Thursday, July 28, 2016

Sesapi Nafas Hawa Lembah di Wae Rebo (Part 3)

Depan rumah Mbaru Niang Gendang
Mbaru Niang Gendang adalah rumah yang pertama kali aku masuki - lengkapnya Mbaru Niang Gendang Maro. Di rumah inilah para tamu akan mendapat semacam upacara penyambutan oleh tetua adat. Upacara penyambutan yang dilakukan sederhana ini bernama Pa'u Wae Lu'u.
Upacara Pa'u Wae Lu'u adalah untuk meminta ijin dan perlindungan leluhur untuk tamu saat berkunjung hingga tamu meninggalkan kampung. Selain itu, para tamu yang datang pun dianggap sebagai saudara yang sedang pulang kampung.
Sebagai catatan, sebelum selesai prosesi ini, tamu tidak diperbolehkan melakukan kegiatan apapun termasuk mengambil foto. Hal yang terakhir ini sudah aku ketahui dari berbagai bacaan. Jadi, tidak ada salahnya dituruti larangan ini.
Waktu aku tiba di depan rumah, sudah ada sepasang tamu dari luar negeri yang bersiap untuk keluar. Jadi, aku tak perlu menunggu lama untuk mendapat giliran selanjutnya. Dan aku kemudian masuk bergantian dengan Rio - pemanduku. Dalam bahasa lokal ia menyampaikan maksud kedatanganku di kampung ini.Tidak begitu lama untuk sebuah prosesi penyambutan, namun kesan mendalam aku rasakan begitu aku masuk ke dalam Mbaru Niang. Cukup senang dalam hati saja, karena aku akan bermalam - meski hanya semalam saja.
Bersama pewaris budaya WaeRebo
Untuk bermalam di Kampung Wae Rebo para tamu dikenakan biaya 350 ribu rupiah yang sudah termasuk 3 kali makan - siang, malam, dan sarapan pagi. Sementara untuk pemandu dikenakan biaya 150 ribu rupiah. Sebuah nominal yang ku pikir tidaklah terlalu mahal untuk sebuah pengalaman berada di sebuah kampung yang sangat bersejarah dan berbudaya ini. Apalagi rumah dan lingkungan tempat aku bermalam adalah sebuah bagian dari konservasi budaya ratusan tahun lalu. Dan warga lokal dengan kearifan lokalnya bersatu dengan alam dan melestarikannya.
Jadi, tidak usah dibandingkan dengan tarif hotel berbajet rendah sekalipun. Karena yang aku rasakan kini adalah luar biasa mahalnya sebuah pengalaman.
Masih ada beberapa jam sebelum matahari terbenam di balik bukit. Aku bisa menyesapi suasana alam perbukitan ini yang dingin dan tenang- kalau tidak mau dikatakan sepi. Aku yang introvert sangat menyukai suasana ini. Utamanya melihat bangunan rumah di Wae Rebo.
Suarsana akrab tamu dan warga
Aku yang merasa cukup lelah dengan beban ransel di bahu, akhirnya mengekor Rio dari belakang menuju rumah yang dikhususkan untuk tamu. Letaknya paling ujung setelah gerbang masuk perkampungan.
"Makan sedang disiapkan. Nanti setelah siap, Saya akan panggil Abang", ucap Rio.
Aku mengangguk kemudian membuka sepatu untuk masuk ke rumah.
"Jadi seperti ini tampak dalam kamar yang akan aku tempati untuk bermalam," bisikku dalam hati.
Ruangannya cukup bersih dan tertata.
"Cukup menampung untuk 40 tamu", jawab Rio, saat menyadari aku menyapu pandangan ke dalam ruangan ini.
"Abang bisa letakkan tas abang di mana abang mau", lanjutnya.
Aku kemudian menyasar lokasi untuk tidur yang di atasnya ada jendela.
Dan sembari menunggu makan siap, aku membenamkan diri dengan suasana lokal.
