Sunday, February 26, 2017

Batu Solor: Stonehenge dari Tanah Jawa

Warga lokal menyebut Batoh So'on dalam bahasa Madura yang berarti batu bersusun. Namun, karena letaknya berada di Desa Solor maka situs ini lebih dikenal dengan sebutan Batu Solor. Belakangan, justru Batu Solor ini disebut sebut sebagai Stonehenge van Java. Kalau melihat dari komposisi serta formasi batu di Situs ini memang mirip dengan Stonehenge di Salisbury Palin, Wilshire, Inggris. Berupa tumpukan batu besar yang menjulang tinggi. Jadi, tidak ada salahnya dengan julukan itu - Stonehenge Van Java. Tapi, apa iya harus disamakan dengan sesuatu yang lebih mendunia?
Begini, Batu Solor dengan formasi menumpuk sudah menimbulkan banyak pertanyaan. Apakah bentukan alam dan mengalami proses bentukan yang lama? Memiliki jenis batuan andhesit dan tidak hanya sedikit jumlah yang ada di sekelilingnya, sulit menyimpulkan jika Batu Solor adalah buatan manusia di jamannya. Kalau pun ada sejarah hubungan dengan manusia, bisa jadi ada kepercayaan masa lalu yang mengeratkan keduanya. Batu memang menjadi media budaya masa lalu pada era Megalithikum. Bahkan tidak lepas dari kesan magis. Ini sekedar hipotesa dari traveller penikmat budaya batu.

Saturday, September 17, 2016

Rock Climbing di Via Ferrata Badega Gunung Parang

Berlatar Gunung Parang
Pada Sabtu pagi itu, Bus 'Warga Baru' membawa kami bertiga menuju Purwakarta. Menuju lokasi wisata kami, Via Ferrata, Gunung Parang, Purwakarta, Jawa Barat. Rencana ke lokasi ini tercetus sejak 2 bulan lalu. Lantaran tidak memungkinkan untuk bepergian seorangan diri, maka aku mengajak dua teman kantor yang memang ku amat-amati suka dengan olahraga outdoor - macam panjat tebing ini.
Namun, ini merupakan pengalaman yang pertama bagi ku. Dan rasanya menyenangkan saja mencoba sesuatu yang baru - Panjat Tebing. Kedatangan kami sudah diantisipasi Kang Afin. Kang Afin menyapa begitu kami tiba di Badega Gunung Parang, tepatnya di Desa Cirangkong. Karena, memang kami telah berkorespondensi via surel dan Watsap. Sehingga begitu kami tiba tidak direpotkan lagi untuk urus ini dan itu. Tidak banyak hal administrasi yang harus kami selesaikan. Hanya berupa formulir berisi keperluan yang kami butuhkan. Dan karena jadwal panjat tebingnya baru keesokan pagi, maka kami memilih untuk softtreking di sekitar
Beda dengan Wansky dan Depe yang cukup bersahabat dengan olahraga outdoor, aku justru banyak berpikir, "lanjut?". Apalagi mereka memilih untuk panjat hingga ketinggian 400 meter. Aku? 100 meter saja belum tentu mau. Dan, yang terjadi maka terjadilah. 

Friday, July 29, 2016

Nikmatnya Kopi Pagi di Wae Rebo (Part 5)

