Dua bulan waktu yang aku perlukan untuk persiapan perjalanan ini. Mulai dari pembelian tiket pesawat, rute perjalanan, pesan kamar, hingga membaca sejumlah catatan perjalanan teman-teman yang pernah melintas di sepanjang rute yang aku buat, yaitu Singapura - Johor Bahru - Melaka - Kuala Lumpur - Penang - Jakarta.
Dengan rute pesisir selat Melaka itu, rasanya tidak maksimal jika hanya ditempuh dalam 4 hari saja. Dengan alasan itu, plus tantangan dari teman, aku pun memutuskan untuk lanjut ke Penang (Melaka tujuan akhir semula). Total 6 hari.
Dan mulai lah secara intensif 3 minggu melakukan riset. Ini perlu untukku mengenal lebih dalam kota-kota yang aku tuju melalui bacaan. Semuanya bersifat teknis. Mulai dari jarak tempuh antar kota, moda transportasi, biaya, jadwal bus, jadwal terbang, sampai urusan komunikasi. Hey, I'm so blind. Semua informasi itu aku perlukan.
Sampai kemudian, dengan tas ransel seberat 4 kilogram, berisi perbekalan selama berkelana, aku bebankan dibahu dan punggung. Berat? Ya iyalah. Aku sampai memutar otak, agar saat pulang nanti, beban bawaanku tidak seberat saat aku pergi. Itu sebabnya, aku beringsut ke pasar poncol senen, untuk mencari baju-baju bekas pakai. Jadi, sekiranya, telah usai pakai, aku bisa langsung membuangnya. Tapi, ternyata....ahahahah gak perlu aku lanjutkan lah. Justru baju-baju seharga 15K IDR itu jadi favorit ku hingga kini.
Yang jelas, Aku begitu bersemangat untuk perjalanan kali ini. Tapi kenapa sendiri? Entah, aku tak bisa jawab tiap pertanyaan yang diajukan, terkait tipe traveling yang aku lakukan. Meski, misi utama yang aku lakukan adalah belajar mengusai diriku sendiri. Mengusai ketakutan, menaklukan diri kala berteman sepi, dan memenangkan komitmen diri kalau aku bisa. Berlebihankah?
Setelah menyusuri selasar yang cukup jauh. Akhirnya aku sampai di antrian imigrasi. Dan ini, sudah membuatku cukup stres. Antri pada barisan imigrasi, sebenarnya bukan hal yang menyenangkan. Apalagi jika melihat rawut muka para petugas yang tidak terlihat ramah. Harus begitukah? Selalu menatap dengan kecurigaan? Aku yang ditatap begitu lekat langsung merasa terintimidasi. Meski aku bersih, rasanya tatapan itu seakan aku seorang kriminal.
Menarik nafas dalam, ini ujian pertama, bisikku dalam hati. Walau bagaimanapun, proses imigrasi harus dilewati. Tenang. Senyum, dan aku menang mengusai diri saat itu.
'Yes, mam, saya hanya transit di Singapura untuk beberapa jam, sebelum lanjut ke Malaysia.' Begitu kira-kira jawabanku saat ditanya, motivasi datang ke Singapura.
Meski bukan kali pertamanya melewati imigrasi, tapi, selalu ada keraguan untuk bisa menembusnya. Ngeri.
Heran aja, jika para penyelundup narkoba, begitu tenang melewati imigrasi, sementara yang lurus-lurus saja, masih diselimuti ketakutan. Please, kalian itu kan orang pertama yang ditemui para traveler, ramahlah dirimu petugas imigrasi.
Keluar dari bajet terminal, langkah berikutnya adalah mencari shuttle bus ke terminal 2, untuk kemudian melanjutkan perjalanan ke tengah kota dengan MRT. Sejauh ini, apa yang aku baca, hasil dari riset perjalanan yang aku lakukan sesuai dengan situasi.
Mmmm Singapura, kali pertama, jika dianggap pernah, sebenarnya pernah singgah di Changi di tahun 2004, saat Emirates transit sebelum penerbangan dilanjutkan ke Roma. Tapi, yang ini beda suasananya. Pastinya.
