Friday, July 29, 2016

Nikmatnya Kopi Pagi di Wae Rebo (Part 5)

Tidurku malam ini tidak seberapa nyenyak. Beberapa kali terbangun.
Bukan lantaran kondisi Mbaru Niang Tirta, tapi lebih ke akunya saja. Antara kelelahan, dan terlalu banyak yang diinginkan. Mencoba menyisir prioritas dan mencari yang seharusnya bisa dihilangkan. Dan semua itu memaksa otak terus bekerja, sementara tubuh sebenarnya perlu untuk tidur. Empat jam untuk tidur rasanya cukuplah.
Lepas tengah malam memang kemudian, aku rasa aku bisa bisa larut dalam kelelahan fisik. Cara berpikirku pun telah terkalahkan dengan rasa kantuk yang teramat sangat.
Ditambah suasana kampung tengah malam yang begitu hening. Sepi. Di dalam Mbaru Niang ini pun hanya sesekali terdengar tamu yang berganti posisi tidur, sehingga tubuhnya sedikit bergesekan dengan tikar pandan. Tidak ada suara mendengkur. Untungnya.
Yang ku ingat selanjutnya adalah aku terbangun sekira jam lima pagi untuk selanjutnya salat Shubuh. Aku ingat, aku dan Ipah bangun hampir bersamaan. Aku yang kemudian berjalan perlahan di tengah gelap menuju pintu belakang rumah ke kamar mandi untuk berwudhuh. Sudah bisa ditebak sebenarnya, bagaimana air sepagi itu. Dingin. Sangat dingin. Tapi, wudhuh tetap berjalan. Dan Shubuh tetap terlaksana. Rasanya? Nikmat banget.
Senikmat seruputan kopi pertamaku di Wae Rebo.
Wangi!!!
Awalnya aku meragu untuk menyeruput kopi hitam itu. Lantaran, jauh dari rumah, dan masih ingat rasanya penderitaan saat asam lambung menyerangku beberapa bulan lalu. Tapi, wangi kopi ini teramat menggoda. Apalagi, sejak kaki pertama menginjak Wae Rebo, yang aku lihat adalah hamparan biji kopi yang dijemur warga. Lantas aku juga melihat-lihat warga yang disibukkan dengan menumbuk biji kopi dan memilah-milah biji kopi. Sehingga, menyeruput seteguk kopi, rasanya menjadi sebuah kesempurnaan, antara mata dan lidah.
Apalagi ini adalah kopi hitam tanpa gula. Ah, sudahlah. Aku hanya ingin ini menjadi pengalaman lidahku saja. Abaikan imbas ke lambung. Dan sejurus kemudian, lidahku telah mengecap kopi. Rongga mulutku telah dipenuhi air kopi. Sedikit berkumur, menyesapi semua kepahitannya kopi. Nikmat.
Suasana menyeruput kopi yang diolah secara tradisional di dalam sebuah rumah yang dibangun ratusan tahun lalu adalah tidak ternilai harganya - meski tersaji di cangkir.
Kopi bagi masyarakat Wae Rebo adalah sesuatu yang dibanggakan. Pohon kopi mereka tanam di sekeliling kampung. Selain dikonsumsi sendiri, sebagian lainnya dijual. Bahkan sejak pagi sekalipun aktivitas menjemur biji kopi sudah dilakukan warga dengan menggelar lembaran terpal dari plastik. Menggelar terpal plastik sejak pagi adalah cara warga memanfaatkan keberadaan matahari. Karena kalau kabut menutupi kampung mereka, itu berarti masa penjemuran kopi akan bertambah.
Warga lainnya pun sudah mulai memilah biji kopi. Sementara lainnya sudah pergi ke kebun kopi dengan keranjang yang diikat pada kepala.
Jenis kopi yang tumbuh di Wae Rebo adalah kopi robusta. Tapi, ada juga jenis kopi arabika yang tumbuh di perkebunan warga. Uang hasil menjual kopi itu warga gunakan untuk membeli kebutuhan hidup sehari-hari, serta biaya pendidikan.
Selain dijual di luar lingkungan Wae Rebo, warga pun mengemas kopi ini sebagai oleh-oleh yang bisa dibeli pengunjung dengan harga terjangkau.
Melihat dengan kepala sendiri, bagaimana warga mengolah kopi mereka secara tradisional menjadi keharusan bagiku untuk membeli kopi.
Paling tidak, selanjutnya aku dapat berbicara banyak lagi dengan warga. Berbicara tentang kopi yang mereka banggakan. Mengisi waktu berbincang sambil menunggu sarapan siap. Untuk selanjutnya kembali ke Ruteng. Tapi, ada agenda acara seni yang menjadi penghiburanku selanjutnya di Wae Rebo ini - Tari Caci. Tari Caci menjadi pertunjukan yang jarang dipertunjukkan. Itu sebab, pagi di Wae Rebo begitu sempit. Karena aku dan beberapa tamu lainnya harus segera turun ke desa terdekat. Tari Caci dimulai jam 10 pagi. Sebagai bagian dari upacara penyambutan pastur baru di desa ini.  

No comments:

Post a Comment