Tidurku malam ini tidak seberapa nyenyak. Beberapa kali terbangun.
Bukan lantaran kondisi Mbaru Niang Tirta, tapi lebih ke akunya saja. Antara kelelahan, dan terlalu banyak yang diinginkan. Mencoba menyisir prioritas dan mencari yang seharusnya bisa dihilangkan. Dan semua itu memaksa otak terus bekerja, sementara tubuh sebenarnya perlu untuk tidur. Empat jam untuk tidur rasanya cukuplah.
Lepas tengah malam memang kemudian, aku rasa aku bisa bisa larut dalam kelelahan fisik. Cara berpikirku pun telah terkalahkan dengan rasa kantuk yang teramat sangat.
Ditambah suasana kampung tengah malam yang begitu hening. Sepi. Di dalam Mbaru Niang ini pun hanya sesekali terdengar tamu yang berganti posisi tidur, sehingga tubuhnya sedikit bergesekan dengan tikar pandan. Tidak ada suara mendengkur. Untungnya.
Yang ku ingat selanjutnya adalah aku terbangun sekira jam lima pagi untuk selanjutnya salat Shubuh. Aku ingat, aku dan Ipah bangun hampir bersamaan. Aku yang kemudian berjalan perlahan di tengah gelap menuju pintu belakang rumah ke kamar mandi untuk berwudhuh. Sudah bisa ditebak sebenarnya, bagaimana air sepagi itu. Dingin. Sangat dingin. Tapi, wudhuh tetap berjalan. Dan Shubuh tetap terlaksana. Rasanya? Nikmat banget.
Senikmat seruputan kopi pertamaku di Wae Rebo.
Wangi!!!

Thursday, July 28, 2016

Semalam Tidur beralas Tikar Pandan di Wae Rebo (Part 4)

Malam perlahan menggelapi Kampung Wae Rebo.
Dan jam 6 lampu pun menyala. 
Perlahan kampung ini pun
gelap. 
Aku masih menyisahkan rasa ingin berada di luar rumah. Sesapi dingin yang juga mulai berani datang saat matahari pergi. 
Rasanya malam terlalu cepat datang. Jujur, banyak yang belum bisa ku lihat, sejak kaki menapaki kampung ini. Belum pula saat warga menjemur kopi, memilah kopi, dan bercerita tentang kopi kebanggaan mereka. 
Tapi, memang tidak banyak kegiatan yang bisa dilihat di kampung ini - di siang hari. Apalagi di malam hari. Pagi hingga sore hari, warga memilih berkebun kopi di sekitar kampung. Mereka yang telah tua, lebih banyak berbagi peran dengan menjemur kopi atau memilah biji biji kopi untuk selanjutnya membuang kulit kopi dengan lumpang kayu.
Aku yang datang seorang diri ke Kampung ini pun kemudian lebih banyak berbincang dengan Angga dan Ipah - Solotraveller dari Jakarta. Keduanya memulai perjalanan dari barat ke timur, sementara aku memulai perjalanan dari timur dan berakhir di ujung barat Pulau Flores - Labuan Bajo. 
Lucu juga, sih, kami berangkat dari Jakarta dengan tujuan berbeda, namun Wae Rebo mempertemukan kami. Berujung dengan obrolan seru pengalaman perjalanan sebelumnya dan menata perjalanan berikutnya. Obrolan itu terhenti setelah makan malam siap dihidangkan.
Berada di atas bukit, menemukan makan dengan olahan sederhana adalah sebuah hadiah luar biasa. Ayam goreng, tumis jantung pisang, dan kerupuk, luar biasa nikmatnya. Terkejutlah sebenarnya saat aku menemukan menu tumis jantung pisang. Jadi ingat rumah.

Sesapi Nafas Hawa Lembah di Wae Rebo (Part 3)

Depan rumah Mbaru Niang Gendang
Mbaru Niang Gendang adalah rumah yang pertama kali aku masuki - lengkapnya Mbaru Niang Gendang Maro. Di rumah inilah para tamu akan mendapat semacam upacara penyambutan oleh tetua adat. Upacara penyambutan yang dilakukan sederhana ini bernama Pa'u Wae Lu'u.
Upacara Pa'u Wae Lu'u adalah untuk meminta ijin dan perlindungan leluhur untuk tamu saat berkunjung hingga tamu meninggalkan kampung. Selain itu, para tamu yang datang pun dianggap sebagai saudara yang sedang pulang kampung.
Sebagai catatan, sebelum selesai prosesi ini, tamu tidak diperbolehkan melakukan kegiatan apapun termasuk mengambil foto. Hal yang terakhir ini sudah aku ketahui dari berbagai bacaan. Jadi, tidak ada salahnya dituruti larangan ini.
Waktu aku tiba di depan rumah, sudah ada sepasang tamu dari luar negeri yang bersiap untuk keluar. Jadi, aku tak perlu menunggu lama untuk mendapat giliran selanjutnya. Dan aku kemudian masuk bergantian dengan Rio - pemanduku. Dalam bahasa lokal ia menyampaikan maksud kedatanganku di kampung ini.Tidak begitu lama untuk sebuah prosesi penyambutan, namun kesan mendalam aku rasakan begitu aku masuk ke dalam Mbaru Niang. Cukup senang dalam hati saja, karena aku akan bermalam - meski hanya semalam saja.