Mengamati tiap jengkal wilayah Wae Rebo. Terutama mengamati tujuh buah rumah di sini.
Uniknya, rumah di Wae Rebo ini harus berjumlah tujuah buah. Jika, ada yang ingin membangun lagi, maka harus membangunnya di luar kampung.
Kerajian tenun kain Cura
Tujuh rumah ini masing - masing memiliki nama; Niang Gena Mandok, Niang Gena Jekong, Niang Gena Ndorom, Niang Gendang Maro, Niang Gena Pirong, Niang Gena Jintaman, dan yang terakhir adalah Niang Gena Maro. Cukup sulit untuk menghapal. Nah, Niang Gena Maro inilah rumah yang diperuntukkan untuk tamu - termasuk aku.
Lalu apa sebenarnya Niang itu? Niang adalah atap kerucut terdiri dari daun lontar dan ditutup ijuk dibuat hampir menyentuh tanah.
Mbaru Niang Gendang Maro adalah bangunan yang paling tinggi yaitu 14 meter. Tepat di depannya ada semacam altar. Tingginya satu meteran dan bernama Compang. Di Compang inilah menjadi pusat upacara adat. Tamu dilarang menginjak lantai dari Compang ini. Sebagai pusat dari upacara adat, maka tidak heran jika diperhatikan, semua pintu dari tujuh rumah di Wae Rebo ini menghadap ke Compang.
Meski berada di kawasan yang terisolir - jauh dari keramaian dan perjuangan - namun Wae Rebo tidak pernah sepi pengunjung. Ada saja yang datang. Baik perorangan, maupun berkelompok.
3 Solotraveller bertemu di Wae Rebo
Pilihan selanjutnya adalah apakah akan kembali ke Denge dalam hari yang sama? atau bermalam. Karena ada pula yang menuju Wae Rebo pada pagi hari, dan kembali pada sore hari. Bagi mereka, hanya dikenakan tarif berkunjung dan tarif untuk pemandu. Terkait tarif, ini sebenarnya bukan bagian dari komersialisasi budaya. Karena dananya pun diperuntukkan untuk konservasi, pelayanan tamu (makan), dan biaya bahan bakar generator (listrik).
Jadi, agak riskan juga kalau menyoal soal uang. Toh, yang didapat di kampung ini adalah hal yang luar biasa. Dan bagiku, berada di sini adalah sebuah pencapaian tersendiri, hadiah diri, dan ego. Meski aku pada akhirnya merasa harus asik sendiri berada di kampung ini.
Berkeliling kampung yang tidak seberapa luas. Menyapa warga yang tidak semuanya bisa berbahasa Indonesia. Saling senyum adalah yang menyatukan keakraban kami. Dan warga disini pun sudah terbiasa dengan tamu dari banyak kalangan. Mereka terbuka dengan tamu dengan syarat dan ketentuan tertentu. Misalnya, tamu harus berpakaian sopan, berlaku sopan dan tidak berkata kasar. Plus, dilarang memberi uang atau kue kepada anak anak. Mereka - warga lokal - tidak mau mendidik anak - anak mereka menjadi seperti peminta - minta.
Niang Gena Maro; rumah untuk tamu
Itu yang menyenangkan tentunya. Karena dikebanyakan tempat, anak-anak selalu menghampiri tamu dengan meminta uang jajan, yang pada akhirnya membuat risih. Untungnya di Kampung Wae Rebo ini, aku tidak mendapati kondisi seperti itu.
Justru aku mendapati pertemanan baru. Iya, pertemanan baru.
Memang rejeki di perjalanan itu selalu dalam bentuk yang tidak terduga. Di saat aku menyisir halaman rumah warga, menginjakkan kaki di rerumputan. Aku berkenalan dengan dua pejalan asal Jakarta. Keduanya berangkat dari Jakarta seorang diri. Dan kami bertemu di Wae Rebo. Selanjutnya


No comments:

Post a Comment