Wednesday, December 19, 2012

Misteri di Tilanga

Tilanga. AD

"Pak, sepertinya kita harus berbalik pulang".
"Kenapa gitu?"
"Saya nggak yakin dengan kondisi jalan seperti ini. Terlalu rusak untuk dilalui".
"Pelan-pelan saja, sebentar mungkin sampai di lokasi".
Aku meragu setelah 15 menit perjalanan, tapi Kolam Tilanga belum juga terlampaui. Makin susut pula inginku ke lokasi ini, setelah tahu kondisi aspal menuju kolam sangat buruk. Aspal terkelupas. Batu kerikil juga berserakan yang membuat perjalanan kian sulit. Belum lagi medan yang naik turun, sesekali berbelok tajam. Memang, sih, sepanjang jalan mudah ditemukan rumah penduduk, tapi tak cukup memantapkan saya untuk berlanjut. Tapi, tidak bagi Pak Ilham, dia justru menyemangatiku untuk lanjut. Aku cuma khawatir dengan kondisi mobil, sih. Lagipula perjalanan masih ada satu hari lagi di Toraja. Riskan jika rusak.
Dan memang pada akhirnya, perjalanan di Toraja terus berlanjut menuju wisata alam Tilanga - sebuah kolam alami - berjarak 13 kilometer dari Makale. Waktu tempuh? Mungkin bisa tiba 45 menit dari Jalan Poros Rantepao - Makale, tapi dengan syarat dan ketentuan berlaku.
Tilanga. AD
Tilanga. AD
Masuk ke kawasan wisata alam ini harus membayar tiket masuk, Rp. 10.000,-. Tapi, terus terang, pandangan pertama di lokasi ini, saya tidak terlalu menyukainya. Kesan apa adanya dan tanpa perawatan. Dan lagi, entah kenapa harus membayar Rp. 10.000,- dan tanpa brosur lokasi yang bercerita sejarah, asal muasal, dan keunggulan lokasi ini.
Padahal, kalau pengelola mau - brosur itu bisa menjadi penyerta tiket masuk. Well, aku selalu menganggap tiket masuk - apapun bentuk dan kondisinya - adalah suvenir. Dan alangkah bagusnya juga, tiap pengunjung mendapat brosur informasi, dan atau cinderamata berupa stiker. Ongkos produksinya pun minim, sekaligus jadi promosi. Tapi...... ya, gitu deh.
Tilanga. AD
Anak kecil warga lokal kemudian menghampiriku, saat aku menuruni tangga menuju kolam. Mereka menjelaskan tentang Masapi. Nah, loh, apa itu Masapi?
Aku akan bisa tahu, jika ada informasi dari brosur. Beruntung sebelum aku ke lokasi ini sudah banyak membaca. Jadi, aku hanya belanja mata, sementara pengetahuan telah ku dapat jauh-jauh hari saat memutuskan ke Toraja. 
Daya tarik utama Tilanga memang adalah keberadaan beberapa ekor Moa atau belut berkuping yang hidup di dalam kolam alami, warga lokal menyebutnya Masapi. Tidak mudah melihat Masapi keluar dari kandangnya, perlu sebutir telur.
Dan aku lagi-lagi menolak untuk membeli telur yang dijajakan anak-anak. Menurut warga lokal, untuk memunculkan Masapi dari celah bebatuan, harus membeli sebuah telur. Tapi, lagi-lagi memanggil Masapi juga bukanlah pekerjaan mudah, karena harus dilakukan oleh orang yang telah berpengalaman.
Tilanga. AD
Tilanga. AD
Dan sisa waktu ku selanjutnya di Tilanga adalah berdiam diri di tepian kolam. Sesekali menjejakan kaki di antara bebatuan kapur yang sedikit berlumut. Segerombolan anak-anak ku lihat asik terjun kemudian berenang, terjun lagi dan kemudian kembali berenang.
Suasana di Tilanga cukup teduh dan berudara sejuk, karena dikelilingi pohon jati putih dan bambu. Air kolamnya pun jernih, hingga bebatuan di dasar kolam pun bisa terlihat dari permukaan.
Jadi, jika Toraja identik dengan pegunungan dan kuburan, Tilanga menjadi pembeda destinasi dengan anggapan orang kebanyakan tentang Toraja - tak sekedar wisata makam.
Meski, destinasi ku selanjutnya tetap ziarah kubur ke Londa. Yap, Londa.

No comments:

Post a Comment