Wednesday, July 27, 2016

Keramahan di tengah Gunung Menuju Wae Rebo (Part 2)

Semacam akan membebani bahuku, beberapa baju dan barang yang tidak akan aku gunakan pun aku titipkan di Wae Rebo Lodge. Lumayanlah berkurang beberapa kilo saja. Berharap itu mempermudah pendakianku.
Selanjutnya dari Wae Rebo Lodge aku naik motor pemanduku hingga ke Denge, titik awal pendakian. Di Denge ini ada juga sebuah homestay milik Pak Blasius - Beberapa pengunjung biasa memarkirkan kendaraannya di lokasi ini. Padahal, ini adalah bukan titik terakhir yang bisa dijangkau kendaraan. Karena pemanduku membawaku hingga ke jembatan yang belum seberapa jadi. Bahkan, dia pun menyebrangi sungai kecil berbatu. Sementara mobil-mobil pengunjung terparkir di tempat yang sama.
Sayangnya, pada beberapa titik jalan kondisi jalannya tidak mulus - retak akibat longsoran. Sehingga aku berjalan kaki. Aku yang sesekali terlihat tersengal - sengal membuatnya menanyakan kondisiku.
"Saya baik-baik saja", jawabku.
Sebuah sungai kecil kemudian menyambutku.
Rio - nama pemanduku, menyarankaku untuk meminum air sungai itu, murni dari mata air katanya. Aku hanya mengangguk dan membasuhkan mukaku dengan air sungai itu. Sementara telapak kaki ku sudah cukup nyaman berendam dalam air yang cukup dingin.
"Kita mulai pendakian", ucapnya.
Kami hanya berdua.
Berpikir untuk melepaskan penat 3 jam perjalanan di hutan yang sepi. Dan tidak ada cara lain selain terus bertanya tentang aktivitas Rio. Dan juga banyak pertanyaan lain terkait dengan Wae Rebo.
Mbaru Niang Gendang 
Sebagai warga asli Wae Rebo, maka aku sangat beruntung mendapatkan pemandu semacam Rio. Informasinya asli ku dapat langsung dari warga lokal. Sehingga sepanjang perjalanan aku menikmati percakapan kami. Nantinya, Rio akan menemaniku juga saat aku tiba di Kampung Wae Rebo dan kemudian menemaniku ke esokan harinya. Itu berarti Rio juga bisa bertemu keluarganya.
Ponto Nao ada kentongan sambut tamu
Rute menuju Kampung Wae Rebo ini 9 kilometer. Dan sekedar tips saja, jangan melulu fokus pada jalan setapak dan jarak yang jauh. Nikmati tiap jejak yang selalu dilalui warga lokal yang juga dilalui mereka - sekedar untuk membeli kebutuhan pokok seminggu sekali. Nikmati juga pemandangan sepanjang jalan, dan sesapi oksigen yang tersedia banyak di kawasan pegunungan ini. Kalau pun mulai lelah, maka beristirahatlah.
Penting juga sebenarnya memilih baju saat melakukan perjalanan ke atas gunung ini. Aku terpaksa mengganti baju dan celanaku yang pada akhirnya membebani bebanku dan suhu tubuhku. Maka 3/4 perjalanan berikutnya, aku hanya mengenakan celana pendek dan kaos oblong. Selamat tinggal, Gaya!
Keakraban yang terbentuk dengan Rio dilengkapi dengan bertemunya kami dengan sejumlah warga lokal yang dari arah yang berlawanan. Bahkan juga berkesempatan berpapasan dengan pengunjung tamu yang bermalam di kampung itu.
Uniknya, bahagiaku saat warga lokal menyapaku dengan ucapan "Selamat pagi!", dengan senyum. Aku? Di tengah gunung seperti ini masih mendapatkan sapaan bersahabat itu sungguh sebenar-benarnya rezeki tak terduga.
Ada warga yang langsung melanjutkan perjalanan dengan membawa hasil hutan. Tapi, ada juga yang berhenti sejenak di Pos 1.
Rio mengatakan di lokasi inilah bisa mendapatkan sinyal. Pos 1 ini bernama Poco Roko, merupakan titik tertinggi dan lokasi di mana warga lokal mencari sinyal telepon.
Dan memang beberapa warga lokal yang memilih berhenti di Poco Roko ini mengeluarkan telepon genggamnya. Begitu pun aku. Sekedar mengirim sms saja. Tidak memperbaharui status di Medsos. Karena aku selanjutnya memilih ngobrol dengan warga yang ku temui di tengah gunung ini. Seru!
Seseru saat aku mendengar kalau esok pagi akan ada pertunjukan Tari Caci. Sebuah tarian tradisional suku Manggarai.
Tarian ini tidak sering dipertunjukkan. Hanya peristiwa dan kesempatan tertentu saja. Seperti, masa panen, tahun baru, atau menyambut tamu kehormatan. Nah, untuk esok hari itu, tarian ini dipertunjukan dalam rangka menyambut pastur baru. Itu sebab, selain membawa hasil panen, warga lokal ini juga membawa atribut untuk pertunjukkan esok hari.
Pemandangan dari Poco Roko
Inilah yang membuat perjalanan aku ke Kampung Wae Rebo kian bersemangat. Bonus perjalanan aku dapatkan esok hari dan gratis.
Berbeda dengan jalur dari titik nol ke Poco Roko yang cenderung terus menanjak, maka dari jalur Poco Roko ke Pos selanjutnya cenderung datar dan menurun. Nama pos ini adalah Ponto Nao - sebuah pos pemantau dengan atap dari ijuk. Dari lokasi ini kita bisa melihat dari kejauhan Kampung Wae Rebo dengan bentuk rumah khasnya. Jika, selama ini aku hanya melihat foto dan beberapa literatur tentang Wae Rebo, maka hari ini aku melihat dengan mata kepalaku sendiri. Bukan dari sebuah foto atau cerita-cerita menyenangkan. Aku tiba di Kampung Wae Rebo, destinasi yang hampir tidak aku lirik hingga detik - detik akhir aku memulai perjalanan ke Flores.
Tapi, meskipun aku sudah berada di Kampung ini, ada prasarat yang harus aku lakukan. Yah, dari Ponto Nao inilah ada sebuah kentongan yang harus dibunyikan sebagai penanda ada tamu yang akan mengunjungi Wae Rebo.
Perjalanan menurun dengan pohon kopi di sepanjang jalan beberapa ratus meter hingga tiba di pintu masuk Kampung Wae Rebo.
Rio mengajakku ke Rumah Mbaru Niang Gendang. Di dalam rumah ini, aku menjalani prosesi adat penerimaan tamu oleh tetua adat. Sebuah doa dan ucapan selamat datang dalam bahasa lokal. Doa selamat dan menganggap aku sebagai bagian dari Kampung Wae Rebo.
Sah!!! Selanjutnya

No comments:

Post a Comment