Jujur, kecewa saat tahu, perjalanan jauh ke Bunguis tidak mendapatkan
gulai kakap. Gulai jengkol pun tetap membuatku bergeming. Tidak tergoda.
Mati rasa. Makan pun hanya sekedarnya. Mungkin, memang perjalanan ini
tidak memberkatiku untuk mencicipi makanan khas masing-masing daerah.
Apapun itu, lewat. Padahal, sejak pagi tadi, perutku belum pula ku isi
nasi, kecuali sate padang di lapangan Imam Bonjol siang tadi.
Jam 5,
mengejar waktu ke Padang Pariaman. Tawaran berikutnya adalah mengunjungi
situs Syekh Burhanudin, entah apalah itu. Blind Traveler, aku ikut aja.
Estimasi waktu 1 jam tiba di lokasi. Dengan kondisi jalan track lurus,
maka akan jauh lebih cepat. Itu asumsiku saja. Ternyata, jalan yang ku
lewati adalah berbalik 180 derajat. Truk besar,
kontainer, saling salip. Diriku rasanya kecil banget di antara antrian
di jalan. Pasrah. Namun, rasa ingin tahuku dan jiwa petualangku
mengalahkan ketakutan dan resiko yang aku hadapi.
Belum separuh
jalan, gerimis. Sialnya, aku tak bawa rain coat untuk ransel. Sudah beli
beberapa waktu lalu, hanya saja, ku lupa posisi terakhir, saat
perjalanan ke Semarang awal januari. Bukannya mereda, gerimis justru
berganti hujan. Terus bergantian. Kami putuskan untuk menepi. Ransel
yang awalnya aku letakkan di punggung, ku pindah ke bagian depan motor.
Fauzan, sepupuh temanku itu, ber jas hujan, sementara aku tidak. Jaket?
Ah sudahlah. Lepek? Logis terjadi. Berkali-kali aku tanya, seberapa jauh
lagi mencapai lokasi, jawabnya 3/4 jam lagi. Oke, untuk kedua kalinya
kami menepi di sebuah warung, entah di jalan apa namanya. Berteduh,
sambil recharge batere hp yg sekarat. Beberapa menit, cukuplah untuk bb
bisa bertahan hingga kembali nanti. Dan di warung inilah, untuk pertama
kalinya ku minum teh taluah. The yang dicampur telur bebek, plus susu.
Jangan tanya aromanya seperti apa. Lupakan itu, langsung tenggak aja.
Katanya sih berkhasiat untuk sehat lelaki dan meningkatkan gairah.
Gairah apa? Skip
Jam 6:15, perjalanan kami teruskan. Hujan mereda.
Langit cerah, meski menuju gelap. Plang penunjuk arah ke situs tampak.
Semangat pun kembali timbul. Namun, setelah 30 menit berkendara, urung
tiba. Langit pun gelap. Gerimis kembali turun. Entah sampai atau tidak
nih perjalanan. Buatku tak masalah jika kemudian menelusuri jalan dalam
kondisi basah seperti ini. Tapi, jika harus melewati jalan tanpa
penerangan sama sekali, baca: gulita, plus hanya terdengar raungan motor
kami. Oke, cukup. Perjalanan ini sudah tidak lagi menyenangkan. Takut?
Jujur iya. Siapa yang tidak? Apalagi jika baru kali pertama menginjakkan
kaki di sebuah daerah.
Sepertinya sudah 30 menit lewat, belum juga
tiba. Dalam hati, 'Tuhan, aku pasrah jika ku tak capai tempat itu, yang
penting segera kembalikan aku ke Padang, karena aku ingin sudahi
perjalanan ini'.
Jalan layang itu mestinya terang, tapi ini gelap.
Gerimis. Dan ku pikir, lepas jalan layang itu, ku akan melihat
pemukiman. Nyatanya tidak. Motor berbelok ke kanan. Langit di sekitar
kian pekat. Satu-satunya penerang, hanya lampu motor. Satu-satunya yang
memecah kesunyian hanya mesin motor dan perbincangan, antara aku dan
Fauzan.
Satu kilometer kurang lebih, kami lalui jalan beraspal,
sisanya jalan becek dan berbatu. Lengkap dengan pangkalan truk. G, aku
dimanaaaaaaa??? 'Kalau masih di Sumatra Barat, masih aman lah', cukup
melegakan kalimatnya. Pandanganku kemudian tertuju pada meteran bensin.
Tiris. Lengkap. Gimana jadinya, kalo kehabisan bensin di tengah jalan
seperti ini.
Waktu maghrib terlewati, karena memang sejauh perjalanan, kami tak menemukan masjid. Ini malam jum'at loh. Waduh
Setelah sekian kilometer kami lalui, kami putuskan untuk mampir ke Masjid, sekalian berteduh. Entah di mana. Blind Traveler.
Masjid
tidak seberapa penuh. Jamaah pria hanya 3 orang warga lokal, dengan
beberapa jamaah wanita di belakangnya. Mereka semua menatap kami. Kami
segera berlalu ke temnpat wudhu. Aku yang saat itu bercelana sedengkul,
mengeluarkan sarung dari tas ransel. Sarung ku dapat, sambil menarik
nafas panjang, 'bajuku basah semua, Tuhan'. Getir
Tidak berapa lama,
Qomat. Aku mencari posisi sholat di tengah. Yang aku rasakan saat itu,
'aku seperti musafir'. Sholat di tengah perjalanan, di kampung orang.
Nikmat banget rasanya.
19:30, Fauzan berkata jujur, 'pikiranku
setelah sholat seperti terbuka. Sebelumnya gelap. Aku kesasar.' Ok, itu
sudah cukup menjelaskan, bagaimana kami rupanya hanya berputar di sebuah
lokasi, tanpa kejelasan arah. Alhamdulillah, 45 menit kemudian, kami
tiba.
Masih dalam keadaan gerimis. Sepi lokasi itu. Situs Syekh
Burhanuddin, situs cagar budaya, di kabupaten Padang Pariaman. Aku tiba
juga.
Aku tidak banyak bicara. Lelah perjalanan, meski duduk
diboncengan tetap membunuhku. Seorang warga lokal, menghampiri kami. Ia
bilang, tempat ini pada hari rabu penuh, hingga sesak. Rupanya situs
ini, menjadi tujuan ziarah warga lokal, maupun di luar kabupaten.
Di
antara bangunan baru, masih jelas bentuk bangunan lama, termasuk bentuk
nisan batu bersegi lima. Segi lima? Entah kebetulan atau memang
dikondisikan. Ini mengundang keinginantahuanku.
15 menit berada
dilokasi, kemudian kami putuskan kembali pulang. 45 menit kemudian, kami
tiba di rumah Fauzan di Tabing. Yup, 45 menit.
No comments:
Post a Comment