahahahahah. Meski liburan
sendiri, aku nggak pernah merasa sepi. Selalu menemukan teman-teman
baru yang menyenangkan. Yihaaaaaaaa!!! Thnx to you, God.
Peta wisata di tangan, kalau meragu akan arah tujuan, bertanyalah. Telinga ku sumbat
dengan ear phone. Playlist dari Ipod sontak menghibur diri saat
menapaki jalan menurun arah Panorama, di mana terdapat Ngarai Sianok dan
Goa Jepang. Ke berada di perempatan. Ku tanya pada beberapa tukang
ojek, yang dijawab dengan isyarat tangan menuju kiri. 5 menit lagi
dengan berjalan kaki.
Kota ini sungguh bersih. Tenang. Enak untuk
istirahat atau sekedar hiburan. Apalagi, nggak cuma wisata alam yang
tersedia, tapi juga wisata sejarah. Sepanjang jalan menuju Panorama pun,
di sisi kiri, berjajar rumah-rumah berarsitektur eropa. Skala 1 - 10,
kebahagiaanku pada skala 9. Apalagi saat aku kemudian berpijak pada
tepian bukit, di mana aku memandang lepas Ngarai Sianok. Ask me how I felt when I was there, please!
No comments:
Post a Comment