Sedang berada di sebuah kedai kopi di pusat perbelanjaan di pusat
Jakarta. Interior retro dengan terdengar sayup-sayup musik mana suka.
Tidak ada masalah sebenarnya aku berada di sini. Mencoba selalu nyaman
dengan keberadaanku sendiri. Iya, benar, banyak orang yang telah duduk
jauh lama dariku. Buktinya? Minuman tinggal setengah. Contoh mudah,
tanpa perlu tendensi apapun.
Tapi, sayangnya, yang perlu ku cermati adalah bagian ini adalah bagian
bebas asap rokok, tapi entah kenapa wanita sejurus didepanku, justru
asik mengapit sebatang rokok di antara dua jemarinya. Sesaat kemudian,
ia mengeluarkan asap rokok dan merapihkan rambutnya.
Ugh, entah berapa mahal perawatan rambutnya jika kemudian, rambutnya harus kena asap rokok.
Ya sudahlah, saat ia asik dengan sendirinya, maka aku pun asik dengan
kesendirianku saat ini. Salah aku rasanya pilih kursi yang justru
membiarkan wajahku jadi konsumsi publik. Seberapa terkenalnya aku?
Tidak, aku tidak lah siapa-siapa. Dan sejurus kemudian, aku biarkan
seluruh ruangan, bau, ku biarkan akrab dengan ku.
Pernah merasa sendiri di saat ramai seperti ini? Jika dirimu nyaman
dengan yang kita miliki, maka, alam pun enggan mengaciuhkan kita.
Intinya, kita tidak pernah tahu siapa yang ada di samping tempat duduk
kita, maka kita pun harus mengenalnya. Maka, maukah kita melakukan itu?
Berkenalan?
Aku sih terbiasa sendiri menikmati suasana apapun yang ada. Caranya?
Semua orang punya masalah, kebahagiaan. Maka aku pikir, dengan cara
itulah, mereka, dan aku, bisa menikmati kesendirian di sebuah tempat.
Bukan hal absurd. Tapi, kini, aku tengah bercengkrama dengan hati.
Seberapa kuat aku beradaptasi dengan apapun. Jika aku kalah, dan
membiarkan itu terjadi, maka terjerembablah aku dalam ketidak percaya
dirian. Itu kuncinya, percaya diri.
No comments:
Post a Comment