Sunday, November 23, 2014

Menembus Perbatasan Tachileik - Myanmar (Part 2)

Depan boarder - RB
Di terminal hanya ada 2 kendaraan menuju Mae Sai, kota terluar Thailand dekat perbatasan Myanmar. Yaitu, minivan milik perusahaan Greenbus dengan 15 penumpang berpenyejuk ruangan. Tarif 60 baht dan dapat dibayar langsung ke sopir. Minivan ke Mae Sai ini berangkat 30 menit sekali dengan satu setengah jam durasi perjalanan. Minivan ini juga bisa menaikturunkan penumpang di sembarang lokasi, tergantung ketersediaan tempat duduk.
Ada juga bus tiga perempat semacam Kopaja di Jakarta berkipas angin. Tapi, rasanya percuma ada kipas angin, karena jendela pun terbuka penuh. Belum lagi angin dari pintu depan dan pintu belakang. Tarifnya 39 baht bisa di bayar di atas ke kondektur. Karena tarifnya beda tipis aku pilih minivan, dan singgasana samping sopir jadi pilihan. Pertimbangannya, aku bisa melihat lebih luas sisi kanan dan kiri tanpa penghalang.
Baik minivan maupun bus akan berhenti di Terminal Mae Sai.
Mungkin memang tipikal terminal di Thailand, atau setidaknya terminal di Chiang Mai dan Chiang Mai, maka sama sepinya dengan terminal di Mae Sai. Hanya ada beberapa bus, ojek dan juga Songtheaw.
Gerbang Shwedagon Pagoda - RB
Pilihanku jatuh ke Songtheaw warna merah bertuliskan Boarder Mae Sai dengan tarif hanya 15 baht.
Perjalanan dari terminal ke tujuan akhir di perbatasan hanya sekira 30-an menit. Mae Sai menuju perbatasan hanyalah sebuah jalan panjang yang berujung pada boarder. Di tengah ada sebuah median jalan. Kanan kiri berderet ruko penjual cinderamata. Dan aku memilih tak buang-buang waktu. Ku pasang kacamata kuda untuk tidak melihat kanan kiri kota Mae Sai ini yang disesaki barang-barang murah.
Turun dari Songtheaw aku bergegas ke perbatasan Mae Sai - Thailand.
Bagian dari Pagoda Shwedagon - RB
Di sini adrenalin ku terpompa. Entah. Bercampur antara rasa takut, paksaan diri, dan mental yang kian terasah. Aku harus berani, karena sudah sejauh ini aku berjalan, ke sisi kota terluar Thailand.
Warga Myanmar dan Thailand baris dengan loket tersendiri. Aku antri di loket pendatang. Setelah resmi keluar dari Thailand, aku lanjut perjalanan ke jembatan menuju imigrasi Myanmar di Tachileik.
Masuk ke kantor Imigrasi.
"Di mana Anda akan tinggal?"
"Di Chiang Rai", jawabku singkat.
Suasana Jalan di Tachileik - RB
"Maksud Saya, dimana Anda akan tinggal saat di Tachileik?",
"Saya tidak akan tinggal di Tachileik. Hanya 2 sampai 3 jam di Tachileik, dan kembali ke Chiang Rai. Saya ada hotel di Chiang Rai. Silakan lihat kopi hotel reservation di belakang paspor", jawabku sambil menarik nafas dalam.
Selalu akan seperti ini yah? Ditanya ini itu. Tipikal petugas imigrasi.
Untung posisiku sudah dalam kondisi duduk, jadi agak sedikit tenang. Well, sebaik apapun niat travelling, tapi kalau dah di pos imigrasi biasanya nyali langsung ciut.
"Oke, 500 Baht untuk visa",
Suasana Mae Sai - RB
"Maaf, saya tidak mau membayar. Saya dari Asean - Indonesia", tegasku.
Si petugas mengernyitkan dahi dan bertanya ke atasannya, sepertinya, sih.
Aku tak paham apa yang mereka bicarakan. Mungkin si anak buahnya itu tanya, "Memang benar, Bos?"
"Oke, Maaf, benar, tanpa visa".
Yes, ini gunanya baca catatan perjalanan pendahulu yang pernah nyebrang di perbatasan ini. Paling tidak informasi kalau sudah tidak perlu bayar lagi ku dapati satu bulan sebelumnya. Dan lagi-lagi perkembangan terbaru, paspor pendatang tidak ditahan di pos imigrasi, seperti dulu dulu.
