Thursday, January 28, 2016

Desa di atas awan itu di Bantul (Part 2)

Aku melambatkan motorku pada sebuah jalan masuk desa dari sebuah pertigaan. Pun motor yang berada di hadapanku juga melambatkan kendaraannya.
Buat pria pengendara motor itu mungkin mudah mengenali pendatang semacam aku. Kesan gerak yang kaku saja sudah nampak jelas kalau aku tidak mengenal jelas wilayah desa Mangunan. Tapi bagiku perlu mereka-reka, benarkah pria yang di hadapku ini adalah Pak Narjo - pemilik homestay yang direkomendasikan Wahyu.
"Pak Narjo?", tanyaku.
Yang ku tanya mengangguk.
Ia pun memutar balik motornya, memberiku isyarat untuk mengikutinya dari belakang.
Jalan desa yang beraspal dengan kanan kiri rumah permanen model limasan - khas Jawa. Suasananya tenang. Jauh dari hiruk pikuk.
Memang lingkungan tempat tinggal Pak Narjo jauh dari jalan utama. Dan saat tiba di Mangunan sebelum matahari masih cukup sinarnya, menambah kesan nyaman dengan kedatanganku di kota ini.
Kemudian Pak Narjo belokan motornya ke kanan dan perlahan melambatkan laju motornya.
Tibalah aku di sebuah rumah dengan pekarangan yang luas. Seperti rumah kebanyakan dengan model limasan, dengan teras yang luas - pun begitu rumah Pak Narjo.
Pak Narjo mempersilakanku duduk.
Aku hapus beban ransel di bahuku ke bangku kayu jati di teras rumahnya. Ia mengawali pembicaraan. Dan merendah dengan kondisi rumahnya. Sementara aku, aku sudah cukup bahagia sejauh ini - berada di Mangunan.

Melakukan perjalanan dan memilih tinggal di homestay atau rumah penduduk lokal adalah pilihanku. Sebagai ketua RT, kediaman rumah Pak Narjo kerap dijadikan tempat singgah traveler semacam aku ini. Tapi biasanya mereka yang datang berkelompok. Menginap untuk beberapa hari melihat sejumlah lokasi wisata kekinian di Mangunan. Sementara aku? Sendirian. Kalau dipikir-pikir ia begitu sigap menyiapkan kamar untukku - dua jam saja persiapannya. Dan untungnya pun tersedia satu kamar kosong di rumahnya. Bisa dibayangkan kalau aku tidak mendapatkan tempat menginap malam ini di Mangunan. Wahyu, terima kasih!
Pak Narjo mengatakan - Mangunan memang kini kian banyak dikunjungi wisatawatan.Umumnya mereka ingin melihat matahari terbit dari Kebun Buah Mangunan, kemudian Hutan Pinus, Goa Gajah, dan Tebing Watu Mabur. Namun, nyatanya dua lokasi wisata alam yang terakhir kurang peminat, jika tidak ingin dikatakan tidak ada yang datang. Karena magnet efek #Instagram sangat kuat pada Kebun Buah Mangunan dan Hutan Pinus.
Nah, seiring dengan kian banyaknya wisatawan yang datang ke Mangunan, maka mau tidak mau dibutuhkan fasilitas untuk mengakomodasi kehadiran wisatawan itu - misalnya penginapan. Hotel atau hostel rasanya - kalau buat aku bukanlah sebuah pilihan melewatkan hari-hari di Mangunan. Itu sebab aku memilih homestay.
Dan keberadaan homestay pun kini perlahan mulai bertambah. Setidaknya cukuplah untuk membuat wisatawan bertahan lebih lama di Mangunan. Kebanyakan wisatawan ini, sih, kaum muda yang ingin memiliki liburan berkualitas namun tidak perlu mengeluarkan bajet yang banyak. Dan daripada harus mengejar waktu perjalanan dini hari dari Jogja Kota, mereka memilih bermalam di Mangunan. Penasaran harga permalamnya? Cukup terjangkaulah.
Aku sendiri mendapatkan kamar yang cukup luas dengan jendela menghadap kebun. Serunya adalah rumah ini bener - bener khas jawa. Selain bisa ngobrol langsung dengan pemilik rumah, pun bisa dapat informasi banyak tentang Mangunan. Dan Pak Narjo dengan senang hati mengantarkanku esok shubuh ke Puncak Kebun Buah Mangunan. Alhamdulillah
Next

No comments:

Post a Comment