Hey, tarik nafas dalam, ini udara Singapura sesungguhnya. Dan tidak perlu mahal untuk kembali lagi ke sini. Tiket seharga 22 SGD telah membawaku. Yup, aku salah satu pemburu tiket murah. Lol
Dan, rasanya menyenangkan dan teramat tertolong dengan keberadaan rambu-rambu di sepanjang jalan. Apalagi saat masuk ke Terminal 2. Ini memudahkan bagi siapapun yang kali pertama ke negara ini.
Earphone yang biasanya selalu aku jadikan sumpel telinga, sebagai pembunuh sepi, kini rasanya menjadi musuh nomor wahid. Aku tidak hanya perlu sekedar manjakan mata, paru-paru, dan hati, tapi aku juga perlu manjakan telinga, meski hanya sekedar mendengar suara-suara. Baik deru mesin mobil, orang-orang bercengkrama. Coba. Ini beda. Dan bisa menjadi pengalaman tersendiri.
Oke, MRT di depan mata. Berdasar apa yang kubaca, EzyCard memudahkan traveler mengatur bajet perjalanan selama di Singapura, cukup dengan 12 SGD. 12 SGD itu, 7 SGD untuk transport, sisa 5 SGD, yang tidak bisa refund. Buat apa coba simpan kartu magnet? Lagipula untuk berhemat, aku bisa lakukan cara ekstrem. Meski kartu valid hingga 5 tahun, sejak tanggal pembelian, lantas apa?
Ya ya ya ya dan ya, tidak mudah untukku membuat keputusan segera. Beli? Atau cukup dengan 1 single trip?
100 SGD yang aku bawa, yah, ga juga harus aku habiskan di kota ini. Aku benar-benar perhitungan. Pokoknya, bekal saku yang aku pegang, juga ada 500 RM. Kalo pun kurang, aku berencana untuk ambil cash di ATM. Hemat!!! Hemaaaaat!!!
Untuk menuju ke Bugis dengan perjalanan single trip, dikenakan biaya, 1,3 SGD. Tapi, kena biaya kartu magnet 1 SGD, total 2,3 SGD. Transaksi dilakukan hanya di mesin tiket automart. Lain halnya, jika membeli ezycard, yang bisa dilakukan di teller. Sesampainya di lokasi tujuan, uang 1 SGD ini bisa di refund. Lain halnya jika usil mau simpan kartu magnet. Nakal? Gak lah, ngapain juga, bukan sesuatu yang harus dijadikan memorable.
Di Singapore, aku berencana untuk melakukan perjalanan singkat, sebelum lanjut ke Johor Bahru saat jelang sore. Itu lah sebabnya, aku sengaja turun di Bugis, karena dekat dengan beberapa kawasan komunitas, setidaknya itu yang ada di pikiranku, dan apa yang telah aku baca.
Oke, isi perut dulu. Dan KFC yang jadi pilihan. 5,8 SGD, 2 potong ayam, burger, kentang, dan coca cola. Aku cuma ga mau ribet dgn pilihan sana sini. Praktis sajalah. Lagian, tujuanku jalan-jalan, bukan manjain perut, tapi manjain mata. Meski banyak banget sih tenant makanan di Bugis stesen ini.
Next, perlu aku cari paracetamol. Ya, saat berangkat, bahkan sehari sebelum berangkat, aku sudah terserang demam. Ga asik banget!!! Sumpah!!! Rasanya....ah sudahlah, aku harus sukses dalam perjalanan ini. Mampirlah aku ke apotek. N beneran ga banget. Kali ini habis 12 SGD, karena selain beli paracetamol, aku juga beli vitamin C.
Dan kesuksesan selanjutnya adalah tersesat di Bugis stesen. Ga tau jalan keluar. Terlalu banyak arah, yang akhirnya memutar-mutar. Dicoba dibawa asik, nyatanya ga berhasil. Panik. G! Phobia muncul. Rasanya ingin teriak. Tak banyak orang bisa bantu. Tanya orang, jawabnya ke sana. Tanya orang lainnya, jawabnya ke situ. Sampai bosan tanya arah dalam bahasa Inggris, aku pun give up, tanya dalam bahasa Indonesia. *tarik nafas
No comments:
Post a Comment