Aiiiiiiiiiih masih gelap bener. Waktunya salah nih. Celingak celinguk,
sepi. Bengong di depan pintu. Beneran masih sepi. Swear, aku nggak
bohong. Dingin? Nggak sih, tapi laparnya pasti.
Widiiiiih McD 24 jam itu membuat pandangan nggak kemana-mana.
Sumpah, aku suka banget dengan posisi hostel ini, strategis bener.
Hidup seolah berada di tengah-tengah peradaban, yaitu peradaban kuno
dan modern. Tapi, kaki lebih memilih melangkah ke Seven Eleven, 5 meter
dari hostel. Roti dan air kemasan ukuran 1,5 liter. Hey, aku sudah
mandi shubuh tadi.
Aku pun balik ke kamar, dan menyendiri. Menyusun rencana perjalanan berikutnya di kota ini.
Kalau kemarin, sisi kanan sungai Melaka, maka hari ini adalah sisi
kirinya. Dimana banyak bangunan tua Islam. Yup, berdasar pengamatanku
sih seperti itu. Dan sisi kiri sungai juga banyak tinggal penduduk
lokal. Dan aku tahu, perjalanan hari ini beneran yang super lama,
seharian penuh. Jonker Walk salah satu tujuan.
Kelar sarapan nasi goreng putih teri medan, plus ceplok telor, aku
melengkapi sudut kota sisi kanan Melaka yg kemarin belum rampung.
Berbekal peta dan info warga lokal, aku susuri tiap jalan, dan gedung
tua. Pagi itu, depan Christ Church sudah banyak turis asing. Dan yang
menjadi favorit mereka, tentu saja naik becak khas Melaka, dengan
iringan lagu Wali. *kalem
Kalau sejak awal perjalanan aku berusaha untuk berbaur di tengah keterasingan, maka
yang ku lakukan selanjutnya adalah membantu, turis remaja dari
filipina yang kesulitan mengabadikan kebersamaan mereka di reruntuhan
gereja di St. Paul Hill. Aku sebenarnya yang menawarkan bantuan. Hey,
aku ngerti betapa berharganya moment itu, dan rasanya kalau satu orang
bertugas mengabadikan itu, berarti orang itu mengorbankan diri untuk
temannya. #hug
Oh yah, di salah satu bagian dalam gereja itu, entah kapan mulainya
ada lubang, sepertinya sih sumur. Nah, orang-orang suka buang uang ke
dalamnya. Beberapa langsung masuk
ke dalam sumur, beberapa di antaranya tertahan di jeruji penghalang.
Tebak, aku berada di bagian yang mana? Aku sendiri nggak tahu apa
akibat dari tradisi itu. Ngga ada yang bisa ditanyain sih. Aku kemudian
menyebrang ke sisi lain sungai, menelusuri dan mencari masjid-masjid
tua. Memasuki kampung pecinan, melihat aktivitas warga lainnya. Dan ini
yang unik, simple memang, bagaimanakah warga lokal memenuhi kebutuhan
hidupnya, memasak misalnya. Dan, aku menemukan sebuah rumah yang
menjual sayur mayur. Cool, hein. Aku sempat mengabadikannya, tentunya
seijin pemilik warung.
Aku juga sempat tanyakan ke pemilik warung nasi Bukittinggi,
darimana mereka mendapat sayur mayur untuk keperluan berdagang.
Jawabnya, ke supermarket. Mmmmm.
Nah, karena kawasan
ini, banyak terdapat persimpangan jalan, maka aku pun sukses tersesat.
Maksud ingin mempersingkat jalan, nyatanya justru aku semakin menjauh.
Capek. Ya sudahlah, sekalian aja, acara kesasar ini, menjadi bonus di
luar rute yang seharusnya.
Asyiknya adalah, aku pun menelusuri sungai Melaka. Widiiiiih, aku harus nyobain
naik perahu ini di malam hari. Banyak referensi dari traveller
lainnya, kalau harus masukin acara malam dengan perahu di daftar
tujuan. Tapi, harus malam.
Sementara nunggu malam, dan harus sholat jum'at, aku kembali ke hostel untuk mandi. Kemudian bergegas ke warung bukittinggi. Bukan untuk makan, tapi minta informasi lokasi masjid terdekat.