Wednesday, July 27, 2016

Keramahan di tengah Gunung Menuju Wae Rebo (Part 2)

Semacam akan membebani bahuku, beberapa baju dan barang yang tidak akan aku gunakan pun aku titipkan di Wae Rebo Lodge. Lumayanlah berkurang beberapa kilo saja. Berharap itu mempermudah pendakianku.
Selanjutnya dari Wae Rebo Lodge aku naik motor pemanduku hingga ke Denge, titik awal pendakian. Di Denge ini ada juga sebuah homestay milik Pak Blasius - Beberapa pengunjung biasa memarkirkan kendaraannya di lokasi ini. Padahal, ini adalah bukan titik terakhir yang bisa dijangkau kendaraan. Karena pemanduku membawaku hingga ke jembatan yang belum seberapa jadi. Bahkan, dia pun menyebrangi sungai kecil berbatu. Sementara mobil-mobil pengunjung terparkir di tempat yang sama.
Sayangnya, pada beberapa titik jalan kondisi jalannya tidak mulus - retak akibat longsoran. Sehingga aku berjalan kaki. Aku yang sesekali terlihat tersengal - sengal membuatnya menanyakan kondisiku.
"Saya baik-baik saja", jawabku.
Sebuah sungai kecil kemudian menyambutku.
Rio - nama pemanduku, menyarankaku untuk meminum air sungai itu, murni dari mata air katanya. Aku hanya mengangguk dan membasuhkan mukaku dengan air sungai itu. Sementara telapak kaki ku sudah cukup nyaman berendam dalam air yang cukup dingin.
"Kita mulai pendakian", ucapnya.
Kami hanya berdua.

Jalan Panjang Menuju Sejarah Panjang Wae Rebo (Part 1)

Rasanya amat menyenangkan jika berada di atas bukit atau berada di daerah pegunungan - sejuk, dingin dan kaya oksigen. Meski pada akhirnya perjalanan menuju lokasi wajib diperjuangkan. Dan tidak mudah. Medan menanjak harus lah ditelan. Belum lagi jalan setapak yang didominasi tanah, tak jarang becek dan licin atau berkerikil. Itu tidak masalah buatku, jika memang harus melakukan softreking pun hardtreking.
Tapi, akan menjadi masalah jika aku harus terputus dari dunia luar - tanpa komunikasi. Iya, aku yang terlalu nyaman berada selalu dekat dengan gawai menjadi berpikir ribuan kali untuk berada di daerah yang terisolir. Paling tidak, jika pun aku tidak ingin berkomunikasi dengan siapapun atau sekedar posting status di media sosial, aku pasti berkabar dengan keluarga di rumah. Tapi, ini?
Sudah siap mentalkah? Ah, begitu beratkah untuk menentukan sebuah destinasi. Begitu banyak pertimbangan?
Karena memang destinasi yang ku tuju ini, sebenar-benarnya terisolasi. Secara geografis kampung ini terletak di atas ketinggian 1200 meter di atas permukaan laut. Perlu waktu 3 jam perjalanan kaki normal menapaki jalan setapak dari desa terakhir hingga ke kampung ini. Tapi, Wae Rebo begitu memaksaku menempatkan kampung ini dalam rute perjalanan ku di Flores.
Padahal, seperti yang aku katakan tadi, berada di kampung ini berarti melepaskan kenyaman hidup di perkotaan. Plus, jaringan listrik yang terbatas. Lengkap.