Songtheaw ke boarder - RB
Foto, stempel paspor, dan Welcome to Tachileik - Myanmar, Prihadi.
Sumringah.
Lantas apa?
Iya, lantas apa Adhie???
"Lo dah di Tachileik. Ini, kan, bagian dari obsesi lu? Nyebrang ke perbatasan sebagai hadiah dari Ulang Tahun lo."
Suara hati dan pikiran yang menyatu, dan sukses buat aku nge-freeze di trotoir jalan. Seratus persen badanku sudah ada di Myanmar. Iya, ada di Myanmar. Tapi, pikiranku melayang. "Lo mau ngapain, Di?" bisik nuraniku.
Penjaja jasa perjalanan membuyarkan lamunanku. Aku mesti harus sadar dan harus tenang. Tapi, aku perlu bernafas dan sedikit ruang untuk tenang.
Sempetin Beli Wayang - RB
Ya, banyak penjaja jasa dengan papan sejumlah destinasi ditawarkan kepada turis. Aku nggak ditawarkan. Mungkin mereka pikir aku berasal dari negara mereka, atau warga negara Thailand.
Ku percepat langkahku dan kini berada dua ratus meter dari boarder.
Aku pantang celingukan, pantang terlihat tidak percaya diri. Apalagi jika berada di wilayah yang asing untukku. Tampak kebingungan adalah sasaran empuk.
Di kiri dan kanan sekumpulan tukang ojek memanggilku setengah berteriak. Mana pula ku paham bahasa mereka. Kalau dari bahasa tubuh dan konsep situasi, aku paham, mereka menawarkan ojek.
Cuek dengan kumpulan ojek di sisi kiri jalan, aku bergegas ke kumpulan ojek di sisi kanan. Jangan tanya kenapa? Tak ada waktu berpikir.
"Temple!", ucapku kepada seorang tukang ojek.
Jembatan ke Tachileik - RB
Ia menjawab dengan hanya membelalakan mata.
"Going Temple!", ucapku lagi. Kali ini dengan membentuk segitiga dari lenganku.
Percuma. Tanpa hasil. Ia tak mengerti apa yang ku ucap.
Lalu muncul tukang ojek, masih dari kumpulan yang sama.
Jalan di Mae Sai - RB
Kali ini, ia fasih berbahasa Inggris. Thank You, God!
Kami sepakat untuk 150 Baht menuju Temple Shwedagon. Ia akan menemaniku berada di lokasi tersebut, dan berjanji akan mengantarku kembali ke perbatasan.
Namanya, Than, dari suku Karen. Pernah belajar di luar negeri. Itu sebab bahasa inggrisnya ku pahami. Ia memilih menjadi tukang ojek daripada harus menjadi buruh bangunan. "Murah gajinya", ucapnya. Ia pun menanyakan besaran gaji buruh di Indonesia. Jawabku, lumayan.
Dan, aku tidak mau berkomunikasi lebih lanjut, apalagi menanyakan alasan ia menjadi tukang ojek. Padahal pendidikan dan kemampuan bahasanya lumayan.
Pagoda Shwedagon adalah destinasi yang harus dikunjungi apabila berada di Tachileik. Replika pagoda di Yangoon ini memiliki stupa emas yang tampak terlihat dari jauh, karena berada di atas bukit.
Pasar di perbatasan - RB
Meski hanya berada di Pagoda ini, aku lantas tidak mencari destinas wisata lainnya. Pikirku adalah segera kembali ke boarder. Kunjungan ke sebuah negara yang super singkat. Berkesankah? Selalu ada cerita untuk berbagi. Toh, obrolan dengan tukang ojek seperti Than pun rasanya sudah bisa merasakan nafas warga lokal. Melengkapi pengalaman perjalananku.
Berbagi tentang Indonesia dimanapun. Toh, Than juga tahu upah buruh di Indonesia cukup lumayan. Tapi, tak cukup lumayan untuk bisa membuatku bertahan lama berada di pasar dekat boarder. Katanya, barang-barang di sini dijual cukup murah. Lantas? Mana aku suka.
Pikirku hanya segera kembali ke boarder.

No comments:

Post a Comment