Wednesday, September 21, 2011

Separuh Hari Jelajah Saigon

Cukup aneh sebenarnya menurutku, tiga hari di Ho Chi Minh, tapi tidak pernah sempat merasakan suasana kota yang sesungguhnya. Sejak tiba sabtu malam, Tien langsung mengantarku ke travel dan booking perjalanan selama di kota ini. Dan di hari selanjutnya, aku sudah terjadwal untuk ikut tour ini dan itu. Pulang tour sore, justru aku lebih memilih untuk tinggal di penginapan, atau sekedar cari makan yang tidak jauh. Paling hanya sekitar jalan De Tham street atau perempatan jalan, menyusuri blok, ke perempatan jalan lagi.
Hingga berakhir di kedai kecil, biasa aku pesan macaroni dan nasi goreng plus ayam goreng. Nongkrong dengan waktu yang tidak terlampau lama. Bukan karena tidak nyaman, tapi, lebih karena cuaca di Ho Chi Minh saat aku berada di sana tidak bersahabat. Gerimis, yang kadang disertai dengan hujan deras. Kondisi hujan ini yang kemudian membatalkan perjalananku dengan Daisuke ke Pecinan usai dari Mekong.
Kedai ini rasanya yang paling pas dengan lidahku. Kecil banget tempatnya. Hanya ada 4 bangku pendek, dan meja yang selevel. Menu yang ditawarkan pun juga hanya macaroni dan nasi aja. Plus pemilik yang tidak bisa berbahasa inggris.
Transaksi hanya dilakukan dengan menuliskan Dong di selembar kertas. Dan aku mengiyakan dengan anggukan kepala dan senyuman. Selanjutnya, ia langsung memasak. Kedai ini, aku sudah jadikan tempat makan sejak hari kedua. Paling aman.
Yup, orang selalu bilang, untuk mencicipi Pho, sejenis mie khas Vietnam dan menu khas lainnya. Tapi, entah kenapa, aku kalau jalan-jalan tidak terlalu suka untuk berwisata kuliner. Buatku urusan perut itu, cukup dengan makan yang cukup, dan kenyang. Kalau urusan lidah, aku tidak terlalu memperhatikan, dan membiarkan tidak memanjakan lidah untuk ikut jalan-jalan. Lagipula prinsipku sejak kali pertama hobi jalan-jalan yah, untuk mata dan perasaan. Lain tidak. Makanya aku tidak terlalu banyak menyisihkan bajet untuk makan (baca; sekedarnya).
Macaroni dengan potongan paha ayam seharga 17 ribu rupiah itu juga sudah cukup membuatku kekenyangan. Sebab, ukuran paha ayamnya sudah besar banget. Sementara untuk minum, aku biasa beli beberapa liter air, dan kemudian jus, serta yogurt. Untungnya, penginapan yang dibooking Tien, juga menyediakan lemari es kecil, jadi bisa nyetok deh.
Lepas urusan makanan, yang paling penting justru adalah komunikasi. Mmmm, thank lah, berkat jalan-jalan seorang diri menyusuri jalan di tengah gerimis, aku membaca ada kios telepon internet. Nggak perlu dua sampai tiga kali mikir deh untuk masuk dan cari tahu biaya melakukan komunikasi ke Indonesia. Dua ribu rupiah per menit, baik untuk telepon lokal maupun ke telepon genggam. Dan lokasinya pun hanya tinggal nyebrang jalan dari mulut jalan tempat penginapan. Surga.
Tapi, aku baru menemukannya di hari terakhir. Jadi, tidak terlalu banyak memanfaatkan penemuan ini. Sebelumnya aku lebih banyak menggunakan perangkat Blackberry messanger dan Voice Note.
Well, aku sudah menata kembali tas ranselku, karena selasa siang aku harus terbang ke Hanoi dengan Jetstar. Sisa waktu ku di hari ini, aku harus gunakan untuk city tour yang super singkat, tiga jam saja mungkin. Yah, paling tidak aku bisa foto di depan pasar Ben Then, kemudian di depan katedral, kantor pos, dan beberapa gedung dan taman serta landmark kota ini.
Dan Tien pun datang jam setengah sembilan. Tien bilang sebelumnya, kalau hari ini ia libur dan bisa fokus nemenin aku jalan-jalan di Ho Chi Minh. Tapi, saat Tien tiba, aku coba meyakinkan lagi, apa benar dia libur, feeling ku sih nggak, karena dia jawab setengah ragu gitu. Apapun, aku sangat, bahkan teramat sangat menghargai usaha Tien untuk mengentertain aku selama berada di kotanya. Tien benar-benar teman yang super baik. Tidak hanya saat kami bersama satu kampus di Siena, tapi setelah tujuh tahun tidak bertemu pun, aku tetap mendapati Tien sebagai teman yang baik banget. #Hug
Dengan motornya, kami pun menelusuri jalan-jalan utama kota. Berhenti sejenak untuk ambil beberapa gambar. Dan hingga ke sejumlah titik pun, Tien, tidak berhenti-henti menyarankan untuk foto di ragam lokasi yang biasa dijadikan tempat favorit para turis. Tien sendiri yang memotretku. Dan jika aku ingin Tien bersama dalam satu frame, maka aku meminta orang lain untuk membantu kami. Begitu seterusnya, hingga ku rasa perjalanan keliling kota tersingkat ini selesai, dan Tien pun mengantar aku ke bandara.
