Kurang lebih
sepuluh menit, kasak kusuk mencari jalan keluar, akhirnya ku temukan,
tangga ke atas yang benar-benar jelas mengantarku menghirup udara bebas.
Lebay? Terserah lah, menganggapnya seperti apa, yang jelas, amat sangat
tidak nyaman, berada di ruangan yang baru kita tahu, dan kemudian
sukses tersesat.
Turun di Stasiun MRT Bugis, berarti berada di Bugis
Junction dan terdapat jalur langsung ke pusat belanja. Yup yup yup, aku
telah menyadarinya. Peta memang memberikan penjelasan yang sungguh
teramat jelas. Namun tetap saja saat berada di medan sesungguhnya,
gagap. Telat berpikir untuk membekali diri dengan kompas. Yes, kompas.
Next trip, kompas adalah hal yang paling penting, dibandingkan ganti
celana dalam tiap hari.
Sudahlah, tujuan ku
selanjutnya adalah Merlion. Jangan tanya lokasi dan bagaimana aku
mencapai lokasi favorit para turis ini. Pelayan restoran mengatakan, "tiga kali perempatan arah selatan. Kemudian, ada gedung besar belok kiri, telusuri jalan itu".
Baik sekali pelayan itu mengarahkanku, sampai harus keluar restoran.
Tangannya pun merasa perlu memberi aba-aba dan pengarahan. Berkali-kali
pula meyakinkanku, apakah aku paham dengan penjelesannya.
Ucapannya,
mirip sekali saat aku ditanyakan arah jalan oleh orang yang tersesat
saat di Jakarta. Bayanganku, lokasinya.....? Aku nggak tahu seberapa
jauh, dan yang penting berapa lama aku bisa mencapai lokasi itu. Aku
terus-terusan kalkulasi waktu, karena aku juga nggak mau lewati
perbatasan jelang malam. Alasannya lebih karena nggak nyaman. Dan juga
karena tidak biasa. Takut gelap? Nop lah.
Setelah susuri jalan 30
menit, baru aku menyadari aku tersesat. Damn, so lost. Lost in
Singapore, Nggak keren lah. Mengasihi diri dan terus berjalan. Bertanya
kebeberapa orang, entah
warga lokal atau asing. Ngga beda. Di sini campuran. Jadi aku sendiri
ngga bisa bedain, siapakah warga lokal? Beruntung pedestrian di
Singapura teramat nyaman. Jika lanjut naik MRT, justru tambah bingung,
baiknya memang jalan kaki saja sih. Kalo pun merasa tersesat yah...nasib
Bukan
aku, jika kemudian tidak menemukan jalan yang aku mau. Petunjuk jalan
teramat jelas di sini. Hanya saja aku yang gagap, yeaaaa gagap.
Segagap-gagapnya. Dan terus berusaha menyemangati diri, agar tidak drop.
Hey, i’m #solotraveller, kalo lagi drop mental, siapa lagi yang akan
bisa membangun kembali semangat itu. Dan ku pikir, itu adalah salah satu
tantangan sebagai #solotraveller.
Satu orang terakhir yang aku tanya di mana Merlion berada justru menjawab, "Marlion di tutup saat ini, tapi Anda masih bisa melihatnya dengan kondisi berbeda".
Ow
ow, Marlion di tutup? Bukankah itu patung besar yang tingginya hampir 9
meter dan beratnya sampai 70 ton? bagaimana bisa tutup? Dan apa
maksudnya dengan kondisi berbeda?
Hingga kemudian, oalaaaaah, jalan jauh-jauh hanya melihat kondisi Merlion tertutup.
Dan ternyata, kondisi ini karena Singapore sedang menyelenggarakan
pameran selama kurang lebih sebulan. Dan salah satu obyek pamerannya
adalah dengan membuat hotel, seolah-olah Merlion tinggal di dalam hotel
itu.
Aku tidak segera masuk ke dalam “hotel” itu, meski gratis
sekalipun. Duduk di tepian dermaga adalah pilihan yang tepat saat ini.
