Sunday, January 13, 2013

Hilang Rute Menuju Pariaman

Jujur, kecewa saat tahu, perjalanan jauh ke Bunguis tidak mendapatkan gulai kakap. Gulai jengkol pun tetap membuatku bergeming. Tidak tergoda. Mati rasa. Makan pun hanya sekedarnya. Mungkin, memang perjalanan ini tidak memberkatiku untuk mencicipi makanan khas masing-masing daerah. Apapun itu, lewat. Padahal, sejak pagi tadi, perutku belum pula ku isi nasi, kecuali sate padang di lapangan Imam Bonjol siang tadi.
Jam 5, mengejar waktu ke Padang Pariaman. Tawaran berikutnya adalah mengunjungi situs Syekh Burhanudin, entah apalah itu. Blind Traveler, aku ikut aja. Estimasi waktu 1 jam tiba di lokasi. Dengan kondisi jalan track lurus, maka akan jauh lebih cepat. Itu asumsiku saja. Ternyata, jalan yang ku lewati adalah berbalik 180 derajat. Truk besar, kontainer, saling salip. Diriku rasanya kecil banget di antara antrian di jalan. Pasrah. Namun, rasa ingin tahuku dan jiwa petualangku mengalahkan ketakutan dan resiko yang aku hadapi.
Belum separuh jalan, gerimis. Sialnya, aku tak bawa rain coat untuk ransel. Sudah beli beberapa waktu lalu, hanya saja, ku lupa posisi terakhir, saat perjalanan ke Semarang awal januari. Bukannya mereda, gerimis justru berganti hujan. Terus bergantian. Kami putuskan untuk menepi. Ransel yang awalnya aku letakkan di punggung, ku pindah ke bagian depan motor. Fauzan, sepupuh temanku itu, ber jas hujan, sementara aku tidak. Jaket? Ah sudahlah. Lepek? Logis terjadi. Berkali-kali aku tanya, seberapa jauh lagi mencapai lokasi, jawabnya 3/4 jam lagi. Oke, untuk kedua kalinya kami menepi di sebuah warung, entah di jalan apa namanya. Berteduh, sambil recharge batere hp yg sekarat. Beberapa menit, cukuplah untuk bb bisa bertahan hingga kembali nanti. Dan di warung inilah, untuk pertama kalinya ku minum teh taluah. The yang dicampur telur bebek, plus susu. Jangan tanya aromanya seperti apa. Lupakan itu, langsung tenggak aja. Katanya sih berkhasiat untuk sehat lelaki dan meningkatkan gairah. Gairah apa? Skip
Jam 6:15, perjalanan kami teruskan. Hujan mereda. Langit cerah, meski menuju gelap. Plang penunjuk arah ke situs tampak. Semangat pun kembali timbul. Namun, setelah 30 menit berkendara, urung tiba. Langit pun gelap. Gerimis kembali turun. Entah sampai atau tidak nih perjalanan. Buatku tak masalah jika kemudian menelusuri jalan dalam kondisi basah seperti ini. Tapi, jika harus melewati jalan tanpa penerangan sama sekali, baca: gulita, plus hanya terdengar raungan motor kami. Oke, cukup. Perjalanan ini sudah tidak lagi menyenangkan. Takut? Jujur iya. Siapa yang tidak? Apalagi jika baru kali pertama menginjakkan kaki di sebuah daerah.
Sepertinya sudah 30 menit lewat, belum juga tiba. Dalam hati, 'Tuhan, aku pasrah jika ku tak capai tempat itu, yang penting segera kembalikan aku ke Padang, karena aku ingin sudahi perjalanan ini'.
Jalan layang itu mestinya terang, tapi ini gelap. Gerimis. Dan ku pikir, lepas jalan layang itu, ku akan melihat pemukiman. Nyatanya tidak. Motor berbelok ke kanan. Langit di sekitar kian pekat. Satu-satunya penerang, hanya lampu motor. Satu-satunya yang memecah kesunyian hanya mesin motor dan perbincangan, antara aku dan Fauzan.
Satu kilometer kurang lebih, kami lalui jalan beraspal, sisanya jalan becek dan berbatu. Lengkap dengan pangkalan truk. G, aku dimanaaaaaaa??? 'Kalau masih di Sumatra Barat, masih aman lah', cukup melegakan kalimatnya. Pandanganku kemudian tertuju pada meteran bensin. Tiris. Lengkap. Gimana jadinya, kalo kehabisan bensin di tengah jalan seperti ini.
Waktu maghrib terlewati, karena memang sejauh perjalanan, kami tak menemukan masjid. Ini malam jum'at loh. Waduh
Setelah sekian kilometer kami lalui, kami putuskan untuk mampir ke Masjid, sekalian berteduh. Entah di mana. Blind Traveler.
Masjid tidak seberapa penuh. Jamaah pria hanya 3 orang warga lokal, dengan beberapa jamaah wanita di belakangnya. Mereka semua menatap kami. Kami segera berlalu ke temnpat wudhu. Aku yang saat itu bercelana sedengkul, mengeluarkan sarung dari tas ransel. Sarung ku dapat, sambil menarik nafas panjang, 'bajuku basah semua, Tuhan'. Getir
Tidak berapa lama, Qomat. Aku mencari posisi sholat di tengah. Yang aku rasakan saat itu, 'aku seperti musafir'. Sholat di tengah perjalanan, di kampung orang. Nikmat banget rasanya.
19:30, Fauzan berkata jujur, 'pikiranku setelah sholat seperti terbuka. Sebelumnya gelap. Aku kesasar.' Ok, itu sudah cukup menjelaskan, bagaimana kami rupanya hanya berputar di sebuah lokasi, tanpa kejelasan arah. Alhamdulillah, 45 menit kemudian, kami tiba.
Masih dalam keadaan gerimis. Sepi lokasi itu. Situs Syekh Burhanuddin, situs cagar budaya, di kabupaten Padang Pariaman. Aku tiba juga.
Aku tidak banyak bicara. Lelah perjalanan, meski duduk diboncengan tetap membunuhku. Seorang warga lokal, menghampiri kami. Ia bilang, tempat ini pada hari rabu penuh, hingga sesak. Rupanya situs ini, menjadi tujuan ziarah warga lokal, maupun di luar kabupaten.
Di antara bangunan baru, masih jelas bentuk bangunan lama, termasuk bentuk nisan batu bersegi lima. Segi lima? Entah kebetulan atau memang dikondisikan. Ini mengundang keinginantahuanku.
15 menit berada dilokasi, kemudian kami putuskan kembali pulang. 45 menit kemudian, kami tiba di rumah Fauzan di Tabing. Yup, 45 menit.

No comments:

Post a Comment