Masjid Darussalam di Koh Panyi, Thailand |
Itu sebab, saat Tien mengatakan program berikutnya adalah makan siang, mataku berbinar.
Perjalanan dengan long tail dari lokasi sebelumnya ke tempat makan siang, sekira 15 menit.
Dan sepanjang perjalanan kami disuguhkan pemandangan limestone di tengah laut andaman ini. Limestone ini begitu mendominasi. Beberapa terpisah satu sama lain, ada pula limestone yang saling berdekatan. Bahkan ada limestone yang berdiri tegak tanpa teman, kontras dengan warna hitam, kuning pucat, dan hijau. Pemandangan seperti ini kurang lebih pernah kudapati di Halong Bay, dan Hue Lue - keduanya di Vietnam. Di Indonesia pun, dapat dijumpai di Raja Ampat (Papua) dan Maros (Sulsel).
Namun, pandanganku teralihkan oleh warga kuning keemasan dari kejauhan.
"Masjid?", pekikku tertahan.
Long tail bersandar di Koh Panyi untuk makan siang |
"Itu masjid?", teriakku ke Tien yang berada di belakangku.
Suara mesin kapal ternyata mengalahkan suaraku.
"Apa?", tanya Tien.
"Itu masjid?"
Kali ini dengan posisi telunjuk mengarah ke kubah bercat mas.
"Ya, itu masjid. Kita makan siang di perkampungan muslim", ucap Tien dengan suara bersaing dengan deru mesin.
Laparku hilang seketika.
"Aku harus sholat Zuhur di masjid itu", ucapku pelan.
Mengambil gambar dari lokasiku berada saat ini, ku rasa percuma. Jangkauan lensa ku tidak cukup. Di titik ini, aku butuh kamera pro atau semi pro, agar bisa menangkap pemandangan dari jauh. Tapi, rasanya cukup dengan kamera saku yang telah menemaniku sejak 4 tahun lalu - Canon Ixus.
Tien kemudian mengarahkan kami ke sebuah meja yang telah dipersiapkan untuk makan siang kami.
"Berapa lama kita disini?", tanyaku ke Tien.
"45 menit", jawabnya.
"Apa? Oke, saya mau ke masjid untuk sholat!".
"Bagaimana dengan makan siangmu?",
"Saya segera kembali untuk makan siang", jawabku meyakinkan.
Tien dan beberapa teman dari grup tur ini hanya bisa memandangiku.
"Oke, saya akan amankan makan siangmu", ucap Alex yang sejak awal tur telah akrab ngobrol.
Tak perlu berlari, cukup dengan jalan cepat ku susuri gang-gang di perkampungan ini.
Aku melupakan kata 'tersasar' untuk saat ini. Aku hanya mengandalkan ingatan visualku. Menandakan sudut belok, itu saja. Karena memang kondisi jalan di perkampungan ini banyak sekali jalan tembus. Sementara cukup buatku untuk mengingat satu arah, dan belokan saja. Ya, itu cukup untuk membantuku kembali dari masjid nanti.
"Masjid?", tanyaku ke seorang warga yang dijawab dengan mengarahkan tangan.
"Masjid?", tanyaku ke warga lainnya.
"Masjid?", kembali ke bertanya
Dan setelah 5 menit setengah berlari, aku tiba di depan masjid.
"Assalamu'alaikum", sapaku dengan nafas tersengal kepada pria paruh baya yang duduk di depan masjid.
"Wa'alaikumussalam. Jangan terburu-buru. Sholat hanya 5 menit saja, kok", jawabnya.
Kalimat terakhirnya itu, membuatku menarik nafas panjang.
Iya, tidak perlu terburu-buru. Sholat hanya 5 menit saja. Ku benamkan kalimatnya itu.
Perlahan ku mulai tenang.
Aku kemudian ke ruang wudhu. Kemudian aku pinjam sarung untuk sholat. Tersedia tiga helai sarung yang di letakkan di dekat pintu masuk. Seorang warga yang kebetulan berada di situ, menyodorkan sarung untuk ku gunakan.
Sarung coklat muda, bermotif garis lurus memanjang kebawah.
Di masjid hanya ada dua orang yang sedang sholat berjamaah, aku pun mengikutinya.
Selesai sholat, aku tidak segera beranjak dari duduk.
Ku tengadahkan kepala. Mataku menyapu pandangan ke interior masjid. Ku tak bisa hentikan untuk berdecak kagum.
Fisik bangunan masih tampak baru, beratap tinggi berhias lampu gantung. Sementara warna emas mendominasi sisi dalam masjid, pun tiang penyangga.
Sebenarnya aku segera menyegerahkan untuk kembali ke rumah makan. Namun, pria tua - ku menduga penjaga masjid - menyarankan ku untuk melihat lantai dua masjid. Ia meminta ku tanpa bahasa, hanya isyarat tangan yang mudah ku pahami.
Ia mengikutiku dari belakang, menyusul aku yang setengah berlari menaiki tangga.
Mulutku bungkam tak mampu lagi bisa berteriak.
"Ini keren!", decakku.
Sebentar aku berada di satu sisi, sesaat kemudian aku berada di sisi lain.
Andai waktu ku lama, ku ingin melihat Koh Panyi dari atas masjid ini.
Tak banyak waktu pula berbincang kepada Imam Masjid Darussalam. Tapi kepadaku, ia bercerita asal keberadaan Koh Panyi dan permukiman ini saat tahu aku berasal dari Indonesia.
Koh Panyi adalah permukiman muslim yang dibangun nelayan asal Indonesia sekitar 200 tahun lalu. Sebagai permukiman yang dibangun di sebuah limestone, tak heran sebagian besar berdiri di atas air. Sehingga disebut juga permukiman terapung.
Hanya bagian kecil limestone saja yang digunakan untuk membangun masjid. Sedangkan sisa wilayah permukiman berdiri di atas air. Perumahan warga pun dominan terbuat dari kayu.
Uniknya, meski Koh Panyi tidak begitu luas, namun kehidupan sosial masyarakat tidak beda dengan permukiman kebanyakan. Ada juga sekolah, lapangan bola, dan tentu saja Masjid. Dan meski mata pencaharian utama sebagai nelayan, namun industri pariwisata juga memberi dampak ekonomi warga. Banyak ditemui toko cinderamata di sini, selain restoran terapung sebagai salah satu atraksi wisata. Salah satu cara termurah menuju Koh Panyi bisa dengan bergabung dalam open tur James Bond Island. Karena Koh Panyi termasuk dalam program.
Aku lepas sarung dan melipatnya.
Selfie dengan imam masjid |
Imam dan penjaga masjid kemudian meninggalkan masjid.
Ternyata mereka memperpanjang waktu keberadaan mereka di masjid hanya untuk menungguku selesai ibadah sholat Zuhur.
Perjalanan hari ini lengkap. Selengkap menu yang masih tersaji rapih di atas meja makan. Dan aku pun tak perlu segerakan makanku.
Perjalanan pulang tertunda, menunggu hujan reda. Alhamdulillah.
No comments:
Post a Comment