Dan, pesawatku pun delay hingga lima jam ke depan. Notifikasinya baru aku terima begitu turun dari motor. Aku memberi tahu Tien, ia menawariku untuk jalan- jalan lagi aja. Tapi, aku tahu kondisinya, Tien harus segera ke kantor, dan aku memastikan, kalau aku baik-baik saja untuk lima jam ke depan, dan aku memilih untuk berada di bandara. Itu cara yang lebih aman.
Kami berpisah dan itu amat membahagiakan.
Terus terang, aku juga berpikir ada apa dengan aku, kenapa aku bisa tidak mati gaya selama berada di bandara, dan di negara orang pula. Aku asik sendiri dengan troli, makan ayam goreng yang dibelikan Tien, main hp, buka laptop, dengerin musik. Dan jika aku bosan di dalam, aku cari angin di luar bandara, melihat orang lalu lalang. Semua itu aku lakukan dalam waktu lima jam. Bahkan, saat aku ingin kembali melihat foto-foto perjalanan, aku sempatkan ngedit foto. Hanya satu yang tidak aku lakukan, tidur. Dan aku nggak mau tidur., Takut bablas. Dan lima jam di bandar, plus 2 jam, total tujuh jam dibandara aku lalui dengan menyenangkan.
Well, merugi juga sih sebenarnya, aku sengaja pilih penerbangan siang, karena berarti aku masih bisa menikmati suasana sisa siang di Hanoi. Jika pesawat berangkat jam 1, maka paling tidak aku sampai di Hanoi jam 3 sore. Masih banyak waktu untuk jalan-jalan dan beradaptasi. Nah, jika pesawat take off jam 5 sore, maka tiba di Hanoi jam 7 malam.
Aku nggak mau sampai di kota Hanoi malam hari. Tapi apa boleh buat, terima saja.
Yang aku tahu, dari Bandara ke pusat kota Hanoi itu membutuhkan waktu satu jam-an. Dan ada bus bandara, plus transportasi umum. Aku pilih bus bandara. Mmmm jangan berpikir bus bandara itu, sebesar bus damri di Jakarta. Aku bisa bilang kalau ini seperti minivan, tarif hanya 2 dolar atau sekitar 17 ribu rupiah. Murah daripada harus menyewa taksi.
Saat turun dari pesawat itu, aku kenalan dengan #Solotraveller dari Prancis. Aku paham kalau ia pun harus irit. Aku menawarinya untuk bersama ke pusat kota, lagipula kondisinya jadi menguntungkan untuk aku, setidaknya aku ada teman bicara. Ia ngotot untuk naik bus dari salah satu maskapai dengan harga tiket yang sama. Tapi aku meragu untuk naik, karena kondisi busnya amat sangat tidak layak. Dan aku pilih naik bus dari Vietnam Airlines. Memang sih harus nunggu penuh, tapi rasanya ini yang lebih layak.
Nah, si bule itu, ngotot, kalau naik bus pilihanku, tarifnya 4 dolar per orang. Yah, aku bilang aja, "salah denger kali lu, bro. lah, gw denger aja cuma 2 dolar per orang. Kalo lu ga percaya, tanya aja lagi. dan kalo lu mau naik bus itu yah silakan aja". Hingga akhirnya ia naik juga bus yang aku pilih.
Malam itu sungguh tidak menguntungkan untuk aku yang tidak suka malam, apalagi jika tiba di sebuah kota yang baru. Aku perlu matahari untuk melihat semuanya. Dan aku tidak butuh hujan untuk saat ini. Sebenar-benarnya tidak butuh hujan. Tapi apa daya, terima saja. Temanku asal Indonesia yang bekerja di Hanoi mengatakan kalau memang kota ini sedang musim hujan. Wassalam.
Satu jam berikutnya aku sudah tiba di pusat kota. Berbekal peta aku membuka dan mempelajarinya, mengamati nama jalan, dan sungguh pekerjaan sia-sia. Sempat kaget saat ada sebuah kompleks perumahaan besar di tepi kota, dengan plang nama taipan perumahan asal Indonesia. Huh, hebat juga. Pokoknya ada World-nya gitu deh.
Pada saat aku naik bus ini, sebenarnya si sopir aku tanyakan, apakah dia bisa mengantarkanku ke alamat hotel aku. Dia menjawab bersedia. Namun, saat aku beranjak cari bus lainnya, dan kembali ke bus dia, aku kembali tanyakan hal yang sama, jawabannya berubah. Ia pun menjawab dengan nada tinggi, menolak untuk mengantarkanku. Baiklah, ini salahku.
Tapi, setelah semua penumpang turun di perhentian terakhir, sopir ini, balik menanyai alamat hotelku, tentunya dengan sejumlah biaya tambahan yang tidak lebih besar dari 2 dolar. Aku mengiyakannya. Ini jalan terbaik menuju hotel, daripada aku harus turun kemudian mencari taksi. Anggap saja bagi-bagi rejeki, dan ia teramat senang menerima lembaran-lembaran Dong dari aku. Dan aku pun duduk manis, hingga tiba di Stars Hotel, Hanoi. Perjalanan berikutnya adalah.

No comments:

Post a Comment