Istirahat. Dan berada di lokasi ini, aku seperti berada di negara
filipina, sekejap kemudian berada di Thailand. Ya, kalau selama ini aku
dengar aksen Thailand di film, kini, aku bisa dengar langsung, bagaimana
turis asal Thailand itu berkomunikasi dengan sesamanya. Begitu pun
turis asal Filipina. Niat ke kawasan pecinan dan arab, sudahlah dibuang
jauh-jauh, fokus dan fokus ke Merlion.
Area ini juga memiliki sebuah
tanjung dengan teras tempat duduk dan sebuah dek untuk menonton yang
sanggup menahan sampai 300 orang, serta sebuah tempat pendaratan kapal
sehingga pengunjung dapat
turun dari taksi kapal. Dek ini memberi panorama sang Merlion yang
terbaik bagi para fotografer, dengan latar belakang cakrawala kota dan
Marina Bay yang indah, termasuk gedung-gedung landmark seperti The
Fullerton Singapore dan Esplanade – Theatres on the Bay.
Kesal
lantaran Merlion tidak dapat dilihat secara utuh, aku memutuskan untuk
sudahi perjalanan ku di Singapura. Memilih segera menyebrangi
perbatasan. Istirahat di TuneHotels Johor Bahru, Malaysia. Yup, aku cuma ingin istirahat, dan sesegera mungkin tiba.
Lalu
pikirku bingung, lebih praktis dari stasiun MRT manakah untuk ke
terminal bus? Bugis Junction, atau mencari stasiun MRT terdekat.
Logikanya memanglah harus yang terdekat.
Peta aku buka. Dari posisi ku di Esplanade, yang terdekat adalah Raffles Place. Aku pun sesegera ke sana.
Dari
informasi yang aku baca, untuk mencapai perbatasan, aku harus naik MRT
ke Kranji atau ke Woodlands. Nah, sampai pada titik ini, aku membiarkan
kebingunganku mengalahkanku. Mana yang lebih praktis, turun di Kranji
atau Woodlands?
Posisiku kini, berada di depan loket, bertanya kepada
kasir. Dan dia bingung atas pertanyaanku. Yang dia bisa jawab, hanya
dengan satu kata, “same. Same”.
Baiklah, sambil ku menarik nafas dalam. Orang kedua yang aku tanya pun,
setali tiga uang pun juga bingung menjawab pertanyaanku. Usut punya
usut ternyata dia juga turis.
Jam 16:25, ya aku harus sesegera
mungkin mencapai perbatasan. Karena aku nggak tahu seberapa lama proses
imigrasi, keluar dari Singapura, dan kemudian masuk ke Malaysia via
Johor Bahru.
“Kamu bisa naik MRT,
kemudian turun di Kranji. Di terminal Kranji banyak bus. Itu lebih mudah
untuk kamu melanjutkan perjalanan ke Malaysia”, begitu jawab seorang pria yang aku tanyai. “Baiklah. Terima kasih”, balasku.
Selang
beberapa detik, ia pun berbalik membelakangiku, begitu pun aku, yang
kembali masuk barisan untuk antri beli tiket MRT. Tapi tidak berapa lama
kemudian, ia menghampiriku, “Kamu bisa ikut saya ke Johor Bahru. Tapi, kita harus ke Changi, karena saya parkir mobil saya di sana. Karena saya pun ada tujuan ke sana. Rumah saya di Johor Bahru”.
Sontak
aku kaget, dan cuma bisa diam. Entah harus jawab apa. Mengiyakan
tawarannya atau melepaskan rejeki ini? Walau bagaimanapun, sosok pria di
depanku ini adalah orang asing. Aku nggak bisa begitu saja menerima
tawarannya. Well, heloooo.... ya takutlah. Aku mentaksir usia pria ini,
kira-kira 29-an tahun. Dari perawakannya yang kurus, dan cara
berpakaiannya, dia masih kuliah, atau setidaknya telah bekerja. Cuma itu
demografi dan profil yang ku dapat dari....baiklah, dia bukan seorang
pria. Lebih pas, dia seorang pemuda.
“Bagaimana?”
tanya dia mengulangi tawarannya. Kali ini, aku menatap matanya. Entah
apa yang menggugah keyakinanku, hingga aku pun meluluskan akan tawaran
baik dari pemuda di depanku ini. Aku menerima tawarannya untuk
bersama-sama melewati perbatasan dengan mobilnya.
“Baiklah, saya ikut kamu”.
No comments:
Post a Comment