Dan tanpa aku duga, pemilik warung itu, justru mengajakku untuk
bersama dengannya pergi ke masjid terapung. Aku yang memang ingin
jalan-jalan agak jauh dari pusat kota, akhirnya kesampaian juga.
Gilaaaaaaa, aku suka.
Teramat sukanya, aku sampai hampir netesin air mata. Hampir yah. Haru bisa sholat Jum'at di negara orang.
Selain memang lokasinya di tepi pantai dan
dikondisikan seperti masjid terapung. ada yang unik yang bisa aku bawa
ke Jakarta. mereka memperhatikan jamaah yang tuli. Yup, pada saat khotib khutbah, ada proyektor yang dipantulkan
ke dinding, sehingga, meski jamaah yang tuli tidak mendengar, mereka
masih bisa memahami dan tahu isi khotbah si khotib. Sejauh ini, aku
tidak melihat layanan yang diberikan masjid di Indonesia. Mohon koreksi,
kalau nyatanya ada.
Dan berdasarkan ide gila, dan secara semua titik turistik kota tua
di Melaka sudah disinggahi, kini waktunya untukku, memanjakan diri
dengan cara lainnya, yaitu, nonton di bioskop. Yihaaaaaa
Thorn I’m coming.
Jauh-jauh ke Melaka Cuma untuk nonton ke bioskop? Well hello,
Aku ke Melaka Parade. Dan nonton di sini ternyata aku juga menemukan ilmu baru terkait dengan pajak perfilman. Nah, kan.
Jadi, kalau di Indonesia, besaran harga tiket masuk yang dibayar
oleh penonton adalah hanya jumlah totalnya saja. Nah, kalau di Melaka,
entah itu berlaku di Malaysia atau tidak, mereka, merinci bayaran yang harus dibayar oleh penonton. Komponen itu terdiri dari Harga awal, surcharge, tax. Nggak tahu deh kenapa di Indonesia tidak bisa diterapkan hal seperti ini.Ada
ilmu dan ada yang bisa dipelajari ternyata saat travelling ini, dan
tidak hanya melulu tentang wisata budaya, tapi juga buaaaaanyak. Like
it.
Sebenarnya ada satu momen yang kemudian membuat aku drop usai nonton film Thorn. Bukan karena filmnya, tapi #nomention lah. Hiks.
Arrrrrrrrgh
Aku nggak mau sedih, kalau sedih maka rugilah aku pergi jauh-jauh
cuma untuk nangis. Pokoknya aku harus senang-senang. Bagaimanapun
caranya, yang penting halal. Mmmmm ada satu kalimat sih yang kerap
menjadi mantra penyembuh mood kalah drop, "Kalau sedih di luar kota,
berjalanlah, karena yakinlah, kota itu punya cara sendiri untuk
menghiburmu".
Dan cara ku selanjutnya untuk menghibur diri adalah duduk di tepian
sungai Melaka, dan menunggu malam, untuk selanjutnya menyusuri sungai
dengan Melaka River Cruise.
Huh, ini akan menjadi pelengkap aktivitas berlibur ku seharian di
Melaka. Tidak mengapa seorang diri sekalipun. So far, cukup, bahkan,
teramat menyenangkan. Waktu tempuh 45 menit pulang pergi dengan waktu
tempuh 9 kilometer, cukup membunuh waktu, hingga aku beneran lelah.
Tapi, mana bisa segera tiduuuuuur? di depan hostel ada bazar. Masih
ada sejumlah ringgit sih, tapi yah, masa harus belanja ini itu.
Oleh-oleh? Mmmm aku cukup beli baju untuk nyokap saja dengan pilihan
motif yang membuat aku mati gaya. Gak jauh beda dengan di Indonesia. Aku
beli baju pun tidak dengan oleh-oleh lainnya. Mengingat, perjalananku
masih 3 hari lagi. Jujur, akan terbebani dengan membawa oleh-oleh
berukuran besar, sementara tas ku saja sudah sesak.
Jadinya, aku cuma beli air minum kemasan, dan sedikit makanan. Aku
ngantuk, dan harus segera tidur, karena besok pagi-pagi sekali bus
menuju Kualalumpur akan berangkat jam 7 pagi.
No comments:
Post a Comment