Saturday, April 30, 2016

Telusur Pantai Pulau Belitung

Pantai Tanjung Pendam 
Pantai di Pulau Belitung itu punya karakteristik ombaknya yang tenang dengan kontur pantai yang landai, menjorok jauh dari bibir pantai. Pun jika sedang surut - pantai berubah jadi daratan yang mungkin bisa berjalan ke pulau yang tak jauh dari bibir pantai. Berikut beberapa pantai yang bisa menjadi tema wisata Telusur Pantai Pulau Belitung.

Friday, April 29, 2016

Danau Kaolin, kau yang dilukai nan memukau

Pengunjung silih berganti datang dan pergi. Sekedar berdua atau berombongan. Naik motor atau naik mobil, pun ada yang datang dengan bus. Dengan kamera dari telepon genggam yang dieratkan ke tongsis, mereka kemudian mengabadikan keberadaan mereka dalam batas pagar dan gundukan yang meninggi. Tidak ada yang berani melangkah lebih menjorok ke dalam, lantaran lereng setinggi 3 meteran mengancam keselamatan.
Satu atau dua orang saja yang nekat menerabas pagar dari kayu, sekedar mengambil gambar dari sudut yang tidak biasa. Sementara aku? Menyaksikan tingkah mereka dari pendopo, tak jauh dari pusat wisata alam - Danau Kaolin.

Sunday, January 31, 2016

Itineraire Trip Yogyakarta 25 -30 Januari 2016

Rute Perjalanan Trip Jogja - ilustrasi
Hari Pertama 25 Januari 

Perjalanan dengan Kereta dari Sta. Gambir Jakarta - Sta. Tugu Yogyakarta
Gudeg Mbah Lindu 

Hari Kedua 26 Januari 

Sarapan Gudeg Mbah Lindu di dekat Hotel Grage Sosrowijayan


FULL DAY TRIP @ Kulon Progo
Kalibiru
* Kalibiru
* Puncak Suralaya
Note: #OjekWisata 200K IDR all in
Bermalam di Jogja Hotel *





Hari Ketiga 27 Januari 
Puncak Watu Bantal 
FULL DAY TRIP @ Gunung Kidul 

Gn. Api Purba Nlanggeran 
- Trekking Air Terjun Kedung Kandang
- Embung Nlanggeran 
Note: Rental motor 50K IDR/ hari (*req: motor manual 'coz medan berbukit hingga akhir perjalanan)
          Ambil paket Gunungapipurba.com Sunset dan Sunrise 300K IDR incl Homestay 
Bermalam di Nlanggeran 

Gumuk Pasir Parangkusumo
Hari Keempat 28 Januari 
Goa Rancang Kencono
Half Day Trip @ Nlanggeran 
- Trekking Watu Bantal Sunrise
- Trekking Puncak Gede Gunung Purba 
Lanjut
Half Day Trip @ Wonosari 
- Goa Rancang Kencono
- Air Terjun Sri Gethuk 

Note: Bermalam di Mangunan (*homestay)

Next to Mangunan

Hari Kelima 29 Januari 

Kebun Buah Mangunan 
FULL DAY TRIP @ Bantul

Bermotor Trip Jogja
- Kebun Buah Mangunan, Dlingo 
- Hutan Pinus Mangunan, Dlingo 
Next to 
- Gumuk Pasir Parangkusumo, Parangtritis

Note: Bermalam di Jogja Kota Hotel **

Hari Keenam 30 Januari

Half Day Trip Kota Jogja 
- Taman Sari 
Back to J- Town Sta. Tugu - Sta. Gambir 


Friday, January 29, 2016

Menyapa Hutan Pinus di Pagi Hari

Jam 6:30 pagi.
Matahari belum terlalu tinggi, pun belum terlihat jelas karena masih sembunyi di balik awan di ufuk timur. Pagi ini aku tak dapat pemandangan matahari terbenam dari ujung tebing Kebun Buah Mangunan. Aku pun meninggalkan kawasan ini, sementara pengunjung masih terus berdatangan.
Tujuanku selanjutnya adalah Hutan Pinus Mangunan.
Lokasi Hutan Pinus Mangunan dengan Kebun Buah Mangunan tidaklah seberapa jauh. Untuk itu aku putuskan untuk lanjutkan saja wisata pagi di Desa Mangunan ini. Lagipula suasana cukup menyenangkan. Tidak seberapa ramai. Sedikit lapar memang, tapi aku putuskan untuk menuntaskan perjalanan wisata di desa ini hingga jam setengah sembilan pagi. Dan selanjutnya aku akan menuju Pasir Gumuk Parangkusumo - rute berikutnya.

