Menembus Perbatasan Tachileik - Myanmar (Part 3)

Friendship Bridge Thailand
Belum juga beranjak sore aku sudah kembali mengantri di perbatasan. Kembali ke Thailand via Tachileik di Myanmar ke Chiang Rai di Thailand. Yah, melintasi perbatasan via darat menjadi pengalaman pertamaku semenjak melakukan perjalanan seorang diri beberapa tahun silam.
Pernah memang saat melintasi perbatasan Singapura ke Malaysia via Johor Bahru. Tapi, kala itu menjadi pengalaman yang menyenangkan untuk pertama kalinya. Duduk di dalam sebuah sedan, dan hanya menyodorkan paspor di drive through immigration. Iya, duduk di dalam sebuah sedang milik seorang teman yang baru ku kenal kurang dari satu jam. Perkenalan yang kemudian menjadi persahabatan hingga sekarang.
Dan, kini kembali aku melintasi perbatasan via darat, berjalan kaki.
Semestinya memang tidak ada yang perlu dikhawatirkan, apalagi menjadi paranoid. Tapi, entah tetap saja ada rasa khawatir yang jelas-jelas tidak beralasan.
Stempel tanda keluar dari Myanmar telah aku peroleh, tapi petugas minta aku ke kantor polisi Myanmar untuk lapor diri. Letaknya sendiri hanya berseberangan dengan kantor imigrasi. Dan tak banyak ucap saat berada di kantor polisi. Aku hanya mengatakan kalau aku diminta untuk melapor.
Gedung Imigrasi Thailand
Seorang ibu dengan wajah ramah meminta pasporku. Sementara sebuah buku besar ada di depannya.
Sebentar ia sisir nama-nama yang ada di dalam buku itu.
"Daftar nama pendatang", bisikku dalam hati.
"Nama Anda tidak ada di sini", serunya.
"Anda yakin?", tanyaku kembali.
"Kapan Anda tiba?",
"Sekira 2 atau 3 jam lalu", jawabku singkat.
Ia menarik nafas dalam. Kembali menyisir namaku secara manual.
Ya, secara manual.
Sementara pihak imigrasi melakukan pendataan pendatangan secara komputerisasi, maka kantor polisi di perbatasan Myanmar ini justru melakukan pendataan secara manual.
Aku jelas tidak memiliki data jumlah pendatang per jam, per harinya. Mereka pasti yang memiliki dan terekam pada lembar kedatangan. Menjadi pekerjaan rumah pada akhirnya jika harus memasukan data secara manual.
"Oke, saya pikir kami belum input data Anda", ucapnya sambil mengijinkanku melanjutkan perjalananku.
"Terima kasih".
Aku kemudian bergegas ke imigrasi Thailand. Cukup panjang antriannya. Sambil menunggu giliranku, aku minta satu lembar kartu kedatangan dan mengisinya.
Tepi Jalan Mae Sai
"Dari Indonesia?"
Suara yang cukup berat mengalihkan perhatianku saat mengisi kartu kedatangan.
Aku menoleh.
"Iya. Saya dari Indonesia. Anda tahu dari mana?", tanyaku.
"Saya melihat paspor Anda",
"Dan Anda berasal dari?"
"Ottawa".
"Kanada".
Perbincangan pemecah sunyi di saat antrian memanjang di perbatasan. Sampai kemudian ia menanyakan tentang perpolitikan di Indonesia. Oke, sepertinya tahu banyak dia.
"Kalau tidak salah presiden Anda itu bukan datang dari golongan elit, militer, atau bahkan dari keturunan rezim politik", ucapnya penuh percaya diri.
"Iya, he is my president now".
"Ya, ya, ia datang dari kalangan ekonomi menengah, kan?"
Oke, orang ini cukup tahu ternyata.
"Iya, presiden saya memang datang dari kalangan menengah. Justru karena kondisi itulah ia menginspirasi banyak orang untuk memiliki cita-cita. Siapapun bisa menjadi presiden".
Ia mengangguk.
Begitu pun aku.
Dan sejenak kemudian... "Welcome Back to Thailand, Adhie".
Pedagang Kaki Lima Mae Sai
Lega rasanya.
Aku tidak segera menumpang songtheaw kembali ke terminal. Tapi, memiliki menghabiskan waktu sekira 30 menit di ujung perjalanan di Mae Sai ini.
Merasakan udara, panas matahari, bising lalu lintas, dan entah. Karena berikutnya aku sudah menelusuri toko - toko di kanan, kemudian pindah ke deretan toko - toko di sebelah kiri. Tanpa satu pun yang aku beli. Aku masih ada sisa baht, tapi ku memilih tidak menggunakannya.
