Thursday, July 28, 2016

Semalam Tidur beralas Tikar Pandan di Wae Rebo (Part 4)

Malam perlahan menggelapi Kampung Wae Rebo.
Dan jam 6 lampu pun menyala. 
Perlahan kampung ini pun
gelap. 
Aku masih menyisahkan rasa ingin berada di luar rumah. Sesapi dingin yang juga mulai berani datang saat matahari pergi. 
Rasanya malam terlalu cepat datang. Jujur, banyak yang belum bisa ku lihat, sejak kaki menapaki kampung ini. Belum pula saat warga menjemur kopi, memilah kopi, dan bercerita tentang kopi kebanggaan mereka. 
Tapi, memang tidak banyak kegiatan yang bisa dilihat di kampung ini - di siang hari. Apalagi di malam hari. Pagi hingga sore hari, warga memilih berkebun kopi di sekitar kampung. Mereka yang telah tua, lebih banyak berbagi peran dengan menjemur kopi atau memilah biji biji kopi untuk selanjutnya membuang kulit kopi dengan lumpang kayu.
Aku yang datang seorang diri ke Kampung ini pun kemudian lebih banyak berbincang dengan Angga dan Ipah - Solotraveller dari Jakarta. Keduanya memulai perjalanan dari barat ke timur, sementara aku memulai perjalanan dari timur dan berakhir di ujung barat Pulau Flores - Labuan Bajo. 
Lucu juga, sih, kami berangkat dari Jakarta dengan tujuan berbeda, namun Wae Rebo mempertemukan kami. Berujung dengan obrolan seru pengalaman perjalanan sebelumnya dan menata perjalanan berikutnya. Obrolan itu terhenti setelah makan malam siap dihidangkan.
Berada di atas bukit, menemukan makan dengan olahan sederhana adalah sebuah hadiah luar biasa. Ayam goreng, tumis jantung pisang, dan kerupuk, luar biasa nikmatnya. Terkejutlah sebenarnya saat aku menemukan menu tumis jantung pisang. Jadi ingat rumah.

Bagi para tamu yang menginap, saat makan malam, maka saatnya duduk bersila melingkar. Semua tamu mendapat menu yang sama. Tidak ada perbedaan. Repot juga kalau ada tamu yang memilih menu dengan kriteria dan rasa yang akrab di lidahnya.
Maka, ketika lepas makan malam, aku kembali beristirahat.
Lepas komunikasi sama sekali dengan dunia luar. Sebenar-benarnya istirahat dari dunia luar. Itu sebab, batere di telepon genggamnya hanya berkurang sedikit persen saja. Padahal recharge terakhir saat aku masih berada di Ruteng. Rahasianya karena aku mematikan layanan data. Itu ku lakukan karena percuma saja berharap pada sinyal.
Lagipula tidak terlalu penting menyegerahkan posting foto dalam kondisi perjalanan yang sebenarnya pribadi banget. Kenapa pribadi? Karena tidak setiap masa bisa dibagi pada siapapun. Toh dengan begitu, aku memiliki kesempatan yang banyak mengabadikan moment Wae Rebo dengan telepon genggamku.
Wae Rebo memang tidak ada jaringan listrik. Tapi pun warga tidak membiarkan tamu yang datang minin penerangan. Paling pasokan listrik masih bisa tersedia dari genset yang mampu membangkitkan listrik untuk kebutuhan warga Wae Rebo dari jam 6 sore hingga jam 10 malam. Sementara, listrik yang digunakan sebagai penerangan kampung hingga pagi harinya, berasal dari energi listrik panel surya. Canggih, kan? 
Tapi di dalam Mbaru Niang Tirta Maro - rumah untuk tamu - lampu cukup menerangi seluruh ruang. Dan karena sudah ada keinginan keras bermalam di Wae Rebo, maka tentu harus siap dengan kondisi apapun. Toh, meski harus tidur di lantai kayu, suasananya nyaman. Meski di luar cukup dingin pada malam hari, Mbaru Niang Tirta Gena Maro ini cukup hangat. Tamu disediakan selimut kain yang tebal, dengan bantal bersarung tikar pandan. Plus tikar pandan yang juga menjadi alas tidur. Dingin? Tidak!!!
Dan meski aku menyadari jika lampu di ruang tengah akan mati jam 10 malam, tetap saja aku tetiba terserang kepanikan.
Ini kali keduanya terjadi dalam sejarah perjalananku. Pertama saat berada di dalam kereta dari Hanoi menuju Lao Cai. Aku tidur dalam kondisi lampu menyala, dan kemudian terbangun dalam kegelapan. Panik. Semua gelap, senyap, dan ada suara. Semua terlelap. Tidak ada satu pun yang berani ku bangunkan. Termasuk Angga dan Ipeh. Mana berani aku.
Sambal garam, lahap dengan nasi hangat
Setali tiga uang kondisi di luar kupastikan juga sama gelapnya. Hanya ada satu lampu penerang di depan rumah yang berhasil sedikit menerangi dalam ruang. Tapi, dari posisi ku tidur, terang lampu tak sampai.
Malam yang menjadi tidak santai. Aku ambil posisi duduk. Mencari-cari lampu senter yang aku bawa setiap kali melakukan perjalanan. Kuping ku siagakan, meradar dalam keheningan. Ku dengar ada suara. Dua orang yang bersahutan. Aku pun perlahan-lahan ke luar rumah. Melawan dingin dan mencari akrab dengan mereka yang masih saja di luar.
Tak perlu lama aku berbicara dengan mereka - bukan warga lokal. Aku pun sudah cukup tenang, dan cukup modal untuk kembali ke dalam rumah melanjutkan tidur. Setidaknya dengan waktu yang sebentar, aku bisa melihat langit Wae Rebo saat malam. Langitnya bersih, sinar bulannya pun terang. Tapi, kalau melihat sekeliling kampung justru mendapat gelap yang pekat.
Kalau tidak ingat besok harus bangun sepagi mungkin untuk melihat tari Caci aku mungkin memilih terus berada di luar. Tapi, aku pun teringat fisik jika besok perjalananku masih panjang. Turun dari Wae Rebo aku harus menapaki jalan menurun ke Dintor dalam waktu 2,5 jam. Lanjut naik ojek 3 jam ke Ruteng. Untuk selanjutnya menuju Labuan Bajo selama 4 jam. Total sepuluh jam berada di jalan. Semoga tidak ada drama yang membuat psikis ku drop. Selama psikis ku tidak terganggu, Insya Allah fisikkku aman. Lelahnya berganda jika tersiksa psikis yang otomatis berimbas ke fisik.
Selamat malam, Wae Rebo. Malam ini aku merangkulmu.

No comments:

Post a Comment