Friday, January 18, 2013

Mencari Tukang Jahit di Bukittinggi

29 Januari '11, sabtu jam 10:45 aku akhirnya, menjejakkan kaki di Bukittinggi. Gerimis.
Suasana basah seperti ini mengingatkanku pada satu kota lain. Apalagi saat aku kemudian menyusuri jalan mendaki dan basah. Aku merapat ke trotoir di mana mobil-mobil parkir di bahu jalan. Berjajar pula ruko-ruko yang menjajakan beragam buah tangan, makanan, kantor bank, depstore, restoran cepat saji. Ada yang khas, dan aku suka suasana ini. Suasana berbeda justru berkaca dengan penampilanku, celana panjang kargo, topi kupluk, sendal gunung, plus ransel. Cool, hein??!!???!!!
Aku telepon Amfrezer, teman kontributor kantor yang bermukim di kota ini. Aku menunggunya di..... ah, sebenarnya aku paling fasih menentukan arah mata angin, entah kenapa saat itu, aku lepas kendali dan lupa arah mata angin. Titik pertemuan yang aku syaratkan di depan gedung pertemuan, dan memang gedung itu satu-satunya yang berada di sekitar Jam Gadang.
G, Jam Gadang!!!!!!!
Alhamdulillah, akhirnya aku melihat landmark kota ini. Megah. Ibarat alun-alun kota, maka di sini banyak sekali wisatawan lokal yang menghabiskan waktunya untuk bersantai, foto-foto, dan sekedar ngobrol.
Tapi, aku tidak bisa berlama-lama di titik pertemuan ini. Setelah bertemu Amfrezer, aku harus segera ke tukang jahit. Ya ya ya ya, celana kargo ku, robek se robek-robeknya pada bagian selangkangan. Robek terparah terjadi saat aku turun dari mobil travel. Dan aku tidak bisa berbuat banyak, kecuali harus segera menjahitnya. Am memberikanku petunjuk dimana harus mencari tukang jahit, dan ia belum dapat menemani keliling kota Bukittinggi karena ada tugas liputan.
So key, I'm fine.
Jadilah aku kemudian ke pasar. Sesuai petunjuknya aku mencari tukang jahit di sudut pasar lantai 2. Tukang jahit kutemukan. Permasalahan berikutnya adalah bagaimanakah caranya aku bisa lepas celana? Letak wc jauh. Sementara, tukang jahit yang kutemukan, tidak memiliki ruangan khusus. Mereka berjejer di luar kios. "Pake sarung saja, lepas di sini", saran tukang jahit sambil memberiku sehelai sarung. Ide yang sama sekali tidak terlintas di benakku.
Tanpa sungkan, dan nggak penting berpikir panjang, aku pun mengiyakan saran tukang jahit. Cukup kikuk melakukannya, maklum saja, namanya juga pasar, jadi banyak orang hilir mudik. Tapi, bukan Adhie namanya kalau tidak percaya diri dan cuek.
Beberapa menit ke depan, aku duduk manis bersarung hijau. Tanpa banyak tingkah. Sejurus dua jurus, jahitan pun selesai. Ku keluarkan selebaran uang lima ribu rupiah sebagai ongkos jasa. Aku ngga tahu standar upahnya berapa. Mau kasih sepuluh ribu, kebesaran juga. Lagian aku kan backpacker. LoL
Selanjutnya, city tour pun dimulai. Berbekal peta wisata yang aku peroleh di kantor wisata Bukittinggi, aku siap menyusuri lokasi-lokasi wisata. Apa yang aku baca, memang sejurus dengan yang aku alami di sini. Yup, lokasi wisata di sini, saling berdekatan. Cukup jalan kaki saja. Oh yah, aku perhatikan juga, Bukittinggi ini siap banget dengan layanan wisata yang dimiliki. Terbukti dengan tersedianya kantor informasi wisata. Jadi, memudahkan wisatawan yang berkunjung. Mirip layanan wisata di beberapa kota di luar negeri. Layananya pun ekstra ramah. Salut deh!!!
Seperti di kota-kota sebelumnya, banyak pula yang menanyakan keberadaanku di Sumatra Barat. Entah, apalagi yang harus ku jawab. Dominasi ekspresi mereka sih, kaget aja dengan cara liburan yang aku jalani. Intinya mereka respek lah. Dan itu memudahkan aku berbaur dengan warga lokal. It works. Yang penting senyum. Bahasa yang sejuta orang akan pahami.
Setidaknya aku temukan tiga kelompok wisatawan asal Padang yang berkunjung ke Bukittinggi. Nah, dengan ketiganya lah aku kemudian ikut mereka. Asik aja. Seru. Padahal kenal pun baru. Tapi, suasana begitu cair. Lepas. Terutama saat mengunjungi Benteng Fort de Kock. Dengan mereka, aku naik hingga ke tingkat tertinggi, dan foto bareng. Hahahahahah. Meski liburan sendiri, aku nggak pernah merasa sepi. Selalu menemukan teman-teman baru yang menyenangkan. Yihaaaaaaaa!!! Thnx to you, God.
Peta wisata di tangan, kalau meragu akan arah tujuan, bertanyalah. Telinga ku sumbat dengan ear phone. Playlist dari Ipod sontak menghibur diri saat menapaki jalan menurun arah Panorama, di mana terdapat Ngarai Sianok dan Goa Jepang. Ke berada di perempatan. Ku tanya pada beberapa tukang ojek, yang dijawab dengan isyarat tangan menuju kiri. 5 menit lagi dengan berjalan kaki.
Kota ini sungguh bersih. Tenang. Enak untuk istirahat atau sekedar hiburan. Apalagi, nggak cuma wisata alam yang tersedia, tapi juga wisata sejarah. Sepanjang jalan menuju Panorama pun, di sisi kiri, berjajar rumah-rumah berarsitektur eropa. Skala 1 - 10, kebahagiaanku pada skala 9. Apalagi saat aku kemudian berpijak pada tepian bukit, di mana aku memandang lepas Ngarai Sianok. Ask me how I felt when I was there, please!

No comments:

Post a Comment