Saturday, September 17, 2016

Rock Climbing di Via Ferrata Badega Gunung Parang

Berlatar Gunung Parang
Pada Sabtu pagi itu, Bus 'Warga Baru' membawa kami bertiga menuju Purwakarta. Menuju lokasi wisata kami, Via Ferrata, Gunung Parang, Purwakarta, Jawa Barat. Rencana ke lokasi ini tercetus sejak 2 bulan lalu. Lantaran tidak memungkinkan untuk bepergian seorangan diri, maka aku mengajak dua teman kantor yang memang ku amat-amati suka dengan olahraga outdoor - macam panjat tebing ini.
Namun, ini merupakan pengalaman yang pertama bagi ku. Dan rasanya menyenangkan saja mencoba sesuatu yang baru - Panjat Tebing. Kedatangan kami sudah diantisipasi Kang Afin. Kang Afin menyapa begitu kami tiba di Badega Gunung Parang, tepatnya di Desa Cirangkong. Karena, memang kami telah berkorespondensi via surel dan Watsap. Sehingga begitu kami tiba tidak direpotkan lagi untuk urus ini dan itu. Tidak banyak hal administrasi yang harus kami selesaikan. Hanya berupa formulir berisi keperluan yang kami butuhkan. Dan karena jadwal panjat tebingnya baru keesokan pagi, maka kami memilih untuk softtreking di sekitar
Beda dengan Wansky dan Depe yang cukup bersahabat dengan olahraga outdoor, aku justru banyak berpikir, "lanjut?". Apalagi mereka memilih untuk panjat hingga ketinggian 400 meter. Aku? 100 meter saja belum tentu mau. Dan, yang terjadi maka terjadilah. 
Senang tapi tetap fokus di via ferrata
Maka, di jadwal yang telah disepakati, jam 8 pagi, kami bergerak dari pendopo menuju titik pendakian 0 meter.
Pemandu kami adalah Kang Miftah. Warga lokal menyebutnya sebagai manusia cicak. Lantaran kelincahannya bergerak dari satu titik ke titik lain tanpa bantuan alat apapun. Seperti badannya menempel pada batuan tebing yang kemiringannya mencapai 90 derajat.
Tapi, itu tidak berlaku pada kami. Prosedur keselamatan pendakian harus kami kenakan; helm, body harness, dan carabiner. Tiga alat itu dan dosis tinggi keberanian yang akan membuat pendakian ini berhasil. Jangan lupa dengan sabar dan fokus pada pendakian.
Komunikasi kami dengan Kang Miftah sudah terbentuk sejak obrolan semalam di pendopo. Jadi, sepertinya kami sudah sefrekuensi untuk melalui beberapa jam waktu pendakian ke depan bersamanya. Sehingga, pijakan demi pijakan bisa kami lalui dengan minus stress.
Stress? Pastinya. Apalagi tidak ada kata 'batal naik' atau 'turun' saat kaki sudah berpijak ke 'tangga besi'. Pun, setelah pijakan ke dua dan selanjutnya. Bahkan, yang ada di pikiranku adalah bagaimana bisa mencapai titik seratus meter pertama dengan nyaman.
Alhamdulillah, pos 1 di ketinggian 100 meter sudah dilalui dalam waktu kurang lebih 30-an menit. Cukup bisa sedikit puas diri karena bisa menaklukan ketakutan diri. Apalagi di atas ketinggian.
Melanjutkan ke titik ketinggian selanjutnya, kami memilih untuk merayakan sejenak di tepian tebing dengan berfoto-foto. Menabung keberanian untuk seratus meter pendakian selanjutnya.
Kang Miftah berkali-kali membantuk memasang lepaskan carabinerku. Pun kepada dua temanku lainnya.
Titik 400 M berlatar Waduk Jatiluhur
Sekira cukup lelah, kami memilih istirahat sejenak sambil bergelantungan. Menyesapi pemandangan Waduk Jatiluhur dari ketinggian. Dan Kang Miftah pun berperan tidak hanya sebagai pemandu yang berpijak ke sana kemari. Ia juga memastikan tiap detik pengalaman kami berada di dinding tebing ini diabadikan dengan baik. Kalau sudah melihat aksinya itu, kami bertiga hanya saling beradu pandang - heran, sekaligus berdecak kagum. Tidak salah memang jika warga lokal menyebutnya sebagai 'Manusia Cicak".
Berbeda dengan jalur via ferrata di 100 meter pertama, maka 100 meter selanjutnya kemiringan tebing tidak sampai 90 derajat. Namun, kehati-hatian perlu terus dijaga. Untuk jalur lurus ke atas, setidaknya sudah ada pola buatku, kapan berpijak, kapan memasang lepaskan carabiner secara mandiri. Tapi, jika jalur lanjutkan ke samping atau berliku, maka tidak ada hal lain selain ekstra fokus.