Desa di atas awan itu di Bantul (Part 3)

Jam 05:00. Pagi hari di Mangunan.
Pak Narjo menetapi janjinya untuk menemaniku ke Kebun Buah Mangunan.
Kami menuju lokasi beriringan.
Jalan desa yang beraspal ini basah.
Semalam memang aku dengar hujan cukup deras. Itu sebab aku tidak berani melajukan motorku dengan cepat. Meski harap - harap cemas takut matahari terbit lebih cepat. Tapi, Pak Narjo bilang, matahari di Mangunan terbit jam 05:15 - kurang lebih.
Tidak lama perjalanan dari homestay ke lokasi. Dan Pak Narjo mengantarkanku hingga sampai parkir. Sejumlah pegawai perkebunan ternyata kenal dekat dengannya.
Ia kemudian pamit karena harus mengantarkan anaknya ke sekolah.
Membiarkanku sendiri di lokasi ini?
Tidak.
Yang jelas jelas dalam dugaanku kalau memang pengunjung Kebun Buah Mangunan ini sudah banyak. Ku duga mereka telah sejak dini hari berada di sini. Hebat sekali perjuangan mereka untuk mendapatkan pemandangan ganda di sini.
Pemandangan ganda? Yes, pemandangan yang pertama adalah pemandangan saat matahari terbit. Kedua adalah pemandangan saat hamparan kabut berada di atas puncak Kebun Buah Mangunan. Pak Narjo saat dalam perjalanan ke lokasi mengatakan, jika malamnya hujan, maka besar kemungkinan kabut tebal akan berada di Kebun Buah Mangunan. Dan ternyata benar adanya.

Thursday, January 28, 2016

Desa di atas awan itu di Bantul (Part 2)

Aku melambatkan motorku pada sebuah jalan masuk desa dari sebuah pertigaan. Pun motor yang berada di hadapanku juga melambatkan kendaraannya.
Buat pria pengendara motor itu mungkin mudah mengenali pendatang semacam aku. Kesan gerak yang kaku saja sudah nampak jelas kalau aku tidak mengenal jelas wilayah desa Mangunan. Tapi bagiku perlu mereka-reka, benarkah pria yang di hadapku ini adalah Pak Narjo - pemilik homestay yang direkomendasikan Wahyu.
"Pak Narjo?", tanyaku.
Yang ku tanya mengangguk.
Ia pun memutar balik motornya, memberiku isyarat untuk mengikutinya dari belakang.
Jalan desa yang beraspal dengan kanan kiri rumah permanen model limasan - khas Jawa. Suasananya tenang. Jauh dari hiruk pikuk.
Memang lingkungan tempat tinggal Pak Narjo jauh dari jalan utama. Dan saat tiba di Mangunan sebelum matahari masih cukup sinarnya, menambah kesan nyaman dengan kedatanganku di kota ini.
Kemudian Pak Narjo belokan motornya ke kanan dan perlahan melambatkan laju motornya.
Tibalah aku di sebuah rumah dengan pekarangan yang luas. Seperti rumah kebanyakan dengan model limasan, dengan teras yang luas - pun begitu rumah Pak Narjo.
Pak Narjo mempersilakanku duduk.
Aku hapus beban ransel di bahuku ke bangku kayu jati di teras rumahnya. Ia mengawali pembicaraan. Dan merendah dengan kondisi rumahnya. Sementara aku, aku sudah cukup bahagia sejauh ini - berada di Mangunan.