Tahu gak apa yang ku rasakan hingga sampai detik ini?
Bus Chiang Rai - Mae Sai
Aku merasa sudah begitu nyaman dengan suasana perjalanan ini. Segera cepat aku dapat beradaptasi. Memaksa tanpa berupaya keras untuk bisa menyatu dengan suasana kota. Jika ku tidak mendengar aksen, kalimat dan perbincangan, serta menutup aksara tanpa ku pahami maknanya, justru aku merasa masih berada di Indonesia.
Padahal besok adalah hari terakhirku di Thailand. Berada di Chiang Rai semacam menggenapi perjalanan ku di Thailand pada Agustus tahun ini. Saat itu aku melakukan perjalanan tiga negara, Singapura, Malaysia, dan Thailand. Pilihanku adalah Krabi.
Dan November ini aku berada di sisi utara Thailand, menyenangkan.
Tapi, tidak menyenangkan saat perjalanan pulang terhenti di pos jaga imigrasi. Tepat sekira 15 menit dari Terminal Mae Sai.
Bus yang mengantarku kembali ke Terminal Chiang Rai menepi.
Aku menarik nafas dalam, takut.
Aku memang telah mengetahui informasi dasar jika akan ada pemeriksaan imigrasi kembali saat menuju Chiang Rai. Tapi, dasarnya takut yah, tetap takut saja.
Sopir bus rasanya sudah sangat terbiasa, makanya doski tenang banget.
Terminal Bus Mae Sai
Satu petugas masuk dari pintu depan, satunya lagi masuk dari pintu belakang.
Pendengaranku tetiba menajam. Nih, petugas yang di belakang tidak bergerak ke depan, tapi berdiri di depat pintu sepertinya.
Sementara, petugas yang masuk dari depan begitu percaya diri melesak masuk. Ia kemudian meminta semua penumpang mengeluarkan paspor atau bukti perjalanannya.
Aku sudah siapkan sejak bus menurunkan kecepatannya dan perlahan menepi.
Tiga pria diminta turun.
Aku? paspor ku dibuka saja pun tidak.
Selanjutnya hanya menunggu keputusan petugas imigrasi itu, apakah memperbolehkan 3 pria itu melanjutkan perjalanan atau tidak.
Lama.
Dan aku berusaha untuk tidur, sambil mengapit drybag ku.
Dua penumpang kembali naik ke atas bus. Satu penumpang tetap berada di check poin.
Peta Wilayah Mae Sai 
Dari informasi yang ku dapat, tujuan check poin ini tuh ada dua. Pertama untuk mengawasi imigran dari Myanmar yang mencari penghidupan ekonomi di Thailand. Saat masuk ke Thailand mereka memang gak perlu melulu bawa paspor. Cukup dengan selembar surat jalan. Nah, ini yang terus dipantau pemerintah Thailand. Dan yang kedua terkait dengan peredaran obat bius. Golden Triangle? Kinda. Sebagai langkah antisipasi aja, sih.
Jadi, kalau bukan imigran dan tidak membawa benda mencurigakan, sih, sebenarnya tidak perlu ada rasa khawatir.
Nah, di pos check point kedua, rasa khawatir ku sudah jauh berkurang.
Meski aku sudah meletakkan paspor di pangkuanku untuk siap diperiksa, petugas imigrasi melewatkan aku begitu saja. Gila, aku dicuekin.
Sudahlah.
Toh, bus kemudian perlahan kembali melaju menuju Chiang Rai. Beda dengan minivan, kecepatan bus ini cukup lambat. Nggak sabaran juga, sih. Tapi, yah, nggak bisa protes juga.
Terminal Mae Sai 
Setali tiga uang, aku bisa mengamati persamaan sistem angkutan umum di Chiang Rai dan di Jakarta. Mereka bisa menaik turunkan penumpang, sekehendak penumpang. Penumpang lebih banyak didominasi turis. Penumpang bisa bayar ongkos di atas bus. Kondektur  yang menarik ongkos penumpang. Dan, penumpang lokal yang muda akan memberi duduk kepada penumpang yang lebih tua. Atau justru mengalah, memberi tempat duduknya untuk turis.
Rasanya meski bus melaju pelan, ada perilaku yang melekat diingatan. Belajar dari hal sederhana di dalam bus ini dengan mengamati bagaimana warga lokal memperlakukan turis.

Comments