08:15 pesawat pun akhirnya landing di Bandara Internasional Minangkabau,
30 menit lebih lama dari jadwal semestinya. Cuaca buruk sempat membuat
pesawat memutar hingga 2 kali, sebelum akhirnya mendarat.
Awan tebal
memang menutup Padang pagi itu, nyaris, landasan pacu, n bahkan
rumah-rumah penduduk tidak terlihat. Ngeri juga sebenarnya, plus, BIM
dikelilingi bukit, perlu cermat dan cari cela untuk bisa menembusnya.
Apalagi, turbulence juga sering menggelitik badan pesawat. Guncangan sering terjadi.
Suasana
kian menyeramkan, saat salah satu penumpang anak, sejak take off hingga
landing, berteriak histeris minta turun. Berkali-kali. Gagal sudah
rencana untuk menggenapi waktu tidur yg terpotong. Padahal terbang 1 jam
25 menit cukuplah untuk tidur. Tapi, nyatanya, teriakan itu bikin
perjalanan tidak nyaman.
Keluar dari bandara,
mulai deh, calo calo travel datang mengerubuti menawarkan jasa. Masalah
pertama, gue Blind Traveler. Masalah kedua, gue ga ngerti bahasa warga
lokal. Jadinya, gue pasang muka antara muka galak n tegas. *gubrak, ga
penting bayangin muka gue saat itu. Penting untuk orang tahu, kalo kita
punya pertahanan diri, meski hanya lewat mimik muka.
Well, pilihan
jatuh pada Damri, 18K idr hingga ke tujuan akhir mereka. Lebih aman sih
berkat jualan instansi daripada gue naik angkutan lain. Meragu.
Oke,
tujuan hari pertama adalah Painan. 60 km selatan Padang. Ga ada alamat
jelas, hanya patokan. Dan karena ga ada bus menuju ke sana, gue naik
mobil travel. Penuh dengan warga lokal, panik dengan clostrophobia yang
menyerang mendadak. Stress dapat duduk di belangkang. Sempit pula.
Protes. Gw pun dapat duduk ternyaman, di tengah, pinggir pula. Sedap.
Satu setengah jam perjalanan selanjutnya penuh dilema. Mata berat untuk
melihat, tapi pemandangan sepanjang perjalanan, sulit dibiarkan begitu
saja. Sisi kiri, deretan bukit, sementara sisi kanan, pantai! Manteb,
kan?
Akhirnya, tiba pula di Tarusan. Kota kecamatan dari Kabupaten
Painan. Sasaran gue untuk menelusuri situs turistik di sini, terlebih
dahulu singgah di rumah teman.
Gue kenal teman ini, saat menjadi
relawan di kantor gubernuran sumatra barat di Jakarta, saat gempa
padang. Ia menawari gue, kalo ke Padang, mampirlah. Ya sudah, 2 tahun
berselang, datanglah gue. Namun, karena pada saat gue datang, dia sedang
berada di Jakarta, maka, dia mengutus saudara-saudaranya untuk menemani
guw selama di Painan.
Tujuan
utama di Painan hanyalah Jembatan Akar yang telah berusia seratus tahun
lebih. Dan dengan bermotor, gue pun menuju Bayan Utara, letak jembatan
itu berada. Terasa sekali noraknya gue, sepanjang perjalanan, sesekali
teriak kagum di atas motor. Gimana nggak? Bagus banget pemandangannya.
Mendapati
jalan dengan track lurus sedikit bergelombang, jadilah gue menjajal
bawa motor. Widiiiiiih, no helm, apalagi spion, 80KM, berasa liar gue.
Usai
berfoto-foto di Jembatan akar dan berisitirahat sejenak, gue pun segera
pulang, karena sudah ditelpon untuk makan malam. Yup, jam 6:15 sudah.
Gulai ikan patin! Mantap, kan? Makannya di atas tikar. Kalap, nambah
euy. Gulainya enak. Dosa kalo makannya malu-malu. Ehehehehe
Belum
lepas hilang capek gue, mereka sudah berencana ajak gue ke satu tempat,
dimana bisa melihat pemandangan kota Painan dari atas bukit. Maka,
meluncurlah, kami 45 perjalanan yang dibayar dengan pemandangan
kereeeeeeeen. Sumpah keren. Mesti harus ke sana lagi untuk liat di kala
siang. Dimana aktivitas warga dan laut menyatu. Cakep.
Tapi, karena
waktu yang gue punya harus berbagi, jadinya tidak akan lama berada di
Painan. Melihat aktivitas desa nelayan adalah agenda pagi, jelang menuju
Padang. Well, Tuhan, terima kasih, aku sudah pertemukan aku dengan
warga lokal yang begitu baik.
No comments:
Post a Comment