Sebenarnya, tidak ada hal yang perlu ditakutkan sepanjang perjalanan hingga titik 400 meter. Cukup aman buatku yang seorang pemula mengenal panjat tebing dengan via ferrata. Yang ditakutkan justru jika ada kepanikan di tengah jalan. Atau memang pada dasarnya telah memiliki ketakutan pada ketinggian. Ini jelas beban banget. Tidak hanya untuk teman satu rombongan, tapi juga kepada pemandu. Karena akan menjadi kendala waktu tempuh menuju titik ketinggian terakhir.
Menghibur diri di 100 meter pertama
Kami sengaja memulai pendakian sepagi mungkin, untuk menghindari sengatan matahari. Dan itu yang perlu diantisipasi kepada pendaki. Meski kesannya fun climbing, namun target waktu tempuh juga perlu diperhatikan. Terutama kendala sengatan matahari yang berimbas pada panasnya besi pegangan, dan panasnya batu tebing. Meski sebenarnya sarung tangan dapat meminimalisir panas besi.
Nah, untuk menghindari kesan terburu-buru melakukan pendakian, maka maksimalkan waktu istirahat dan waktu minum. Kalau memang matahari tidak menjadi halangan, maka bebaslah mengatur waktu naik dan waktu turun.
Setidaknya 3 jam setengah waktu yang kami butuhkan untuk mencapai titik ketinggian di 400 meter. Itu sudah termasuk waktu istirahat, minum, dan foto-foto.
Di jam 12 lewat 15 kami pun mulai melakukan penurunan tebing - di jalur yang sama. Iya, tidak ada jalan lain untuk turun, selain menggunakan jalur yang sama saat melakukan pendakian. Bedanya mungkin, beban tubuh akan jauh lebih berat, terutama pada lutut. Dan tantangannya adalah bagaimana menghindari melihat lokasi bawah, sementara mata kita fokus pada pijakan kaki di tangga besi.
Lagi dan lagi, fokus, dan konsentrasi. Cuma itu.
Bersama Kang Miftah - Si Manusia Cicak
Agar lebih percaya diri, aku mengaitkan 2 Carabiner pada dua titik. Satu di kawat besi, dan satunya pada anak tangga besi. Upaya ini, sedikit memakan waktu. Tapi, justru ini membuat aku lebih percaya diri. Lebih fokus.
Lebih percaya diri lagi dengan tidak mau turun dari ketinggian 100 meter melalui tangga besi. Aku memilih melewati jalur treking. Wansky mengiyakan inginku yang memang sejak awal pendakian memilih jalur treking. Sementara Depe meragu.
Kang Miftah pun membuka jalur treking bagi kami dengan kemiringan 70 derajat. Cukup membuat nyali ciut. Karena sepenglihatanku tidak ada jejak jejak kaki sebelum kami. Dan Kang Miftah mengakui kalau jalur treking yang kami lalui, baru kali ini ditembus.
Walau bagaimanapun, liburan kali ini cukup berada di luar zona nyamanku. Dan pemilihan lokasi pun di luar kebiasaanku. Dan aku mendapatkan lelah yang menyenangkan.
Toh, pada pada akhirnya, tidak perlu jauh hingga ke luar negeri untuk merasakan bagaimana merayap di dinding tebing. Karena di Indonesia olahraga petualang semacam rock climbing ini sudah dapat ditemukan di Gunung Parang, Purwakarta.
Via Ferrata Badega Gunung Parang
Jika sedari tadi, aku berbicara tentang titik ketinggian, memang pengelola menawarkan beberapa titik pendakian. Mulai dari 100 meter, hingga di ketinggian 900 meter. Tarif pendakian berbeda, berdasar pada ketinggian yang diambil pendaki. Dan pendaki dibekali alat pengamanan mendaki, serta pemandu.
Pada suatu kesempatan, Kang Miftah mengatakan, ada 1500-an anak tangga dari besi yang disematkan pada dinding tebing. Besi itu ditanam pada dinding tebing berkedalaman yang cukup dengan menggunakan bor. Dan mampu menahan beban hingga 1000 kg.
Untuk mencapai lokasi ini, bisa menggunakan bus dari Terminal Kampung Rambutan. Kemudian turun di Ciganea. Lanjut menggunakan angkot hijau mengarah ke Plered. Turun di depan koramil, untuk selanjutnya naik mobil kijang hingga ke Desa Cirangkong.
Rinciannya bisa dibuka pada laman http://badegaparang.blogspot.co.id.
Selamat mendaki. Mendakilah yang bahagia. Jangan lupa pasokan 1,5 liter air selama pendakian. Ini perlu!

No comments:

Post a Comment